BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kedudukan Belanda di Nusantara berlangsung pada tahun 1596-1942
diawali dengan kedatangan armada dagang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de
Houtman pada tahun 1596 yang berlabuh di Banten. Mulanya mencari barang
dagangan atau rempah rempah akan tetapi kemudian Belanda bukan sekedar ingin
berdagang biasa, melainkan ingin menguasai dan menjajah Nusantara. Pada tahun
1596 awal penjajahan Belanda di Nusantara dengan mendirikan persekutuan dagang
yang bernama VOC (Vereeningde Oost-indische Compagnie) atau persekutuaan dagang
India timur yang dibantu oleh pemerintahan Belanda. VOC menguasai dan
mengekploitasi ekonomi di Indonesia dari tahun 1602 – 1799.
Proses
hubungan antara kekuasaan negara dan kekuasaan Belanda pada abad ke-19
menunjukkan dua gejala yang bertolak belakang,di satu pihak tampak makin
meluasnya kekuasaan Belanda,sedangkan di lain pihak terlihat makin merosotnya
kekuasaan negara-negara tradisional.Pengaruh hubungan dengan kekuasaan barat
tersebut menyangkut berbagai segi kehidupan,seperti politik,sosial,ekonomi,dan
budaya.
Selama
situasi kritis di daerah kerajaan,ajakan perlawanan dari para bangsawan ataupun
ulama yang berpengaruh untuk melawan kekuasaan asing dengan cepat mendapat
sambutan baik dari kelompok rakyat karena tekanan-tekanan hidup yang mereka
alami dan sikap antipati mereka terhadap kekuasaan asing.Selain itu pengalaman
pahit yang pernah dirasakan oleh rakyat di daerah-daerah selama kontak dengan
kekuasaan asing dapat memperkuat keinginan untuk berjuang melawan kekuasaan
asing.
Secara
umum dapat dikatakan bahwa kondisi di daerah-daerah selama kontak dengan
kekuasaan barat cukup subur untuk timbulnya perjuangan tersebut. Dalam
tiap-tiap daerah,intensitas kontak dari kekuasaan Belanda tidak bersamaan waktu
terjadinya,sehingga timbulnya perjuangan terhadap kekuasaan asing pun tidak
sama waktunya.Perjuangan-perjuangan itu dapat berupa perlawanan besar atau
pemberontakan,ataupun hanya berupa kericuhan.
1.2
Rumusan
Masalah
Masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini,antara lain :
1.
Perlawanan Rakyat
Aceh
2.
Perlawanan Rakyat
Tapanuli Utara
3.
Perang Padri
4.
Perlawanan Rakyat
Palembang
5.
Perlawanan Rakyat
Bali
6.
Perlawanan Rakyat
Banjar
7.
Perang Diponegoro
8. Perlawanan
rakyat Maluku
9. Perlawanan Mataram
10. Perlawanan Trunojoyo
11. Perlawanan Untung
Suropati
12. Perlawanan Rakyat Makasar
13 .Perlawanan Rakyat Banten
1.3
Tujuan
Adapun tujuan
yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini,antara lain :
1.
Utuk mengetahui
perlawanan rakyat Aceh
2.
Untuk mengetahui
perlawanan rakyat Tapanuli Utara
3.
Untuk mengetahui peristiwa
terjadinya Perang Padri
4.
Untuk mengetahui
perlawanan rakyat Palembang
5.
Untuk mengetahui
perlawanan rakyat Bali
6.
Untuk mengetahui
perlawanan rakyat Banjar
7.
Untuk mengetahui
peristiwa terjadinya Perang Diponegoro
8. Untuk mengetahui
perlawanan Maluku melawan VOC
9. Untuk
mengetahui perlawanan Mataram menghadapi VOC
10. Dapat mengetahui
perlawanan Trunojoyo
11. Untuk mengetahui
perlawanan Untung Suropati
12. Dapat mengetahui
perlawanan Makasar menghadapi VOC
13. Untuk mengetahui
perlawanan Banten melawan VOC
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Perlawanan Rakyat Aceh
,
Pada tanggal 12 Februari 1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah
tujuan,yaitu di daerah Gayo Laut, kira-kira 50 kilometer dari Takengon.Tetapi
begitu Belanda menginjakkan kakinya di desa dekat Ketol, disambut dengan
pertempuran sengit yang pertama, dimana pasukan Belanda mengalami korban, baik
mati maupun luka-luka.Dalam perjalanan menuju Takengon, pasukan Belanda tidak
henti-hentinya mendapat perlawanan. Sampai mereka berhasil membuat markasnya di
desa Kung, kira-kira 7 kilometer dari Takengon.
Dari markas yang baru didirikan ini, pasukan Belanda melakukan operasi m
iliter di
sekitar Gayo Laut. Walau perlawanan pasukan rakyat Gayo cukup sengit, dan
hampir setiap daerah yang dilalui pasukan Belanda terjadi pertempuran, tetapi
akhirnya daerah Gayo Laut pun jatuh ke tangan pasukan kolonial. (Suyono,2003;
11)
Setelah pasukan Belanda berhasil
menguasai daerah Gayo Laut, operasi militernya maju menuju Gayo Lues, dimana
pada tanggal 9 Maret 1904, pasukannya telah mencapai daerah Kla, yaitu daerah
yang merupakan pintu masuk Gayo Lues. Berbeda dengan pertempuran di Gayo Laut,
di sini rakyat memperkuat pertahanannya dengan benteng-benteng yang dibangun
dari tanahdicampur batu-batu.
Di sekelilingnya dibuat pagar
kayu berduri yang telah dibuat runcing, dan dilapisi pula dengan tanaman hidup
bambu berduri, yang oleh orang Gayo disebut 'uluh kaweh' yang berlapis-lapis.
Kemudian dipasang pula bambu runcing dan kayu runcing dalam bentuk
ranjau-ranjau.
Di bagian dalam benteng dibuat
lobang-lobang perlindungan, lubang pengintaian lubang penembak di bagian
dinding-dinding benteng. Selain itu dibuat pula lubang perlindungan untuk
wanita dan anak-anak di dalam benteng tersebut. Dengan cara ini, benteng
pertahanan rakyat Gayo berusaha menahan serangan pasukan Belanda yang jauh
lebih kuat dan modern.
Salah satu bukti tentang
pertempuran benteng yang dahsyat, yaitu benteng Gemuyang, setelah berhari-hari
bertempur, akhirnya baru jatuh setelah rakyat Gayo sebanyak 308 orang tewas :
antaranya 168 orang laki--laki, 92 orang wanita dan 48 orang anak-anak.
Sedangkan korban dari pihak pasukan Belanda hanya dua orang tewas dan 15 orang
luka-luka berat.
Pertempuran di benteng Reket Goib
antara pasukan penyerbu dengan pasukan rakyat Gayo lebih berimbang, sehingga
korban yang jatuh di kedua belah pihak cukup banyak. Di pihak rakyat Gayo telah
meninggal dunia sebanyak 148 orang: antaranya 143 orang pria, 41 orang wanita
dan anak-anak. Korban di pihak pasukan Belanda: 7 orang mati, diantaranya 2
orang perwira dan 42 orang luka-luka berat, diantaranya 15 orang perwira.
Pertempuran dari benteng ke benteng yang tersebar di daerah-daerat Gayo
tidak kurang dari sepuluh buah banyaknya, dengan korban ribuan rakyat Gayo yang
mati terbunuh. Hanya dengan cara itu pasukan Belanda dapat menaklukkan
Gayo.Setelah daerah Gayo berhasil ditundukkan, maka pada tanggal 13 Juni 1904
pasukan Belanda melanjutkan serangan ke daerah Alas, dengan sasaran utamanya
desa Batu Mbulen dimana tinggal seorang ulama besar bernama Teungku Haji Telege
Makar dengan pondok pesa ntrennya. Mendengar kedatangan pasukan Belanda mau
menyerbu kaum muslimin, dengan pimpinan para ulama mereka mengosongkan desa
tersebut dan semuanya berkumpul dibenteng Kute Reh yang telah disiapkan jauh
sebelum pasukan musuh datang. (Suyono,2003: 15)
Pertempuran dahsyat dan bermandikan darah berlangsung berhari-hari antara
pasukan musuh dengan pasukan kaum muslimin di benteng Kute Reh tersebut.
Benteng Kute Reh jatuh ke tangan pasukan Belanda, setelah 561 orang pasukan
yang mempertahankan benteng itu tewas, diantaranya 313 orang pria, 189 orang
wanita, dan 59 orang anak-anak. Sedangkan di pihak musuh hanya dua orang mati
dan 17 orang luka-luka berat.
Pada tanggal 20 Juni 1904 pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Daalen
sendiri melanjutkan penyerbuannya ke benteng Likat. Pertempuran sengit
bermandikan darah berlangsung dahsyat dan ngeri. Sebab pasukan Belanda main
bantai tanpa pandang bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, diantaranya 220
pria, 124 wanita, dan 88 orang anak-anak. Dipihak pasukan musuh yang mati hanya
seorang dan 18 orang tentara luka-luka, termasuk Letnan Kolonel Van Daalen dan
Kapten Watrin.
Daerah Alas dapat dikuasai pasukan Belanda setelah jatuhnya benteng Lengat
Baru pada tanggal 24 Juli 1904, dengan korban yang sangat besar di pihak rakyat
Alas, di mana 654 orang tewas, diantaranya 338 orang pria dan 186 wanita serta
anak-anak 130 orang.Di pihak musuh hanya 4 orang mati.
Keganasan Pasukan Marsose dari yang tergabung prajurit Belanda, Jawa,
Menado dan Ambon Yang dipimpin oleh Van Daalen.Sebagaimana telah terjadi di
daerah-daerah lainnya di Aceh, jika pertempuran terbuka telah tidak mungkin
dilakukan, karena kekuatan yang tak seimbang dengan pasukan musuh, maka 'perang
gerilya' merupakan satu-satunya jawaban untuk melumpuhkan pasukan Belanda. Di
Gayo dan Alas pun berlaku hal yang sama. Apalagi daerah Gayo dan Alas adalah
daerahbergunung-gunung dan berhutan lebat, sehingga 'perang gerilya' yang
dilakukan rakyat Gayo dan Alas sangat menguntungkan. Dan sebaliknya pasukan
Belanda tidak pernah bisa tinggal tenteram di daerah-daerah yang didudukinya.
Pada bulan Maret 1904 sebuah kolonne yang terdiri dari enam brigade
marsose, yaitu kira-kira 160 orang tentara, masuk ke dalam jebakan pasukan
gerilya muslimin yang berkekuatan sebanyak 300 orang gerilyawan. Dengan gerak
cepat dan ketangkasan yang luar bi asa, pasukan gerilyawan muslimin Aceh ini
menyerang dengan kelewang dan rencong terhadap pasukan marsoseyang terjebak
itu. Seluruh pasukan Belanda sebanyak 160 orang tentara mati terbunuh, ter-masuk
Kapten Campion yang mati karena luka-luka berat.(Suyono,2003;16)
Pasukan gerilyawan muslimin Aceh masih terus efektif melakukan
serangan-serangan terhadap pasukan Belanda di daerah-daerah seperti Lhong,
dimana pada tahun 1925 dan tahun 1926 dan kemudian pada tahun 1953 telah
berkembang menjadi 'perang terbuka'. Untuk mengatasi kekuatan gerilyawan
muslimin Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda mengumpulkan kembali bekas-bekas
pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda. Operasi-operasi pasukan marsose di
sungai atau di darat seringkali terjebak oleh pasukangerilya-wan muslimin,
sehingga dapat dihancurkan secara total. Bahkan bivak-bivak rahasia pasukan
marsose sering diserang dan dibakar oleh pasukan gerilyawan.
Pada bulan Desember 1909, Letnan B.J. Schmidt mendapat perintah untuk
menyerang pasukan gerilyawan muslimin Tiro di daerah Tangse. Menurut taksiran,
kekuatan pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini berjumlah 250 orang. Dengan
menggunakan dua brigade pasukan marsose, Schmidt secara sistimatis me-nyerang
dan menangkap pasukan gerilyawan muslimin Tiro, di mana pada tahun 1909 dan
1911 dapat dikatakan hampir seluruhnya tertangkap.Keberhasilan pasukan Belanda
dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini karena pengkhianatan
orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum bangsawan yang menjadi kolaborator
Belanda.
Pada bulan
Desember 1911, perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy menyerang tempat
persembunyian gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang tinggal tiga orang
saja lagi. Dalam serangan ini, dua orang dari tiga gerilyawan muslimin Tiro ini
tewas menjadi syuhada, dan ternyata yang seorang itu bernama Cit Ma'az (Ma'at),
adalah keturunan terakhir dari Syeikh Saman, tokoh utama perang Aceh. Dengan
wafatnya Cit Ma'az, yangbaru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga
generasi Teuku di Tiro di abadikan di dalam Perang Aceh.
Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914
terentang benang merah sampai tahun 1942, alur perlawanan di bawah tanah.
Perang gerilya, yang pada tahun 1925, tahun 1926, sampai tahun 1933 berkembang
menjadi perlawanan terbuka lagi.Dengan demikian perang Aceh berlangsung mulai
sejak tahun 1873, terus sambung-menyambung sampai tahun 1942, dimana Belanda
angkat kaki untuk selama-lamanya, adalah perang terlama di dalam sejarah perang
kolonial Belanda di Indonesia.
II.2 PERLAWANAN
RAKYAT BATAK (SI SINGA MANGARAJA XII ) (1875-1907)
Kerajaan Batak terletak di wilayah Tapanuli, dengan pusat kedudukan
dan pemerintahannya terletak di Bakkara ( sebelah barat daya Danau Toba ).
Sejak tahun1860, misi kristen mulai
memasuki Silindung dan Toba. Pos-pos zending juga mulai berdiri di daerah
tersebut. Sejalan dengan itu pemerintah kolonial Belanda mengerahkan ekspedisi
militernya ke daerah Barus dan Singkel dan kemudian memasuki pedalaman Aceh.
Dalam keadaan itu, raja Batak Si Singa
Mangaraja XI meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya, Patuan Bosar Pulo Batu dengan gelar Si Singa Mangaraja XII.( Iskandar, Mohammad. 2007; 44)
· Alasan Si Singa Mangaraja XII melakukan perlawanan
terhadap Belanda
1. Raja Si Singa Mangaraja XII tidak mau daerah
kekuasaannya dikuasai dan makin diperkecil oleh Belanda. Ia tak terima kota
Natal, Mandailing, Angkola, Sipirok di Tapanuli Selatan di kuasai oleh Belanda.
2. Belanda ingin mewujudkan Pax Netherlandica (lingkungan
Hindia-Belanda).
3. Si Singa Mangaraja XII memandang gerakan kristenisasi
akan membahayakan tanah Batak.
·
Proses Jalannya Perang Batak
Untuk mewujudkan tujuan Pax Netherlandica (lingkungan
Hindia-Belanda), Belanda menguasai daerah Tapanuli Utara sebagai lanjutan
pendudukannya atas Tapanuli Selatan, dan Sumatera Timur. Belanda menempatkan
pasukan pendudukannya di Tarutung dengan dalih melindungi para penyebar agama
kristen yang tergabung dalam Rhijnsnhezending. Tokoh penyebarnya bernama Nommenssen (orang Jerman).( Iskandar, Mohammad. 2007; 45)
Menghadapi
perluasan wilayah yang dilakukan oleh Belanda, maka pada tahun 1877, Si Singa
Mangaraja XII, mengadakan kampanye keliling daerah untuk mengajak rakyat
mengusir zending-zending kristen. Sejalan dengan itu Si Singa Mangaraja meminta
bantuan kepada Sultan Aceh untuk merencanakan penyerangan terhadap kedudukan
Belanda di daerah Tapanuli Utara yakni, zending di Silindung. Namun isu itu terdengar
oleh garnisiun militer Belanda di Sibolga. Sehingga pada tanggal 8 Januari 1878
tentara di pos Sibolga diperintahkan untuk memasuki daerah Silindung dan
mengawasinya. Namun kedatangan militer Belanda ke Silindung segera dijawab oleh
Si Singa Mangaraja XII dengan pernyataan perang.Peperangan berlangsung
kira-kira tujuh tahun dan terjadi pada daerah-daerah seperti di Bahal Batu,
Buntar, Siborong-borong, Balige, Lumban Julu, dan Laguboti.
Dengan memanfaatkan benteng alam dan
juga beberapa benteng buatan, beberapa kali pasukan Si Singa Mangaraja berhasil
mematahkan serangan Belanda. Dan untuk menghindari sergapan Belanda,
berkali-kali Si Singa Mangaraja memindahkan pusat pemerintahanya. Pada
tahun1894, Belanda mengerahkan kekuatan untuk menguasai Bakkara sebagai pusat
kekuasaan Si Singa Mangaraja XII. Pertempuran sengit terjadi di daerah Pakpak
Dairi, sebelah barat Danau Toba.
· Akhir
Perang Batak
Pada tahun 1907 pasukan Belanda berhasil memotong
hubungan Si Singa Mangaraja XII dengan Aceh dan membatasi ruang gerak pasukan
Si Singa Mangaraja di sekitar Barus dan Singkel. Pada bulan Juni 1907 pasukan
Belanda di bawah pimpinan Kapten Hans
Christofel berhasil menemukan Si Singa Mangaraja di dekat Aek Sibulbulon,
daerah Dairi. Dalam kondisi terkepung, Si Singa Mangaraja besrta pengikutnya
tetap melakukan perlwanan. Dan dalam pertempuran itu, Si Singa Mangaraja
beserta dua orang puteranya, Sutan
Nagari dan Patuan Anggi, serta
seorang puterinya Lopian gugur
bersama pasukan lainnya. Istri dan anak-anaknya yang masih hidup kemudian
ditawan dan di buang keluar daerah Batak. Jenazah Si Singa Mangaraja XII dibawa
ke Tarutung dan dimakamkan didepan Tangsi Militer Belanda. Tahun1953
dipindahkan ke Soposurung Balige. Perlawanannya diteruskan oleh Parsihu Damdam.( Iskandar, Mohammad. 2007; 46)
II.3 Perlawanan Rakyat Palembang
Konvensi London 13 Agustus
1814 membuat Britania
menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak
Januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan
Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi pada 19 Agustus
1816 setelah tertunda dua
tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.
Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris
di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua
sultan, SMB II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil, SMB II berhasil naik
takhta kembali pada 7 Juni
1818. Sementara itu, Husin
Diauddin yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh Muntinghe
ke Batavia
dan akhirnya dibuang ke Cianjur.
Pada dasarnya
pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu.
Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan
inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan
pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke
Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan
sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya
waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang
Belanda Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Muntinghe)
pecah pada tanggal 12 Juni1819.
Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban
terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari,
tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Muntinghe
kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belanda tidak
menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der CapellenConstantijn Johan Wolterbeek dan Mayjen Hendrik Merkus de KockPangeran Jayaningrat)
sebagai penggantinya. SMB II telah memperhitungkan akan ada serangan balik.
Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat
di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang
dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam
pertahanan Palembang. merundingkannya dengan Laksamana dan diputuskan
mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya
melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian mengangkat keponakannya.
Pertempuran
sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan
tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan
tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu
hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober
1819. SMB II masih
memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan
pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran
Ratu, pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. SMB
II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi, tetapi
masih dalam lingkungan keluarga sultan.
Setelah melalui
penggarapan bangsawan ( susuhunan husin diauddin dan sultan ahmad najamuddin
prabu anom )dan orang Arab Palembang melalui pekerjaan spionase, dan
tempat tempat pertahanan disepanjang sungai musi sudah diketahui oleh belanda
serta persiapan angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan
kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei 1821
armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi
pada 11 Juni
1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni
1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan.
De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi
penyerangan.
Bulan Juni 1821
bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak
yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia
memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan
SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni,
ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang
Palembang. di depan sekali kapal yang tumpangi saudaranya Susuhunan Husin
Diauddin dan Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom dan Susuhunan Ratu Bahmud
Badaruddin / SMB 2 merasa serba salah, kalau ditembak saudaranya sendiri yang
berada dikapal belanda dan anggapan orang sultan palembang Darussalam sampai
hati membunuh saudara karena harta / tahta.
Serangan
dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu
orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni
1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli
1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah
kolonialisme Hindia Belanda di Palembang. Tanggal 13 Juli
1821, menjelang tengah
malam tanggal 3 Syawal , SMB II beserta sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad
pada tanggal 4 syawal dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya
diasingkan ke Pulau Ternate sampai akhir hayatnya 26 September
1852.
·
Perang Lima Hari Lima Malam
1 Januari 1947
Dari RS.
Charitas terjadi rentetan tembakan disusul oleh ledakan-ledakan dahsyat kearah
kedudukan pasukan kita yang bahu membahu dengan Tokoh masyarakat bergerak dari
pos di Kebon Duku (24 Ilir Sekarang) mulai dari Jalan Jenderal Sudirman terus
melaju kearah Borsumij, Bomyetty Sekanak, BPM, Talang Semut.
2 Januari 1947
Diperkuat
dengan Panser dan Tank Canggih Belanda bermaksud menyerbu dan menduduki markas
Tentara Indonesia di Masjid Agung Palembang. Pasukan Batalyon Geni
dibantu oleh Tokoh Masyarakat bahu membahu memperkuat barisan mengobarkan
semangat jihad yang akhirnya dapat berhasil mempertahankan Masjid Agung dari
serangan sporadis Belanda. Pasukan bantuan belanda dari Talang Betutu gagal
menuju masjid agung karena disergab oleh pasukan Lettu. Wahid Luddien sedangkan
pada hari kedua Lettu Soerodjo tewas ketika menyerbu Javache Bank. Diseberang
ulu Lettu. Raden. M menyerbu kedudukan strategis belanda di Bagus Kuning dan
berhasil mendudukinya untuk sementara. Bertepatan dengan masuknya pasukan
bantuan kita dari Resimen XVII Prabumulih.
3 Januari 1947
Pertempuran
yang semakin sengit kembali memakan korban perwira penting Lettu. Akhmad Rivai
yang tewas terkena meriam kapal perang belanda di sungai seruju. Keberhasilan
gemilang diraih oleh Batalyon Geni pimpinan Letda Ali Usman yang sukses
menhancurkan Tiga Regu Kaveleri Gajah Merah Belanda. Meskipun Letda Ali Usman
terluka parah pada lengan.
Pasukan lini
dua kita yang bergerak dilokasi keramat Candi Walang (24 Ilir) menjaga posisi
untuk menghindari terlalu mudah bagi belanda memborbardir posisi mereka.
Sedangkan pasukan Ki.III/34 di 4 Ulu berhasil menenggelamkan satu kapal belanda
yang sarat dengan mesiu. Akibatnya pesawat-pesawat mustang belanda mengamuk dan
menghantam selama 2 jam tanpa henti posisi pasukan ini.
Pada saat ini
pasukan bantuan kita dari Lampung, Lahat dan Baturaja tiba dikertapati namun
kesulitan memasuki zona sentral pertempuran diareal masjid agung dan sekitar
akibat dikuasainya Sungai Musi oleh Pasukan Angkatan Laut Belanda.
4 Januari 1947
Belanda
mengalami masalah amunisi dan logistik akibat pengepungan hebat dari segala
penjuru oleh tentara dan rakyat, sedangkan tentara kita mendapat bantuan dari Tokoh
masyarakat dan pemuka adat yang mengerahkan pengikutnya untuk membuka dapur
umum dan lokasi persembunyian serta perawatan umum.
Pasukan Mayor Nawawi yang
mendarat di keramasan terus melaju ke pusat kota melalui jalan Demang Lebar
Daun. Bantuan dari pasukan ke masjid agung terhadang di Simpang empat BPM,
Sekanak, dan Kantor Keresidenan oleh pasukan belanda sehingga bantuan belum
bisa langsung menuju kewilayah charitas dan sekitar.
5 Januari 1947
Pada hari ke
Lima panser belanda serentak bergerak maju kearah Pasar Cinde namun belum
berani maju karena perlawanan sengit dari Pasukan Mobrig kita pimpinan
Inspektur Wagiman dibantu oleh Batalyon Geni. Sedangkan pasukat belanda dijalan
merdeka mulai sekanak tetap tertahan tidak mampu mendekati masjid agung. Akibat
kesulitan tentara belanda dibidang logistik dan kesulitan yang lebih besar pada
pihak kita pada bidang amunisi akhirnya dibuat kesepakatan untuk mengadakan Cease
Fire. Yang isinya adalah:
“Pasukan dari Kebun Duku diperintahkan untuk
menyerang Jalan Jawa lama dan 11 Siang telah menyusun barisan berangkat ke
kenten. Tiba-tiba dalam perjalanan Kapal Belanda menembaki rumah sekolah yang
dihuni oleh Batalyon Geni dan Laskar Nepindo sehingga pihak kita mengalami
banyak kerugian dan korban jiwa.
Dalam Cease Fire TKR dan laskar serta badan-badan perlawanan rakyat
diperintahkan mundur sejauh 20 KM dari kota palembang atas perintah Komandan
Divisi II Kolonel Bambang Utoyo. Sedangkan dikota palembang hanya diperbolehkan
pasukan ALRI dan unsur sipil dari RI yang tinggal.”
II.4 Perang Padri
Istilah Padri
berasal dari kata Padre yang berarti Ulama. Pada mulanya perang Padri merupakan
Perang Saudara antara para Ulama berhadapan denegan Kaum Adat. Setelah Belanda
ikut campur yang semula membantu kaum adat berubahlah perang itu menjadi perang
Kolonial.
Pertentangan
antara Kaum Padri dan Kaum Adat itu dapat dikemukankan sebab-sebabnya sebagai
berikut :
- Kaum Adat adalah kelompok masyarakat yang walaupun telah memeluk agama islam namun masih teguh memegang adat dan kebiasaankebiasaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.
- Kaum Padri adalah kelompok masyarakat Islam di Sumatra Barat yang telah menunaikan ibadah haji di Mekkah serta membawa pandangan baru. Terpengaruh oleh gerakan Wahabi mereka berusaha hidup sesuai dengan ajaran Al’quran dan Hadist, berusaha melakukan pembersihan terhadap tindakan-tindakan masyarakat yang menyimpang dari ajaran tersebut. Beberapa tokoh kaum Padri adalah Haji Miaskin, Haji Sumanik, Haji Piobang. Tokoh lainnya adalah Malin Basa ( terkenal dengan nama Imam Bonjol), Tuanku Mesiangan, tuanku Nan Renceh dan Datok Bandaharo.
Dengan
perbedaan yang cukup mendasar tersebut terjadilah perebutan pengaruh antara
kaum adat dan kaum Padri di tengah-tengah masyarakat. Pernah diadakan pertemuan
untuk mengakhiri perbedaan tadi di Koto Tengah namun tidak berhasil dan bahkan
memicu pertikaian. Untuk menghadapi kaum Padri maka kaum Adat meminta bantuan
kepada Belanda pada tahun 1821 yang dapat Anda perlajari pada uraiannya berikut
ini.
Jalannya Perang Padri
- Tahun 1821-1825. Pada bulan April tahun 1821 terjadi pertempuran antara kaum Padri melawan Belanda dan kaum Adat di Sulit Air dekat danau Singkarak. Belanda mengirimkan tertaranya dari Batavia di bawah pimpinan Letkol Raaf dan berhasil menduduki Batusangkar dekat Pagaruyung lalu mendirikan benteng yang bernama Fort Van der Capellen. Pada tahun 1824 dan 1825 terjadi perjanjian perdamaian antara Belanda dengan kaum Padri di Padang yang pada pokoknya tidak akan saling menyerang.
- Tahun 1825-1830. Pada periode ini Belanda juga sedang menghadapi perang Diponegoro sehingga perjanjian perdamaian di atas sangat menguntungkan Belanda. Untuk menghadapi Kaum Padri, Belanda membangun benteng disebut Fort de Kock ( nama panglima Belanda) di Bukittinggi.
- Tahun 1831-1837. Belanda bertekad mengakhiri perang Padri setelah dapat memadamkan Perang Diponegoro. Tindakan yang dilakukan Belanda adalah mendatangkan pasukan dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout kemudian Mayor Michaels dengan tugas pokok menundukkan Kaum Padri yang berpusat di Ketiangan dekat Tiku. Selain itu Belanda juga mengirim Sentot Ali Basa Prawirodirdjo (bekas panglima Diponegoro) serta sejumlah pasukan dari pulau Jawa walaupun kemudian berpihak kepada kaum Padri.
Sejak tahun 1831 kaum Adat
bersatu dengan kaum Padri untuk menghadapi Belanda. Pada tanggal 25
Oktober 1833 Belanda menawarkan siasat perdamaian dengan mengeluarkan Plakat
Panjang yang isinya sebagai berikut:
- Belanda ingin menghentikan perang;
- Tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Minangkabau;
- Tidak akan menarik cukai dan iuran-iuran.
- Masalah kopi, lada dan garam akan ditertibkan.
Imam Bonjol tetap waspada dengan
siasat Belanda itu. Setelah tahun 1834 terjadi lagi serangan sasaran utama
serangan Belanda adalah benteng Bonjol yang dapat direbutnya pada tanggal 16
Agustus 1837. Belanda mengajak Imam Bonjol berunding namun kemudian ditangkap.
Ia dibawa ke Batavia lalu dipindahkan ke Miinahasa sampai wafatnya tahun 1864
dalam usia 92 tahun. Perlawanan dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai yang dapat
dikalahkan Belanda tahun 1838.
II.5 PERANG
BANJAR (1859-1905)
Perang Banjar disulut dengan adanya
campur tangan Belanda dalam urusan dalam negeri kerajaan dengan mengangkat
Sultan Tamjid yang memihak Belanda menjadi sultan di Kerajaan Banjar. Padahal
yang berhak atas tahta adalah Pangeran Hidayat.Tindakan Belanda ditantang para
bangsawan terutama Pangeran Antasari. Sejak saat itu Pangeran Antasari bertekad
mengusir Belanda dari tanah Banjar. Tekad Pangeran Antasari ini didukung oleh
kepala-kepala daerah dan rakyat Banjar.
(Badrika. 2006:141)
Perang pertama terjadi tanggal 18
April 1859 dengan menyerang pos Belanda di Martapura dan Pengaron. Kyai Demang
Lehman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, dan Kyai Langlang menyerang Tabanio dan
berhasil merebut benteng Tabanio. Perang terus berkobar. Tumenggung Surapati
dengan pasukannya berhasil menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di sungai
Barito dengan tipu muslihat pura-pura mau bekerjasama. Sementara Pangeran
Hidayat juga terus berjuang menentang Belanda.Tanggal 11 Juni 1860 Belanda
secara sepihak menghapuskan kerajaan Banjar dan langsung diperintah oleh
Belanda dengan menempatkan seorang residen.Perang Banjar makin meluas ke Banua
Lima dan Hulu Barito. Sementara karena kurangnya persenjataan Pangeran Hidayat
terdesak dan menyerah 3 Februari 1862. Pemimpin lainnya Kyai Demang Lehman
tertangkap tanggal 2 Oktober 1861. Kemudian dihukum gantung.
Perlawanan terus dikobarkan oleh Pangeran Antasari
yang pada bulan Maret 1862 ia diangkat menjadi pemimpin tertinggi agama Islam
dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.Pemimpin perang Banjar
tidak mengandalkan satu pimpinan dan dari satu kalangan. Karenanya pemimpin
silih berganti, ada dari bangsawan, ulama, dan rakyat biasa. Seperti Tumenggung
Jalil, Penghulu Rasyid, Panglima Batur, Gusti Matseman, dsb.
Setelah lama berjuang Pangeran
Antasari jatuh sakit dan meninggal pada 31 Oktober 1862. Perang dilanjutkan
oleh anaknya Gusti Matseman dengan pusat Hulu Barito. Dengan semangat Waja
Sampai Kaputing rakyat Banjar terus berjuang.Serangan terhadap Belanda di Banua
Lima yang terakhir terjadi diakhir abad ke 19 yang dipimpin oleh Bukhari,
Santar, dan H. Matseman dan beberapa pemimpin lainnya di Hantarukung, Kandangan
berhasil menewaskan Controleur Ch. H.A de Senerpant Domis dan Aspirant KWE Von
Welonleschen pada hari Minggu, 25 September 1899. Tetapi serangan balasan
Belanda tanggal 26 September 1899 telah menewaskan Bukhari, H. Matamin, dan
Landuk serta menangkap beberapa pengikut yang kemudian dibuang entah
kemana.Perlawanan Gusti Matseman di daerah Barito terus berlangsung hingga
tahun 1905. Tetapi dengan runtuhnya benteng Merawing tahun 1905 dan gugurnya
Gusti Matseman secara perlahan-lahan perlawanan rakyat Banjar melemah.
II.6
Perang Diponegoro
Perang Diponegoro
adalah sebuah peperangan besar yang terjadi pada tahun 1825-1830 di Jawa Tengah
dan sebagian daerah Jawa Timur, yang mana peperangan ini dipimpin oleh Pangeran
Diponegoro.
|
Praktik kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan
bangsa Belanda di Nusantara telah menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi.
Hal tersebut mengakibatkan berbagai bentuk perlawanan bersenjata yang dilakukan
rakyat di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya adalah perlawanan yang
dilakukan oleh Pangeran Diponegoro. Perang Diponegoro disebut-sebut
sebagai perlawanan rakyat terbesar di Pulau Jawa selama pemerintahan kolonial
Belanda. Perang Diponegoro berlangsung selama lima tahun yaitu antara
tahun 1825-1830 dan diperkirakan memakan hampir 200.000 dari kedua belah
pihak.peta kerajaan mataram Pangeran
Diponegoro adalah seorang bangsawan dari
Kesultanan Yogyakarta dan merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III. Pada
zamannya, wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram khususnya Kesultanan Yogyakarta
menjadi semakin sempit karena banyak daerah yang di ambil alih oleh pemerintah
kolonial Belanda. Di lingkungan istana Yogyakarta sendiri terdapat dua
golongan, satu golongan berpihak kepada pemerintah kolonial Belanda, sementara
pihak lain menentang pemerintah Belanda. (Badrika. 2006:168)
Pangeran Diponegoro merupakan salah satu bangsawan
yang menentang kolonial Belanda karena telah melihat berbagai penindasan yang
mereka lakukan kepada rakyat. Beliau akhirnya lebih memilih untuk mengasingkan
diri dari istana dan menetap di Desa Tegalrajo, Yogyakarta. Di Desa inilah
Pangeran Diponegoro menjalani hidup sebagai rakyat biasa namun diam-diam mulai
menyusun kekuatan untuk melawan Belanda.
Penyebab Perang Diponegoro
1. Semakin menyempitnya daerah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta.
2. Penderitaan rakyat akibat kerja rodi dan diberlakukannya berbagai macam pajak.
3. Tindakan Belanda yang sering ikut campur dalam urusan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta.
4. Masuknya budaya barat yang bertentangan dengan Islam dan budaya setempat.
5. Munculnya beberapa pejabat istana yang berkhianat dan mendukung Belanda.
6. Dibongkarnya makam leluhur Pangeran Diponegoro secara sepihak oleh Belanda.
Saat menghadapi Belanda, Pangeran Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya dan memusatkan pertahanannya di Goa Selarong. Penggunaan strategi perang gerilya ini terbukti cukup berhasil karena pasukan Diponegoro mempu mendesak Belanda hingga ke daerah Pacitan.Belanda yang mulai kewalahan menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro akhirnya menerapkan strategi benteng stelsel, yaitu dengan mendirikan beberapa benteng di daerah yang sudah berhasil dikuasai dan menghubungkan tiap benteng dengan jalan sehingga akan memudahkan komunikasi.
Penggunaan strategi benteng stelsel oleh belanda mampu mempersulit pergerakan pasukan Diponegoro sehingga setiap pasukan hanya bisa bertahan di daerah masing-masing. Banyak pasukan Pangeran Diponegoro yang tertangkap, terbunuh, maupun menyerahkan diri karena terus terdesak. Meskipun terus terdesak, Pangeran Diponegoro bersama para pendukung fanatiknya terus melakukan perlawanan.
Tahun 1828, Kiai Mojo salah satu penguasa pendukung Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap oleh Belanda dan di asingkan ke Minahasa sampai wafatnya. Setahun kemudian, Sentot Prawirodirjo menyerah kepada belanda dan bersama pasukannya dikirim ke Sumatera Barat untuk memadamkan perlawanan Tuanku Imam Bonjol. Namun Sentot Prawirodirjo akhirnya ditangkap oleh belanda dan diasingkan ke Bengkulu sampai akhir hayatnya karena ia dan pasukannya malah memihak kepada Tuanku Imam Bonjol.
Meskipun
terus terdesak, Pangeran Diponegoro bersama para pendukung fanatiknya terus
melakukan perlawanan meski pemerintah Belanda menjanjikan uang sebesar 20.000
ringgit bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya hidup atau mati. Jendral De
Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Belanda terus berupaya membujuk
Pangeran Diponegoro agar mau berunding dengan Belanda. Akhirnya Pangeran
Diponegoro menerima tawaran tersebut dan perundingan dilaksanakan di Magelang,
tanggal 28 Maret 1830. Namun ketika proses perundingan sedang berlangsung,
secara licik Belanda menangkap Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro
kemudian dibawa ke Batavia, kemudian diasingkan lagi ka Manado, lalu
dipindahkan ke Makassar sampai beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Sejak
penangkapan Pangeran Diponegoro secara licik oleh Belanda tersebut, maka
berakhir pula lah sejarah panjang Perang Diponegoro yang sangat legendaris
tersebut. (kumpulansejarah.com)
II.7 Perlawanan Rakyat Bali
Bali
(saat itu dikenal sebagai Jawa kecil) adalah salah
satu pulau di Kepulauan Sundayang berada di timur Jawa;
jarak bentang pulau ini 105 mil geografis dan berpenduduk 700.000
jiwa. Cornelis de Houtman pernah mendatangi pulau itu dan diterima
baik namun dalam perkembangannya kesepahaman kurang terjalin; pada
tahun 1841 dan1843 sebuah persetujuan diputuskan
antara kerajaan setempat dan pemerintah Hindia-Belanda tetapi penduduk Bali
segera menunjukkan permusuhan. Khususnya RajaBuleleng berkali-kali
melanggar semua butir perjanjian itu dan bendera Belandadihinakan;
sehingga atas tanggung jawabnya, ia harus mengalah atas sikap arogansinya, dan
pemerintah tidak dapat membiarkannya karena daerah lain juga akan menunjukkan
tanda-tanda perlawanan. ( yahwa-ki.blogspot.com)
Sebuah
armada dipersiapkan, terdiri atas 23 kapal perang dan
17 kapal lainnya; angkatan itu terdiri atas 1.280 serdadu dan
dipersenjatai dengan 115 moncong senapan; pada tanggal 20 Juni 1846
pasukan diberangkatkan di bawah pimpinan LaksDa Engelbertus Batavus
van den Bosch ke Besuki dan seminggu kemudian ke Buleleng.
Pasukan ekspedisi dibawa ke kapal dengan kekuatan 1700 prajurit, di antaranya
terdapat 400 serdadu Eropa dipimpin oleh LetKol. Bakker. Raja diberi
ultimatum 3 kali dalam 24 jam, pada tanggal 17 Juni, hari ketika
ekspedisi ke Buleleng terjadi, berlalu begitu saja. Di hari berikutnya, pasukan
itu tiba di bawah pimpinan perwira Abraham Johannes de Smit van den
Broecke di bawah perlindungan senapan laut. Lebih dari 10.000
prajurit Bali mencegah pendaratan tersebut namun gagal dan pasukan penyerang
maju ke daerah persawahan yang telah dikelilingi oleh pasukan Buleleng.
Angkatan yang tersedia dibagi 3 di bawah pimpinan May. De Brauw, May.
Boers dan Kapt. J.F. Lomon. Semua kerja perlawanan dilakukan dan di
hari berikutnya serdadu Belanda maju ke ibukota Singaraja dan
menaklukkan kota itu.
Pasca perang
Kerajaan
Karangasem dan Buleleng menawarkan penyerahan diri dan para penduduk
kembali ke tempat tinggalnya masing-masing; ketika datang ke
Bali, GubJend. Jan Jacob Rochussen ia menemukan daerah setempat
menyerah. Dengan Kerajaan Karangasem dan Buleleng disepakatilah perjanjian
baru, yang kewajiban terhadap pemerintah Hindia-Belanda diselesaikan dengan
cepat; namun keadaan damai yang dicapai pada tanggal 12 Juli itu
pecah kembali. Pemerintahan membangun benteng di Buleleng yang dihuni
oleh 200 orang yang dikendalikan penduduk dan menjamin pengawasan kontrak yang
dibuat namun kemudian tak dapat disangka bahwa perang segera meletus
dan serangan menjadi kenyataan.
Perang Bali
II terjadi pada tahun 1848. Perang tersebut berlangsung antara
pasukan Belanda melawan pasukan Bali. Belandamemanfaatkan isu hak
tawan karang, di mana raja-raja Bali dapat merampas kapal yang karam di
perairannya, yang tak dapat disetujui oleh hukum internasional.
Pasukan Belanda
beranggotakan 2.400 prajurit, sepertiga terdiri atas orang Eropa, sisanya
adalah orang Jawa dan Madura, ditambah dengan
1 kompi yang beranggotakan orang kulit hitam Afrika, kemungkinan
berasal dari koloni Belanda di Ghana (saat itu Pantai Emas).Angkatan
tersebut mendarat di Sangsit, Buleleng pada tanggal 7
Mei 1848.Orang Bali berjumlah 16.000 jiwa, temasuk 1.500 orang yang
bersenjatakan senapan api di bawah pimpinan I Gusti Ketut
Jelantik.Setelah Belanda mendarat, orang Bali menarik diri ke posisi mereka di
Jagaraga, hanya 4 kilometer jauhnya.
Belanda menyerang
musuh di Jagaraga meskipun udara panas menyengat. Orang Bali menyerang balik
dan menghalau pasukan Belanda, yang di pihaknya jatuh korban 200 orang tewas,
sehingga harus naik kapal kembali.
Setelah kekalahan ini, Belanda
kembali lagi dalam ekspedisi berikutnya pada tahun 1849.
Pimpinan ekspedisi ketiga dipegang oleh Jend. Andreas Victor Michiels,
yang dipanggil dari Pesisir Barat Sumatera, dan pada
bulan November 1848 mendapatkan kesempatan inspeksi ke sana.
Dengan
urusan tersebut, yang sejauh itu bisa diketahui, ia kemudian ditempatkan untuk
memimpin angkatan perang sebanyak 5.000 prajurit dan 3.000 kuli di
bulan Maret 1849, dan semuanya diberangkatkan ke Bali. Pada
tanggal 28 Maret, Michiels memimpin pasukannya ke Buleleng dan 2 hari
kemudian ke Singaraja tanpa banyak perlawanan, dan esoknya sebuah perundingan
diusahakan terhadap kerajaan tersebut; namun gagal. Dari sini, Michiels
merencanakan serangan ke Jagaraga; di saat yang sama sebagian pasukan, di bawah
pimpinan Jan van Swieten, sibuk menahan pasukan di depan,
dan May. Cornelis Albert de Brauw (bersama tokoh lain
seperti Willem Lodewijk Buchel, Johannes Root dan Karel van
der Heijden) melakukan beberapa kerja tak resmi yang dengan cepat dapat
menduduki. Hingga pagi hari, pengurangan di bagian barat dirasakan dan serangan
di depan oleh Van Swieten diulang kembali, yang setelah itu Jagaraga jatuh dan
pasukan Bali melarikan diri.( yahwa-ki.blogspot.com)
Pasca perang
Pada
tanggal 8 Mei, Michiels bertolak ke Teluk Labuhan Amuk di Padang
Cove (sekarang Padangbai), Karangasem, yang sebelumnya Toontje
Poland sudah tiba. Pada tanggal 24 Mei, Michiels meneruskan
perjalanan ke Kusamba dan menguasai kampung itu tanpa masalah. Di
pagi berikutnya perjalanan itu berlanjut, namun di malam hari pasukan Bali melancarkan
serangan atas kampung itu, dan dalam serbuan itu Michiels terluka parah
di pahanya dan tewas saat itu juga setelah diamputasi. Di pagi
berikutnya Van Swieten, yang sudah diangkat sebagai panglima, juga kembali
ke Padang Cove; setelah perundingan di Kusamba gagal kembali (10 Juni) dan
meminta penyerahan mereka. Pada tanggal 12 Juni persetujuan tercapai,
di mana Jembrana dinyatakan sebagai bagian
dari Hindia-Belanda dan Kerajaan Bangli digabungkan ke
Buleleng. Penyelesaian itu diratifikasi oleh Jan Jacob Rochussen dan
menjadi dasar bagi penguasaan Belanda atas Bali.
II.8 Perlawanan
Rakyat Maluku
Pada
tahun 1605 Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan berhasil merebut benteng
Portugis di Ambon. Praktik monopoli dengan sistem pelayaran Hongi menimbulkan
kesengsaran rakyat. Pada tahun 1635 muncul perlawanan rakyat Maluku terhadap
VOC di bawah pimpinan Kakiali, Kapten Hitu. Perlawanan segera meluas ke
berbagai daerah. Oleh karena kedudukan VOC terancam, maka Gubernur Jederal Van
Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku (1637 dan 1638) untuk menegakkan
kekuasaan Kompeni. Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku, Kompeni
menjanjikan akan memberikan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat membunuh
Kakiali. Akhirnya seorang pengkhianat berhasil membunuh Kakiali. (Hanna, Williard. 1996 : 173)
Dengan
gugurnya Kakiali, untuk sementara Belanda berhasil mematahkan perlawanan rakyat
Maluku, sebab setelah itu muncul lagi perlawanan sengit dari orang-orang Hitu
di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun
1646. Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon yang dipimpin oleh Saidi.
Perlawanan meluas ke daerah lain, seperti Seram, Maluku, dan Saparua. Pihak
Belanda agak terdesak, kemudian minta bantuan ke Batavia. Pada bulan Juli 1655
bala bantuan datang di bawah pimpinan Vlaming van Oasthoom dan terjadilah
pertempuran sengit di Howamohel. Pasukan rakyat terdesak, Saidi tertangkap dan
dihukum mati, maka patahlah perlawanan rakyat Maluku.
(Hanna, Williard. 1996 : 175)
Sampai akhir
abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan menentang VOC. Pada akhir abad ke-18,
muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Jamaluddin, namun
segera dapat ditangkap dan diasingkan ke Sailan (Sri Langka). Menjelang akhir
abad ke-18 (1797) muncullah perlawanan besar rakyat Maluku di bawah pimpinan
Sultan Nuku dari Tidore. Sultan Nuku berhasil merebut kembali Tidore dari
tangan VOC. Akan tetapi setelah Sultan Nuku meninggal (1805), VOC dapat
menguasai kembali wilayah Tidore. (Hanna,
Williard. 1996 : 181)
Perlawanan Pattimura terjadi di Saparua, yaitu
sebuah kota kecil di dekat pulau Ambon. Sebab-sebab terjadinya perlawanan
terhadap Belanda adalah :
- Rakyat Maluku menolak kehadiran Belanda karena pengalaman mereka yang menderita dibawah VOC
- Pemerintah Belanda menindas rakyat Maluku dengan diberlakukannya kembali penyerahan wajib dan kerja wajib
- Dikuasainya benteng Duursteide oleh pasukan Belanda
Akibat
penderitaan yang panjang rakyat menentang Belanda dibawah pimpinan Thomas
Matulesi atau Pattimura. Tanggal 15 Mei 1817 rakyat Maluku mulai bergerak
dengan membakar perahu-perahu milik Belanda di pelabuhan Porto. Selanjutnya
rakyat menyerang penjara Duurstede. Residen Van den Berg tewas tertembak dan
benteng berhasil dikuasai oleh rakyat Maluku. (Hanna, Williard. 1996 : 181)
Pada bulan Oktober 1817 pasukan Belanda dikerahkan
secara besar-besaran, Belanda berhasil menangkap Pattimura dan kawan-kawan dan
pada tanggal 16 Nopember 1817. Pattimura dijatuhi hukuman mati ditiang
gantungan, dan berakhir lah perlawanan rakyat Maluku.
II.9 Perlawanan Rakyat Mataram
Sultan Agung (1613-1645) adalah raja terbesar
Mataram yang bercita-cita mempersatukan seluruh Jawa di bawah Mataram dan
mengusir Kompeni (VOC) dari Pulau Jawa. Untuk merealisir cita-citanya, ia bermaksud
membendung usaha-usaha Kompeni menjalankan penetrasi politik dan monopoli
perdagangan. (Notosusanto,
Nugroho, 2008 : 224)
Pada tanggal 18 Agustus 1618, kantor dagang VOC di
Jepara diserbu oleh Mataram. Serbuan ini merupakan reaksi pertama yang dilakukan
oleh Mataram terhadap VOC. Pihak VOC kemudian melakukan balasan dengan
menghantam pertahanan Mataram yang ada di Jepara. Sejak itu, sering terjadi
perlawanan antara keduanya, bahkan Sultan Agung berketetapan untuk mengusir
Kompeni dari Batavia. (Notosusanto, Nugroho, 2008 : 224)
Serangan besar-besaran terhadap Batavia, dilancarkan
dua kali. Serangan pertama, pada bulan Agustus 1628 dan dilakukan dalam dua
gelombang. Gelombang I di bawah pimpinan Baurekso dan Dipati Ukur, sedangkan
gelombang II di bawah pimpinan Suro Agul-Agul, Manduroredjo, dan Uposonto.
Batavia dikepung dari darat dan laut selama tiga bulan, tetapi tidak menyerah.
Bahkan sebaliknya, tentara Mataram akhirnya terpukul mundur. (Notosusanto, Nugroho, 2008 : 225)
Serangan kedua dilancarkan pada bulan September 1629
di bawah pimpinan Dipati Purbaya dan Tumenggung Singaranu. Akan tetapi serangan
yang kedua ini pun juga mengalami kegagalan. Kegagalan serangan-serangan
tersebut disebabkan:
- Kalah persenjataan.
- Kekurangan persediaan makanan, karena lumbung-lumbung persediaan makanan yang dipersiapkan di Tegal, Cirebon, dan Kerawang telah dimusnahkan oleh Kompeni.
- Jarak Mataram - Batavia terlalu jauh.
- Datanglah musim penghujan, sehingga taktik Sultan Agung untuk membendung sungai Ciliwung gagal.
- Terjangkitnya wabah penyakit yang menyerang prajurit Mataram.
II.10 Perlawanan Trunojoyo(1674-1680)
Trunojoyo,
seorang keturunan bangsawan dari Madura tidak senang terhadap Amangkurat I,
karena pemerintahannya yang sewenang-wenang dan menjalin hubungan dengan
Kompeni. Perlawanan Trunojoyo di mulai pada tahun 1674, dengan menyerang
Gresik. Dengan berpusat di Demung (dekat Panarukan), Trunojoyo melakukan
penyerangan dan dalam waktu singkat telah berhasil menguasai beberapa daerah di
Jawa Timur dan Jawa Tengah bahkan sampai pusat Mataram di Plered (Yogyakarta).
Dalam perlawanan ini, Trunojoyo dibantu oleh Raden Kajoran, Macan Wulung,
Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Galesung. (Suyono, 2003 : 54)
Pada tanggal 2 Juli 1677, pasukan Trunojoyo telah
berhasil menduduki Plered, ibukota Mataram. Amangkurat I yang sering sakit
bersama putra mahkota, Adipati Anom melarikan diri untuk minta bantuan kepada
Kompeni di Batavia. Dalam perjalanan, Amangkurat I meninggal di Tegal Arum
(selatan Tegal), sehingga dikenal dengan sebutan Sultan Tegal Arum. Adipati
Anom kemudian menaiki takhta dengan gelar Amangkurat II. Untuk menghadapi
Trunojoyo, Amangkurat II minta bantuan Kompeni, akan tetapi tidak ke Batavia
namun ke Jepara. Pimpinan Kompeni (VOC) Speelman menerima dengan baik Amangkurat
II dan bersedia membantu dengan suatu perjanjian (1678) yang isinya:
- VOC mengakui Amangkurat II sebagai raja Mataram.
- VOC mendapatkan monopoli dagang di Mataram.
- Seluruh biaya perang harus diganti oleh Amangkurat II
- Sebelum hutangnya lunas, pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC.
- Mataram harus menyerahkan daerah Kerawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya kepada VOC.
Setelah
perjanjian ini ditandatangani penyerangan di mulai. Pada waktu itu Trunojoyo
telah berhasil mendirikan istana di Kediri dengan gelar Prabu Maduretno.
Tentara VOC di bawah pimpinan Anthonie Hurdt, yang dibantu oleh tentara Aru
Palaka dari Makasar, Kapten Jonker dari Ambon beserta tentara Mataram menyerang
Kediri. Dengan mati-matian tentara Trunojoyo menghadapi pasukan gabungan
Mataram-VOC, tetapi akhirnya terpukul mundur. Pasukan Trunojoyo terus terdesak,
masuk pegunungan dan menjalankan perang gerilya. Demi keselamatan sebagian
pengikutnya, pada tanggal 25 Desember 1679 menyerah dan akhirnya gugur ditikam
keris oleh Amangkurat II pada tanggal 2 Januari 1680. Dengan gugurnya
Trunojoyo, terbukalah jalan bagi VOC untuk meluaskan wilayah dan kekuasaannya
di Mataram. (Suyono, 2003
: 55)
II.11 Perlawanan Untung
Suropati (1868-1706)
Untung, menurut cerita adalah seorang putra bangsawan
dari Bali, yang dibawa pegawai VOC ke Batavia. Semula Untung dijadikan tentara
VOC di Batavia. Dalam peristiwa Cikalong (1684), merasa harga dirinya
direndahkan, maka Untung berbalik melawan VOC. (Notosusanto,
Nugroho, 2008 : 226)
Dengan peristiwa Cikalong tersebut, Untung tidak
kembali ke Batavia, namun melanjutkan perlawanan menuju Cirebon. Di Cirebon
terjadi perkelahian dengan Suropati dan Untung menang sehingga namanya
digabungkan menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan
menuju Kartasura, dan disambut
baik oleh Amangkurat II yang telah merasakan beratnya perjanjian yang dibuat
dengan VOC. Pada tahun 1686, datanglah utusan VOC di Kartasura di bawah
pimpinan Kapten Tack dengan maksud merundingkan soal hutang Amangkurat II dan
menangkap Untung. Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah
pertempuran. (Notosusanto, Nugroho, 2008 : 226)
Kapten Tack bersama anak buahnya berhasil
dihancurkan oleh Untung, dan Untung kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa
Timur hingga sampai di Pasuruan. Di Pasuruan inilah Untung Suropati berhasil
mendirikan istana dan mengangkat dirinya menjadi adipati dengan gelar Adipati
Ario Wironegoro, dengan wilayah seluruh Jawa Timur, antara lain Blambangan,
Pasuruhan, Probolinggo, Malang, Kediri dan Bangil. Di Bangil, dibangun
perbentengan guna menghadapi VOC. (Notosusanto, Nugroho, 2008 : 226)
Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, putra mahkota
Sunan Mas naik takhta. Raja baru ini benci terhadap Belanda dan condong
terhadap perlawanan Untung. Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang ingin
menjadi raja, pergi ke Semarang dan minta bantuan kepada VOC agar diakui
sebagai raja Mataram. Pada tahun 1704, Pangeran Puger dinobatkan menjadi raja
dengan gelar Paku Buwono I. Pada tahun 1705 Paku Buwono I dan VOC menyerang
Mataram. Sunan Mas melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Untung di Jawa
Timur. (Notosusanto, Nugroho, 2008 : 226)
Oleh pihak Kompeni di Batavia, dipersiapkan pasukan
secara besar-besaran untuk menyerang Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de
Wilde, pasukan Kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung. Dalam perlawanan di
Bangil, Untung Suropati terluka dan akhirnya pada tanggal 2 Oktober 1706 gugur.
Jejak perjuangannya diteruskan oleh putra-putra Untung, namun akhirnya berhasil
dipatahkan oleh Kompeni. Bahkan Sunan Mas sendiri akhirnya menyerah, kemudian
dibawa ke Batavia, dan diasingkan ke Sailan (1708). (Notosusanto, Nugroho, 2008 : 226)
II.12 Perlawanan Makasar
Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul
beberapa kerajaan kecil seperti Gowa, Tello, Sopeng, dan Bone. Di antara
kerajaan tersebut yang muncul menjadi kerajaan yang paling kuat ialah Gowa,
yang lebih dikenal dengan nama Makasar. (Suyono, 2003
: 78)
Adapun faktor-faktor yang mendorong perkembangan
Makasar, antara lain
- Letak Makasar yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan Malaka-Batavia-Maluku.
- Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511.
- Timbulnya Banjarmasin sebagai daerah penghasil lada, yang hasilnya dikirim ke Makasar.
Usaha penetrasi kekuasaan terhadap Makasar oleh VOC
dalam rangka melaksanakan monopolinya menyebabkan hubungan Makasar - VOC yang
semula baik menjadi retak bahkan akhirnya menjadi perlawanan. Hal ini
dikarenakan Makasar selalu menerobos monopoli VOC dan selalu membantu rakyat
Maluku melawan Kompeni. Pertempuran besar meletus pada tahun 1666, ketika
Makasar di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1670). Dalam hal ini VOC
berkoalisi dengan Kapten Jonker dari Ambon, Aru Palaka dari Bone, dan di pihak
VOC sendiri dipimpin oleh Speelman. Makasar dikepung dari darat dan laut, yang
akhirnya pertahanan Makasar berhasil dipatahkan oleh VOC. Para pemimpin yang
tidak mau
menyerah, seperti Karaeng Galesung dan Karaeng Bontomarannu melarikan diri ke Jawa (membantu perlawanan Trunojoyo). (Suyono, 2003 : 79)
menyerah, seperti Karaeng Galesung dan Karaeng Bontomarannu melarikan diri ke Jawa (membantu perlawanan Trunojoyo). (Suyono, 2003 : 79)
Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian
Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya :
- Wilayah Makasar terbatas pada Goa, wilayah Bone dikembalikan kepada Aru Palaka.
- Kapal Makasar dilarang berlayar tanpa izin VOC.
- Makasar tertutup untuk semua bangsa, kecuali VOC dengan hak monopolinya.
- Semua benteng harus dihancurkan, kecuali satu benteng Ujung Pandang yang kemudian diganti dengan nama Benteng Roterrdam.
- Makasar harus mengganti kerugian perang sebesar 250.000 ringgit.
Sultan Hasanuddin walaupun telah menandatangani
perjanjian tersebut, karena dirasa sangat berat dan sangat menindas; maka
perlawanan muncul kembali (1667-1669). Makasar berhasil dihancurkan dan
dinyatakan menjadi milik VOC.
II.13 Perlawanan Banten
Pada waktu orang-orang Belanda datang pertama kali
di Banten (1596), Banten berada di bawah pemerintahan Maulana Muhammad. Pada
saat itu Banten telah berkembang menjadi kota bandar yang ramai. Wilayah Banten
meliputi seluruh Banten, Priangan, dan Cirebon. Maksud kedatangan Belanda yang
semula berdagang, maka disambut dengan baik. Akan tetapi setelah Kompeni
malakukan monopoli dan penetrasi politik, hubungan Banten - VOC menjadi buruk,
bahkan sering terjadi pertentangan; lebih-lebih setelah VOC berhasil menduduki
kota Jayakarta pada tahun 1619. (Suyono, 2003
: 36)
Pertentangan Banten - VOC menjadi perlawanan besar,
setelah Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtoyoso ( 1651 - 1682).
Dalam hal ini VOC melakukan politik "devide et impera". Pada tahun
1671 Sultan Ageng Tirtoyoso mengangkat putra mahkota (dikenal dengan sebutan
Sultan Haji karena pernah naik haji) sebagai pembantu yang mengurusi urusan
dalam negeri, sedangkan urusan luar negeri dipercayakan kepada Pangeran Purboyo
( adik Sultan Haji). Atas hasutan VOC, Sultan Haji mencurigai ayahnya dan
menyatakan bahwa ayahnya ingin mengangkat Pangeran Purboyo sebagai raja Banten.
Pada tahun 1680, Sultan Haji berusaha merebut kekuasaan, sehingga terjadilah
perang terbuka antara Sultan Haji yang dibantu VOC melawan Sultan Ageng
Tirtoyoso (ayahnya) yang dibantu Pangeran Purboyo. Sultan Ageng Tirtoyoso dan
Pangeran Purboyo terdesak ke luar kota, dan akhirnya Sultan Ageng Tirtoyoso
berhasil di tawan oleh VOC; sedangkan Pangeran Purboyo mengundurkan diri ke
daerah Priangan. (Suyono, 2003 : 37)
Pada tahun 1682 Sultan Haji dipaksa oleh VOC untuk
menandatangani suatu perjanjian yang isinya :
- VOC mendapat hak monopoli dagang di Banten dan daerah pengaruhnya.
- Banten dilarang berdagang di Maluku.
- Banten melepaskan haknya atas Cirebon.
- Sungai Cisadane menjadi batas wilayah Banten dengan VOC.
Sejak adanya
perjanjian ini, maka penguasa Banten sebenarnya ialah VOC.
BAB III
PENUTUP
III.I Kesimpulan
Indonesia memperoleh kemerdekaan
dalam waktu yang lama. Banyak para pahlawan yang gugur demi mempertahankan bumi
pertiwi tercinta. Mereka mengorbankan seluruh jiwa dan raga untuk mengejar
sebuah kata merdeka. Sebelum tahun 1908, telah banyak bangsa lain yang ingin
menjajah dan menguasai Indonesia. Mereka banyak memeras, menindas, dan merampas
hak-hak rakyat Nusantara. Banyak perlawanan dari pahlawan-pahlawan kita yang
masih bersifat kedaerahan. Muncul banyak tokoh-tokoh yang memegang andil besar
dalam perlawanan terhadap penjajahan yang bangsa lain lakukan.
Tugas kita sebagai penerus bangsa
adalah mempertahankan kemerdekaan ini, tetap menjaga semangat perjuangan dan
mempertahankan kebudayaan nenek moyang kita. Namun di jaman globalisasi
sekarang ini, semangat generasi muda penerus bangsa kian menurun dan sangat
memprihatinkan. Melihat akan gigihnya para pejuang daerah kita terdahulu,
harusnya para pemuda merasa malu. Semestinya para pemuda generasi baru harus
bisa melanjutkan perjuangan para pendahulu yang rela berkorban tanpa jasa dan
berani memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai generasi muda seharusnya
dapat melanjutkan tonggak harapan ini untuk mengisi kemerdekaan dengan cara
meningkatkan akhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Notosusanto,
Nugroho:Poesponegoro Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid IV. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Suyono Capt.R.P. 2003. Peperangan Kerajaan di
Nusantara. Jakarta:PT Gramedia
Hanna,
Williard. 1996. Ternate dan Tidore. Jakarta : PT Penebar Swadaya
Iskandar, Mohammad. 2007.Sejarah Indonesia dalam perkembangan
zaman. Jakarta: Ganeca Excat.
Badrika, I Wayan. 2006. SEJARAH. Jakarta: Erlangga.
http://www.kumpulansejarah.com/2012/11/sejarah-perang-diponegoro.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar