Minggu, 18 Mei 2014

Sejarah Kekhalifahan Umayyah dan Kekhalifahan Abbasiyah



BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan)(Hitti, 2006: 257).
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H. Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya(Ibid., hlm. 244).
Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah. Dinasti ini dinisbatkan kepada Umayyah ibn Abd al-Syams ibn Abd al-Manaf, nenek moyang Muawiyah ibn Abu Sufyan. Pendirian dinasti ini mempunyai akar sejarah yang cukup panjang. Salah satunya dendam yang berurat akar dalam diri Umayyah dan keturunannya kepada kelompok Bani Hasyim, nenek moyang Nabi Muhammad.
Umayyah ibn Abd Syams adalah musuh politik Hasyim ibn Abdul Manaf. Keduanya masih keturunan Quraisy. Kedua kubu sering bertarung memperebutkan kedudukan dan kehormatan( Jalaludin, 2002:16).
Pertarungan mereka berujung pada pertarungan ideologi agama, khususunya ketika Allah memilih salah satu keturunan Hasyim, yaitu Muhammad menjadi Nabi. Mayoritas keturunan Umayyah berada di seberang kekufuran dan menjadi penentang utama Muhammad, sementara mayoritas keturunan Hasyim berada di seberang keimanan dan menjadi pendukung utama Muhammad.
Keputusan Allah untuk memilih salah satu keturunan Hasyim menjadi Nabi ini menjadi kekalahan telak bagi Bani Umayyah, karena dengan misi agama baru ini, Muhammad menjadi penguasa jazirah Arab yang paling dihormati sekaligus ditakuti, sementara keturunan Bani Umayyah, yang diwakili oleh keluarga Abu Sufyan menjadi kelompok yang hina, bahkan secara terpaksa dan dalam kondisi terdesak, mereka harus mengikuti agama Muhammad, yaitu masuk islam pada waktu peristiwa Futuh al-Makkah tahun 10 H.
Kekalahan telak ini menjadi kenangan pahit yang tidak bisa dilupakan oleh keturunan Umayyah, sehingga di kemudian hari, salah satu penerusnya, yaitu Muawiyah melakukan berbagai cara untuk membangun kekuasaan yang lebih besar dibanding apa yang telah dilakukan Muhammad.
Muawiyah berhasil membangun pemerintahan melebihi apa yang telah di bangun oleh saudaranya, Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan Bizantium, dinastinya mampu memperluas kekuasaan islam yang tidak bisa dilakukan oleh pemimpin islam sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar ini seperti Muawiyah I, Abd al-Malik, al-Walid I, dan Umar ibn Abdul Aziz melakukan revolusi pemerintahan yang melahirkan peradaban islam yang luar biasa.
Namun, sehebat-hebatnya sebuah kekuasaan politik, pada akhirnya akan mengalami kemunduran atau kehancuran. Kehebatan Dinasti Umayyah hanya bisa dirasakan sampai khalifah Umar ibn Abul Aziz. Setelah pemerintahannya, kekuasaan Dinasti Umayyah semakin surut dan kemudian hancur pada masa raja terakhir, Marwan II, setelah direbut oleh para pemegang bendera hitam, yaitu koalisi antara bani Abbasiyah, Syiah, dan kelompok Khurasan. Maka berkakhirlah masa pemerintahan Dinasti Umayyah jilid I. Kelak salah satu keluarga Dinasti Umayyah yang lolos dari pengejaran kelompok Bani Abbasiyah akan mendirikan Dinasti Umayyah jilid II.
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah,  Bani Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan, Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa.  Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu, Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang berkuasa(Su’ud, 2003:72).
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) -  656 H. (1258 M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya(Badri, 1993: 49).
Bani Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam,  sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab lebih dekat dengan Nabi saw.. Menurut mereka,  orang Bani Umayyah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa, melakukan pemberontakan terhadap Bani Umayyah.

      1.2 Rumusan Masalah
1.      Siapa Pendirian Dinasti Bani Umayyah?
2.      Bagaimana Pola Pemerintahan Dinasti bani Umayyah?
3.      Bagaimana Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz?
4.      Bagaimana Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah?
5.      Apakah Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah?
6.      Bagaimana proses kelahiran Dinasti Abbasiyah ?
7.      Bagaimana kemajuan-kemajuan Islam yang dicapai pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah ?
8.      Apa yang menjadi penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah ?












BAB II
Pembahasan
2.1 Kekhalifahan Umayyah
2.1.1    Kelahiran Dinasti Umayyah (41 H – 132 H/661-740)
Muawiyah ibn Abi Sufyan, yang pada waktu terbunuhnya Utsman ibn Affan, masih menjabat sebagai gubernur Suriah, menolak membait Ali ibn Abi Tholib sebagai khalifah keempat Khulafaur Rasyidin. Ia malah menuntut Ali untuk bertanggung jawab atas kematian khalifah ketiga itu(Al-Husairy, 2008: 174).
Bahkan ia menyatakan memisahkan diri dari pemerintahan Ali dan dibaiat oleh pengikutnya sebagai khalifah pada tahun 40 H/660 M di Iliya (Yerusalem). Pembaitan ini menjadi cikal bakal berdirinya dinasti Umayyah dan kelompok Muawiyah ini menjadi bughot pertama dalam sejarah Islam yang memisahakan diri dari pemerintahan islam yang sah. Mereka mendirikan negara di dalam Negara; dengan menjadikan Damaskus menjadi ibu kota pemerintahan islam. Padahal pusat pemerintahan yang sah adalah kufah di bawah kepemimpinan Ali(Ibid,----: 235).
Setelah kematian Ali pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M, putra tertua Ali yang bernama al-Hasan diangkat menjadi pengganti Ali. Namun al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai(Ibid,----: 236) dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”(Hitti, 2000: 245).
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
2.1.2        Khalifah-Khalifah Dinasti Umayyah
Ada 14 khalifah dinasti Umayyah. Keempat belas khalifah ini berasal dari dua keluarga, yaitu keluarga Abu Sufyan dan Al-Hakam. Kedua-duanya cucu Umayyah bin Abd Syams. Keluarga Abu Sufyan diwakili oleh Muawiyah I, Yazid I, dan Muawiyah II. Keluarga al-Hakam diwakili oleh Marwan I, Abdul Malik, Walid I, Sulaiman, Umar, Yazid II, Hisyam, Walid II, Yazid III, Ibrahim, dan Marwan II.
  
1.      Muawiyah ibn Abu Sufyan atau Muawiyah I (41-60 H/661-679 M)
Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibunyya Hindun ibnt Rubai’ah ibn Abd Syam (Syekh Ihsan Muhammad Dahlan,  70) Sebagaimana disebutkan di bagian pendahuluan bahwa Muawiyah seorang politisi ulung dan pendiri dinasti Umayyah. Ia pantas disebut raja terbesar bani Umayyah karena jasa-jasanya dalam membangun fondasi dinasti Umayyah sehingga sanggup bertahan sampai 91 tahun. Hitti menggambarkan sosok Muawiyah ini.
Dalam diri Mu’awiyah seni berpolitik berkembang hingga tingkatan yang mungkin lebih tinggitinimbang (dibandingkan dengan: penulis) khalifah-khalifah lainnya. Menurut para penulis biografinya, nilai utama yang ia miliki adalah al-hilm, kemampuan luar biasa untuk mengunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan, sebagai gantinya, lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan(Hiiti, 2006: 245).
Pada masa pemerintahnnya, ekpansi wilayah islam diteruskan meliputi dua wilayah utama, yaitu wilayah barat dan wilayah Timur. Di wilayah Barat, kepulauan Jarba di Tunisia, kepulauan Rhodesia, kepulauan Kreta, dan kepulauan Ijih dekat Konstantinopel dapat ditaklukan. Bahkan penaklukan sampai ke daerah Maghrib Tengah (Aljazair). Uqbah ibn Nafi adalah panglima perang yang paling terkenal di wilayah ini. Di kawasan Timur, sebagian daerah-daerah di Asia Tengah dan wilayah Sindh dapat ditaklukan di bawah kepemimpinan Abdullah ibn Ziyad(Al-Usairy, 2008: 188-189).
Kesuksesan Muawiyah ini karena disokong oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya, yaitu Amr ibn Ash (Gubernur Mesir), Al-Mughirah (Gubernur Kufah), dan Ziyad ibn Abihi (Gubernur Basrah). Ketiga orang ini para politisi ulung yang menjadi andalan Muawiyah(Hitti, 2006: 244).
Selain ketiga orang tersebut, Muawiyah juga sangat dibantu oleh orang-orang Suriah. Mereka masyarakat yang sangat patuh dan setia kepadanya. Mereka berhasil dicetak oleh Muawiyah menjadi kekuatan militer yang berdisiplin tinggi dan terorganisir(Ibid,----: 242)
Beberapa keberhasilan Muawiyah selain perluasan daerah islam.
  1. Pencipataan stabilitas nasional. Pada masa pemerintahannya, tidak ada pemberontakan yang berarti kecuali letupan-letupan kecil saja.
  2. Pendirian departemen pencatatan adiminstrasi negara, termasuk pembuatan stempel pertama kali dalam sejarah pemerintahan islam.
  3. Pendirian pelayanan pos untuk menghubungkan wilayah-wilayah kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi diantara pemimpin-pemimpin wilayah tersebut. Pelayanan ini diantaranya menggunakan kuda dan keledai.
4.      Pembangunan departemen pemungutan pajak. Departemen ini mendorong kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat(Tibrizi,----: 7).
Muawiyah meninggal pada bulan April tahun 679 M/60 H. Dunia telah mencatatkan namanya sebagai pemimpin yang paling berpengaruh pada jamannya. Ia telah membangun fondasi kekuasaan yang sangat kokoh. Kelak para penerusnya melanjutkan cita-citanya dengan bertumpu pada fondasi yang sudah dibangunnya.
2.      Yazid ibn Muawiyah (60-64 H/679-683 M)
Namanya Yazid ibn Muawiyah ibn Abu Sufyan. Ia khalifah kedua dinasti Umayyah yang dibait langsung oleh ayahnya untuk menggantikannya. Pembaiatan ini menjadi yang pertama kali terjadi dalam sistem politik islam dan semakin mempertegas sebuah sistem pemerintahan turun temurun (Monarki) Dinasti Umayyah.
Mayoritas masyarakat membaitnya, namun Ibnu Umar, Ibnu Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Husen ibn Ali tidak mau membaitnya. Namun karena dipaksa untuk membait, tokoh-tokoh tersebut kecuali ibn Zubair dan Husen akhirnya membait Yazid sebagai pemimpin pemerintahan(Al-Usairy, 2008: 92)
Kecuali sedikit penaklukan di daerah Afrika dan moralitasnya yang sangat buruk, tidak ada yang menonjol dari diri seorang Yazid. Malah pada masa pemerintahnya, terjadi dua tragedi yang sangat mencoreng sejarah Islam.
Pertama, tragedi Karbala memerah. Pada waktu itu, seorang panglima Yazid yang sangat bengis, yang bernama Ubaidillah ibn Ziyad dan pasukannya mencegat rombongan Husen beserta pengikutnya di Karbala. Pasukan Ziyad membunuh Husen dan pengikutnya dengan cara yang sangat sadis. Kepala Husen diserahkan kepada pemimpinnya, Yazid ibn Abu Sufyan.
Kedua, peristiwa Hurrah dan penghalalan Madinah. Peristiwa ini terjadi karena Abdullah ibn Zubair tidak mau membait Yazid. Ibnu Zubair malah mengumumkan pencopotan Yazid di madinah dan membait dirinya sendiri sebagai pemimpin pemerintahan. Yazid pun mengirimkan pasukan untuk menumpas kelompok Ibnu Zubair. Ratusan sahabat Ibnu Zubair dan anak-anak meninggal dunia. Yazid menghalalkan pertumpahan darah untuk membasmi pemberontakan(Ibid,----: 193).
Yazid meninggal dunia pada tahun 64 H / 683 M dengan masa kepemimpinan selama dua tahun. Ia telah menjadi contoh buruknya moralitas seorang pemimpin pemerintahan islam.
3.      Muawiyah bin Yazid (64 H/683 M)
Khalifah ketiga Dinasti Umayyah ini tidak banyak diceritakan sejarah. Hal ini dikarenakan pemerintahannya yang sangat pendek. Ia menggantikan ayahnya sebagai raja. Namun ia mengundurkan diri karena sakit. Ia meninggal pada tahun pengangkatannya sebagai raja ketiga Dinasti Umayyah.
4.      Marwan ibn Hakam (64-65 H/683-684 M)
Marwan diangkat menjadi khalifah keempat setelah Muawiyah ibn Yazid mengundurkan diri. Ia memerintah hampir satu tahun. Pada saat pemerintahannya, posisinya goyah karena mayoritas masyarakat lebih mempercayai Abdullah ibn Zubair sebagai pemimpin yang sah. Sehingga hal ini menyebabkan dualisme kepemimpinan, yaitu kepemimpinannya yang berpusat di Suria, Damaskus dan kepemimpinan Abdullah ibn Zubair yang berpusat di daerah Hijaj (makkah dan Madinah).
5.      Abdul Malik ibn Marwan (73-86 H/ 692-702 M)
Setelah Yazid ibn Muawiyah diangkat oleh ayahnya sebagai khalifah, Abdullah ibn Zubair, salah satu tokoh yang menolak membait Yazid, lari ke Makkah dan membaiat dirinya sebagai Raja. Setelah Yazid meninggal dunia maka Ibnu Zubair semakin berkuasa, apalagi raja Muawiyah II yang ditunjuk menggantikan Yazid sakit-sakitan dan mengundurkan diri. Kekuasaa Ibnu Zubair semakin luas. Ia berkuasa dari tahun 64 sampai 73 H.
Di pihak Dinasti Umayyah sendiri, setelah kematian Marwan bin Hakam, putranya yang bernama Abdul Malik dibait menggantikan ayahnya pada tahun 65 H. Namun penggantian ini belum sepenuhnya legal, sebab Ibnu Zubair masih berkuasa. Oleh karena itu, seteleh Ibnu Zubair terbunuh pada tahun 73 H, maka sejak itu Abdul Malik resmi menjadi khalifah kelima Dinasti Umayyah.
Abdul Malik dianggap sebagai pendiri kedua Dinasti Umayyah. Hal ini disebabkan ia mampu membangun kembali kebesaran dinasti Umayyah setelah hampir punah pada jaman raja Muawiyah II sampai menjelang kematian Ibnu Zubair. Ia juga diberi gelar Abdul Muluk, karena empat putranya menjadi penerusnya sebagai raja dinasti Umayyah. Mereka adalah al-Walid II, Sulayman, Yazid II, dan Hisyam.
Beberapa kemajuan pada masa Abdul al-Malik adalah membangun nasionalisasi Arab dengan membuat mata uang sendiri dan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi administrasi pemerintahan. Ia meninggal pada tahun 86 H/705 M dan memerintah secara resmi selama 13 tahun(Ibid, hlm. 199.)
6.      Walid ibn Abdul Malik (86-96 H/705-714 M).
Walid terkenal sebagai seorang arsitektur ulung pertama dalam sejarah Islam. Dia banyak mendirikan bangunan-bangunan yang megah dalam sekala besar, diantaranya membangun Masjid Damaskus, membangun Qubbat al-Shakhrah di Yerusalem dan memperluas Masjid Nabawi(Ibid, hlm. 200)
Selain terkenal dengan membangun infrastruktur yang megah, pada masa pemerintahannya, penaklukan kawasan islam diperluas. Pasukannya berhasil menaklukan Sisilia dan Merovits, Afrika, dan Andalusia di bagian barat. Pada masa ini hidup seorang panglima besar islam asal Barbar, yang bernama Thariq ibn Ziyad. Ia berhasil menduduki Andalusia pada tahun 92 H / 710 M. Di kawasan timur, pasukan Walid berhasil menguasai Asia Tengah dengan panglimanya yang terkenal, yaitu Qutaibah ibn Muslim al-Bahili. Sind dan India pun berhasil ditaklukan di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi. Penaklukan ini menjadikan wilayah islam semakin luas(Ibid, hlm. 200-202).
Walid berkuasa sampai tahun 96 H/ 714 M. Ia salah satu negarawan besar dinasti Umayyah. Ia dikenal dengan jasa-jasanya membangun peradaban islam yang ada sampai sekarang. Penerusnya tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukannya.



7.      Sulayman ibn Abdul Malik (96-99 H/ 714-717 M).
Sulayman diangkat oleh ayahnya, Abdul Malik untuk menjadi pemimpin pemerintahan islam setelah Walid mangkat. Ia saudara laki-laki Walid. Namun, Walid telah bersekongkol untuk menurunkan Sulaeman dari jabatannya dan menggantikannya dengan anaknya, yaitu Yazid II. Namun Sulayman ternyata menunjuk anak pamannya, Umar ibn Abdul Aziz untuk menggantikanya(Ibid, hlm., 203­).
Tidak banyak yang bisa dijadikan sebagai bukti kemajuan pemerintahannya, kecuali keputusannya untuk menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya. Keputusannya itu menjadi karya Sulaeman yang paling hebat. Ia meninggal pada tahun 99 H/ 717 M.
8.      Umar  ibn Abdul Aziz (99-101 H/ 717-719 M)
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan jujur. Karena kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah(Ibid, hlm. 204)
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahuan, namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim para mubalig ke daerah kekuasaan islam, yang otoritas agamanya bukan islam.
Umar mangkat dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.


9. Yazid ibn Abdul Malik atau Yazid II (101-105 H/719-723 M)
Konsepsi pemerintahan yang telah dibangun Umar “dihancurkan” oleh cara kepemimpinan Yazid II. Ia memperkaya diri dan suka menghambur-hambrukan uang untuk memenuhi hasrat duniawinya. Badri Yatim menjelaskan karakter khalifah kesembilan Dinasti Umayyah ini.
Penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada jamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik(Badri, 1995: 47).
Yazid memerintah selama hampir empat tahun. Kepemimpinannya  buruk dan diwarnai oleh adanya konfrontasi dari masyarakat. Tidak ada kemajuan yang layak dicatat dalam sejarah. Ia meninggal dunia pada tahun 105 H/742 M. Selanjutnya kepemimpinan dipegang oleh saudaranya, Hisyam ibn Abdul Malik.
10.  Hisyam ibn Abdul Malik (105-125 H/ 723-742 M)
Siapakah khalifah kesepuluh Dinasti Umayyah ini? Badri Yatim memasukan Hisyam sebagai salah satu dari lima khalifah besar Dinasti Umayyah, selain Muawiyah ibn Abu Sufyan, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, dan Umar ibn Abdul Aziz(Ibid, hlm.43). Hiiti memasukannya sebagai negarawan ketiga dan terakhir Dinasti Umayyah setelah Muawiyah ibn Abu Sufyan dan Abdul Malik. Hal ini karena pada masa pemerintahnnya, terjadi perbaikan-perbaikan administrasi dan menghidupkan tanah-tanah yang mati(Hitti,  2006: 348).
Kami kurang sependapat dengan pemikiran dua penulis tersebut. Kami tidak menemukan alasan atau data yang kuat dari para penulis tersebut dan tidak juga kami menemukan referensi yang mendukung. Malahan dikatakan oleh penulis lain bahwa selama hampir dua puluh tahun memerintah, negara mengalami kemorosotan dan melemah(Al-Usairy, 2008: 209) 
Hal ini disebabkan banyaknya rongrongan dari luar dan perpecahan dari dalam pemerintahan. Rongrongan dari luar diantaranya pemberontakan oleh Zaid ibn Ali ibn Husen sebagai refresentasi dari kelompok Syiah Zaidiyah dan seruan pembentukan pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam karena adanya konflik orang-orang Arab Selatan dan Arab Utara(Ibid,  hlm. 208-209)
11.  Walid bin Yazid ibn Abdul al-Malik atau Walid II (125-126 H/ 742-743 M)     
Penerus Hisyam, Walid bin Yazid tidak mampu mengembalikan pemerintahan menjadi lebih baik. Malahan keadaan pemerintahan menjadi lebih buruk. Alasannya, selain musuh semakin kuat, ia juga meniru gaya hidup ayahnya, Yazid ibn Abdul Malik. Dia banyak menciptakan permusuhan. Oleh karena itu, saudara sepupunya, Yazid ibn al-Walid-yang kelak menjadi pengganti Walid-memerintahkan untuk mencopot Walid dari jabatannya. Setelah hampir tiga tahun memerintah, Walid pun dibunuh oleh pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia mengantikan kedudukan Walid.
12.  Yazid bin Walid atau Yazid III (126 H/743 M)
Pada masa jabatannya, pemerintahan semakin kacau. Pemberontakan di mana-mana. Keluarga khalifah pun sudah terpecah. Akhirnya Yazid III meninggal dunia akibat penyakit tha’un setelah memerintah selama enam bulan(Ibid, hlm. 210)
13.  Ibrahim ibn al-Walid ibn Abd al- Malik (127 H / 744 M)
Dia hanya memerintah selama 70 hari. Oleh karena itu, ada yang tidak memasukannya sebagai salah satu khalifah Dinasti Umayyah. Pada masanya, tanda-tanda kehancuran Dinasti Umayyah semakin jelas. Perpecahan diantara keluarga semakin terbuka. Ia dituntut oleh Marwan ibn Muhammad ibn Marwan untuk mempertanggung jawabkan kematian Walid II yang dibunuh oleh Yazid III, kakak Ibrahim. Ia melarikan diri dari Damaskus. Marwan sampai ke Damaskus dan dibaiat sebagai khalifah terakhir Dinasti Umayyah Jilid I.
14.  Marwan ibn Muhammad ibn Marwan atau Marwan II (127-132 H / 744 – 749 M)
Setelah dibait sebagai raja, ia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan yang sudah kacau balau. Ia mencoba menjalankan roda pemerintahan yang sudah lemah. Namun roda pemerintahan sudah sangat rusak, sehingga pemerintahan bukan menjadi baik, malah menjadi hancur.
Pada masa ini kekuatan kaum pemberontak yang diantaranya diwakili oleh kaum khawarij dan keturunan Abbas ibn Abdul Mutholib semakin kuat. Malah kelompok Abbasiyah ini berani memproklamirkan berdirinya Dinasti Abbasiyah pada tahun 129 H/ 446 M, yang dipimpin oleh Ibrahim. Marwan berhasil menagkap dan membunuhnya. Namun pengganti Ibrahim, Abu al-Abbas as-Shaffah lebih kuat dan didukung oleh kaum  Syiah dan Khurasan.
Pada tahun 131 H / 748 M, terjadilah pertempuran besar antara pasukan as-Shoffah dan Marwan di sungai Zab. Marwan melarikan diri dan terbunuh pada tahun 132 H. Pada tahun ini pula, tepatnya hari Kamis, tanggal 30 Oktober(Hitti, 2006: 355).
As-Shaffah dibait menjadi khalifah  pertama Bani Abbasiyah. Ia berhasil merebut kekuasaan pemerintahan dari tangan Dinasti Umayyah(Al-Usairy, 2008:  211-212).
Dengan terbunuhnya Marwan, maka hancurlah kerajaan dinasti Umayyah jiid I. Namun, ada salah seorang keturunan Dinasti Umayyah jilid I yang berhasil melarikan diri dari kejaran pasukan Abbasiyah dan kelak ia membangun kerajaan besar dinasti Umayyah jilid II di Andalusia.
2.1.3  Kemajuan Dinasti Umayyah
Al-Usairy menyebut empat keutamaan Dinasti Umayyah yang dilupakan sejarah.
1. Muawiyah seorang sahabat mulia. Walau pun melakukan kesalahan ijtihad politik, yaitu tidak mengakui pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan khalifah Ali, namun tetap ia berlaku adil karena semua sahabat adil. Marwan bin Hakam, khalifah keempat Dinasti Umayyah adalah lapisan pertama tabi’in yang banyak meriwayatkan hadis dari sejumlah sahabat besar. Abdul Malik seorang ulama besar Madinah, sementara Umar bin Abdul Aziz dianggap sebagai kholifah kelima khulafaur rasydin. Pernyaan ini ia perkuat dengan sebuah sabda Rasulullah, “Manusia terbaik adalah manusia yang berada di masaku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.”
2. Dinasti Umayyah selalu menghormati kalangan berilmu dan orang-orang yang memiliki sipat-sipat utama.
3. Dinasti Umayyah melakukan terobosan besar di bidang politik kekuasaan Negara dengan menguasai negeri dan daerah hingga sampai ke wilayah Cina di sebelah timur, Andalusia (Spanyol), dan selatan Perancis di sebelah barat.
4. Dinasti Umayyah sukses menghidupkan tanah-tanah mati menjadi produktif yang menjadi andalan hidup msyarakat, membangun infrastruktur yang megah di berbagai daerah kekuasaan.
Pernyataan Al-Usairy patut kita uji kebenaraannya. Hemat kami, poin ketiga dan kempat bisa dipercaya karena bukti-bukti sejarah memang ada. Namun untuk poin pertama dan kedua, tidak ada alasan untuk menyetuji tanpa melakukan kritik. Kalau benar Umayyah pengikut setia Muhammad, Nabi akan kecewa dengan cara berpolitik yang digunakan oleh Umawiyah dan sebagaian khalifah-khalifah Dinasti Umayyah lainnya. Oleh karena itu, keadilan seorang sahabat dengan sendirinya akan hilang karena dosa-dosa besar yang dilakukannya. Karena selain Nabi tidak ada yang dima’shum, kecuali dalam tradisi teologi kaum Syiah.
Dalam sejarah Dinasti Umayyah, mayoritas khalifah-khalifahnya dan para pembantunya tidak menghargai kalangan berilmu kecuali dari kelompoknya dan yang bisa ditundukan. Ulama-ulama yang bukan dari kelompok mereka dan yang tidak bisa ditundukan dikejar dan dibunuh atas perintah raja Dinasti Umayyah(Rakhmat, 2002: 27-28).
Oleh karena itu kami akan merumuskan kemajuan-kemajuan Bani Umayyah, tanpa melihat cara mereka mewujudkan kemajuan-kemajuan tersebut.
a)      Perluasan wilayah sampai batas-batas terjauh. Wilayah Islam membentang dari Lautan Atlantik dan Pyreness sampai ke Indus dan perbatasan Cina; dari pantai Biscay hingga Indus dan daratan Cina, serta dari laut Aral hingga sungai Nil. Pada masa kejayaan tersebut, terjadi penaklukan Spanyol dan penaklukan kembali Afrika Utara. Jadi seratus tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad, islam telah menyentuh wilayah yang sangat luas(Hitti, 2006: 255)
b)      Mengenai kehebatan ekspansi Dinasti Umayyah ini, Karen Armstrong menulis bahwa kaum muslimin telah mampu mendirikan imperium mereka di bawah kepemimpinan Dinasti Umayyah. Imperium ini berkuasa hingga kawasan Asia dan Afrika Utara. Ekspansi itu tidak saja diilhami oleh agama, tetapi juga oleh semangant imperialisme Arab(Karen, 2003: 24).
c)      Nasionalisasi atau arabisasi dalam bidang adminitrasi, yaitu diantaranya dengan mengharuskan menggunakan Bahasa Arab dalam pelayanan administrasi pemerintahan.
d)     Pembentukan enam lembaga atau departemen di pusat pemerintahan.
1)      Diwan al-Kharaj (Departemen Perpajakan) yang berwenang mengelola seluruh keuangan negara, termasuk mengumpulkan pendapatan pajak dan membagikannya untuk masyarakat
2)      Diwan al-Rasa’il (Lembaga Korespondensi) yang bertugas mengkordinir semua hal yang berkaitan dengan surat menyurat.
3)      Diwan al-Khatam (Lembaga Pelayanan Stempel) yang berwenang untuk membuat dan memelihara salinan dari setiap dokumen resmi Negara.
4)      Diwan al-Barid (Lembaga Pelayanan Pos) bertugas untuk menyampaikan berita-berita antara  raja dan para pejabat, termasuk pelayanan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
5)      Diwan al-Qudat (Lembaga Peradilan) yang bertugas memproses dan memutus perkara
6)      Diwan al-Jund (Angkatan Bersenjata) yang bertugas membentuk angkatan bersenjata dan mengkordinirnya.
d)     Pembangunan dan perbaikan infrastruktur, termasuk pembangunan berbagai monumen dan masjid-masjid, diantaranya Kubah Batu di Yerusalem dan Masjid Muawiyah di Damaskus, dan perbaikan Masjid Nabawi di Madinah.
e)      Pembuatan keping mata uang Arab pertama dalam sejarah pemerintahan islam yang diberlakukan dalam transaksi perdagangan.

2.2 Kekhalifahan Abbasiyah
2.2.1 Lahirnya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) -  656 H. (1258 M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya(Badri, 1993: 49).
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah,  Bani Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan, Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa.  Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu, Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang berkuasa(Su’ud, 2003:72).
Bani Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam,  sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab lebih dekat dengan Nabi saw.. Menurut mereka,  orang Bani Umayyah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa, melakukan pemberontakan terhadap Bani Umayyah(Karim, 2007: 143).
Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang beragama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam.
Disebut dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah, menjelang berakhirnya Bani Umayyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
1.            Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
2.            Merendahkan kaum Muslimin yang bukan Bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
3.            Pelanggaran terhadap Ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan(Musyrifah, 2003: 47).
Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Bani Umayyah. Gerakan ini menghimpun;
a)      Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;
b)      Keturunan Abbas  (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman;
c)      Keurunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany.
Mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun 132 H./750 M. tumbanglah Bani Umayyah dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad,  khalifah terakhir Bani Umaiyah. Atas pembunuhan Marwan, mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan diangkatnya khalifah yang pertama, yaitu Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun 132-136 H./750-754 M.
Pada awal kekhalifahan Bani Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai  pusat pemerintahan, dengan Abu al-Saffah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M.) memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad. Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan, sehingga dapatlah dikelompokkan masa Bani Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508 tahun Bani Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yakni  Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Seljuk. Adapun rincian susunan penguasa pemerintahan Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
Bani Abbas (750-932 M.)
1)      Khalifah Abu Abas al-Saffah (750-754 M.)
2)      Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M.)
3)      Khalifah al-Mahdi (775-785 M.)
4)      Khalifah al Hadi (775-776 M.)
5)      Khalifah Harun al-Rasyid (776-809 M.)
6)      Khalifah al-Amin (809-813 M.)
7)      Khalifah al-Makmun (813-633 M.)
8)      Khalifdah al-Mu’tasim (833-842 M.)
9)      Khalifah al-Wasiq ( 842-847 M.)
10)  Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M.)
Bani Buwaihi (932-107 5M.)
1)      Khalifah al-Kahir (932-934 M.)
2)      Khalifah al-Radi (934-940 M.)
3)      Khalifah al-Mustaqi (943-944 M.)
4)      Khalifah al-Muktakfi (944-946 M.)
5)      Khalifal al-Mufi (946-974 M.)
Bani Saljuk
1)      Khalifah al-Muktadi (1075-1048 M.)
2)      Khalifah al-Mustazhir (1074-1118 M.)
3)      Khalifah al-Mustasid (1118-1135 M.)(Su’ud, 2003: 73-74).
Abu Su’ud dalam bukunya mengemuakakan bahwa pemerintahan Bani Abbasiyah dibagi ke dalam lima periode, yakni :
a.      Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani Abasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas al-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, sejak masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M.) hinga Khalifah al-Wasiq (842-847 M.). Zaman keemasan telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah al-Ja’far, dan mencapai puncaknya dimasa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya.
b.      Periode Kedua (232 H./847 M. – 334H./945M.)
Kebijakan Khalifah al-Mukasim (833-842 M.), untuk memilih anasir Turki dalam ketentaraan kekhalifahan Abasiyah dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia, pada masa al-Makmun dan sebelumnya.khalifah al-Mutawakkil (842-861 M.) merupakan awal dari periode ini adalah khalifah yang lemah.
Pemberontakan masih bermunculan dalam periode ini, seperti pemberontakan Zanj didataran rendah Irak selatan dan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah pada periode ini adalah; Pertama, luasnya wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.
c.       Periode Ketiga (334 H./945 M.-447 H./1055 M.)
Posisi Bani Abasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syi’ah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Bagdad. Bagdad dalam periode ini tidak sebagai pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa  Ali bin Buwaihi.
d.      Periode Keempat (447 H./1055M.-590 H./1199 M.)
Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadirannya atas naungan khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang sudah membaik, paling tidak karena kewibawannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syi’ah.
e.       Periode Kelima (590 H./1199 M.-656 H./1258 M.)
Telah terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini. Pada periode ini, Khalifah Bani Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya, pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Bagdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H./1256 M.
2.2.2     Kemajuan-Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah, pada masa kekuasaannya, mamberikan kemajuan bagi kelangsungan Agama Islam, sehingga masa Dinasti Abbasiyah ini dikenal dengan “The Golden Age of Islam. Khilafah di Bagdad yang didirikan oleh al-Saffah dan al-Mansur mencapai masa keemasannya mulai dari al-Mansur sampai Wathiq, dan yang paling jaya adalah periode Harun dan puteranya, Ma’mun. Istana khalifah Harun yang identik dengan megah dan penuh dengan kehadiran para pujangga, ilmuwan, dan tokoh-tokoh penting dunia. Pada masa pemerintahan Harun  tercatat buku legendaries cerita 1001 malam. Kemajuan banyak dicapai pada masa Bani Abasiyah ini, baik segi politik, ekonomi, maupun budaya, sehingga periodenya tercatat sebagai The Golden Age of Islam(Karim, 2007: 167)
Adapun kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Dinasti Abbasiyah ialah sebagai berikut:
1.      Kemajuan dalam Administrasi
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan diisi Bangsa Arab. Berbeda pada pemerintahan Bani Abbasiyah, orang-orang non-Arab mendapat fasilitas dan menduduki jabatan strategis. Khalifah sebagai kepala pemerintahan, penguasa tertinggi sekaligus menguasai jabatan keagamaan, pemimpin sakral. Disebut juga bahwa para khalifah tidak peduli dan mentaati suatu aturan atau cara yang tetap untuk mengangkat putera mahkota, yaitu sejak masa al-Amin. Pada masa ini, jabatan penting diisi oleh seorang wazir yang menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang digariskan oleh Hukum Islam untuk mengangkat dan menurunkan para pegawai. Wazir adalah pelaksana non-militer yang diserahkan sang khalifah kepadanya. Ada dua macam wazir, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi (tafwid) dan wazir yang kekuasaannya terbatas (tanfiz)  . Tafwid disebut juga wazir utama atau sekarang sama dengan perdana menteri yang dapat bertindak tanpa harus direstui khalifah, termasuk mengangkat dan memecat para gubernur dan hakim. Pada saat para khalifah lemah, kekuasaan dan kedudukan wazir meningkat tajam. Sementara wazir uang tidak berkuasa penuh, hanya mentaaati perintah khlifah saja(Karim, 2007: 168)
Kalau pada masa Bani Umayyah terdapat lima kementrian pokok, yang disebut diwan, maka pada masa Dinasti Abbasiyah, kelima diwan tersebut ditambah jumlahnya. Kelima kementrian tersebut ialah (1) Diwan al-Jund (war of office). (2) Diwan al-Kharaj (Department of Finance). (3) Diwan al-Rasal (Board of Correspondence). (4) Diwan al-Khatam (Board og Signet). (5) Diwan al-Barid (Postal Department). Kelima diwan ini pada era Abbasiyah ada penambahan diwan diantaranya. (6) Diwan al-Azimah (the Audit and Account Board). (7) Diwan al-Nazri fi al-mazalim (Appeals and Investigation Boars). (8) Diwan al-Nafaqat (the Board of Expenditure). (9) Diwan al-Sawafi (the Board of Crown Land). (10) Diwan al-Diya (the Board of States). (11) Diwan al-Sirr (the Board of Military Infection). Dan, (13) Diwan al-Tawqi’ (the Board Request). Diwan baru lainnya yang dibentuk pada periode Abbasiyah, antara lain, Diwan al-Syurtha  (Police Department). Kepala polisi disebut Sahib al-Surtha, yang beda dengan zaman Umayyah, mereka membagi tugasnya sesuai dengan kondisi wilyah. Tugas mereka paling utama adalah menjamin dan memelihara keamanan, harta, dan nyawa masyarakat. Sementara itu, polisi biasa ada dibawah kendali muhtasib.
Demi kelancaran admiinistrasi, wilayah kekuasaan Abbasiyah dibagi dalam beberapa wilayah administrasi, yang dapat disebut provinsi, dan masing-masing provinsi yang dikepalai seorang Amir yang melaksanakan tugas khalifah dan bertanggung jawab kepadanya. Khalifah yang mengangkat dan memecat atau memindahkan ke Provinsi lain. Pada umumnya, pendapatan provinsi digunakan untuk provinsi dan sisanya di kirim ke pemerintah pusat.
2.      Kemajuan dalam Sosial
Philip Khore Hitti mengemukakan bahwa para sejarawan Arab yang lebih berkonsentrasi pada persoalan Khalifah Abbasiyah, lebih mengutamakan persoalan politik dibandingkan dengan persoalan lain, yang menyebabkan mereka tidak begitu memberikan gambaran memadai tentang kehidupan sosial-ekonomi. Dengan adanya asimilasi, Arab-Mawali membawa dinasti ini kehilangan jati diri sebagai bangsa Arab menjadi bangsa majemuk. Untuk memperlancar proses pembaruan antara Arab dengan rakyat taklukan, lembaga poligami, selir, dan perdagangan budak terbukti efektif. Saat unsur Arab murni surut, orang Mawali dan anak-anak perempuan yang dimerdekakan, mulai menggantikan posisi mereka. Aristokrasi Arab mulai digantikan oleh hierarki pejabat yang mewakili berbagai bangsa, yang semula didominasi oleh Persia dan kemudian oleh Turki(karim, 2007: 171)
3.    Kemajuan dalam Kegiatan Ilmiah
Periode Abbasiyah merupakan era baru dan identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari segi pendidikan, ilmu pengetahuan termasuk science, kemajuan peradaban, dan kultur pada zaman ini bukan hanya identik sebagai masa keemasan Islam, akan tetapi era ini mengukur dengan gemilang dalam kemajuan peradaban dunia. Semasa Dinasti Umayyah kegiatan dan aktivitas nalar ilmu yang ditanam itu berkembang pesat yang mencapai puncak  pada era Abbasiyah. Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam selalu bermuara  pada masjid. Masjid dijadikan centre of education. Pada Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam ma’had(Lihat, Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Islam.
Pada abad X Masehi disebut abad pembangunan Daulah Islamiyah, dimana dunia Islam, mulai dari Cordon di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan, mengalami pembangunan disegala bidang, terutama dalam bidang berbagai macam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Dunia Islam pada masa itu banar-benar dalam keadaan maju, jaya dan makmur. Di antara pusat-pusat ilmu pengetahuan dan filsafat yang terkenal ialah Damaskus, Alexandria, Qayrawan, Fustat, Kairo, al-Madaain, Jundeshahpur, dan lain-lain. Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana para Khalifah Abbasiyah, misalnya Mansur yang banyak mengangkat pegawai pemerintahan dan istana dari cendekiawan-cendekiawan Persia. Hal terbesar dan banyak berpengaruh pada mulanya ialah keluarga Barmak, seperti jabatan wazir yang diberikan Mansur kepada Khalid ibn Barmak,  kemudian ke anak dan cucu-cucunya. Mereka ini berasal dari Bactra, dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan dan filsafat, yang condong kepada paham Mu’tazilah. Mereka disamping sebagai wazir, juga menjadi pendidik anak-anak khalifah. Diakuinya Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara pada masa Khalifah Ma’mun (827 M). Mu’tazilah adalah aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berfikir kepada manusia. Aliran ini telah berkembang dalam masyarakat terutama pada masa awal Dinasti Abbasiyah, yang banyak memajukan kegiatan intelektual dengan lebih menggunakan rasio baik dalam penerjemahan ilmu-ilmu luar maupun memadukan dengan ajaran Islam. Inilah faktor utama jasa mereka memelihara Yunani dan selanjutnya dikembangkan melalui Kairo, dan selanjutnya ditransfer melalui pusat-pusat kegiatan ilmiah di Eropa Barat Daya seperti Seville, Cordova, al-Hamra(Karim, 2007: 173)
Kepribadian beberapa Khalifah, terutama pada masa awal Abbasiyah seperti Mansur, Harun, dan Ma’mun adalah kutu buku dan sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga berpengaruh dalam kebijaksanaannya yang banyak ditujukan kepada peningkatan ilmu pengetahuan. Selain itu, karena permasalahan yang dihadapi oleh Umat Islam semakin kompleks dan berkembang, oleh karena itu perlu dibuka ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, khususnya ilmu-ilmu naqli seperti Ilmu Agama, Bahasa, dan Adab. Adapun ilmu aqli seperti Kedokteran, Manthiq, Olahraga, Ilmu Angkasa Luar dan ilmu-ilmu yang lain telah dimulai oleh Umat Islam dengan metode yang teratur. Kegiatan ilmiah di kalangan Umat Islam, semasa Abbasiyah yang menandakan Islam memperoleh kemajuan disegala bidang.
Adapun ilmu yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah terdiri dari perkembangan ilmu naqli (sumber dari Alquran dan Hadis) yaitu seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Bahasa, Ilmu Fiqih, serta pembukuan kitab-kitab hukum. Sedangkan perkembangan ilmu aqli diantaranya Ilmu Kedokteran, Ilmu Filsafat, dan lain lain.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini, tidak terlepas dari adanya peranan pemerintah. Pada masa kejayaan Islam banyak khalifah mencintai dan mendukung penuh perkembangan ilmu pengetahuan, aktivitas mereka paling menonjol dan besar melalui penerjemahan yang merupakan kegiatan yang paling besar peranannya dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Mereka menerjemahkan dari buku-buku asing, seperti bahasa Sansekerta, Suryani, atau Yunani ke dalam Bahasa Arab yang telah dimulai sejak zaman Umayyah. Misalnya, Khalid ibn Yazid, seorang penguasa, pecinta ilmu yang memerintahkan kepada para cendekiawan Mesir atau yang tinggal di Mesir agar mereka menerjemahkan buku-buku tentang kedokteran, bintang, dan kimia yang berbahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab. Demikian juga Khalifah Umar II menyuruh menerjemahkan buku-buku kedokteran ke dalam Bahasa Arab(Karim, 2007: 175)
Pada tahun 832 M., Ma’mun mendirikan Bait al-HIkmah di Bagdad sebagai Akademi pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakaan, dan lembaga penterjemahan. Kepala Akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857 M.) murid Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai ketua kedua.[22]
Sekitar akhir abad ke-10 M., kegiatan kaum Muslim bukan hanya menerjemahkan, bahkan mulai memberikan syarahan (penjelasan), dan melakukan tahqiq (pengeditan). Pada mulanya muncul dalam bentuk karya tulis yang ringkas, lalu dalam wujud yang lebih luas dan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan, analisis dan kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab dan pasal-pasal. Atas kepekaan mereka, hasil kritik dan analisis itu memancing lahirnya teori-teori baru sebagai hasil renungan mereka sendiri. Misalnya apa yang yang telah dilakukan oleh Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi dengan memisahkan aljabar dari ilmu hisab yang pada akhirnya menjadi ilmu tersendiri secara sistematis. Pada masa inilah lahir karya-karya ulama yang telah tersusun rapi, sehingga pada masa Bani  Abbasiyah muncullah ulama-ulama besar.
Para ulama memelihara dan mentransfer ilmu mereka melalui hafalan atau lembaran-lembaran yang tidak teratur. Kemudian barulah pada abad ke-7 M., mereka menulis hadis, fikih, tafsir, dan banyak buku dari berbagai Bahasa Arab dan menjadi buku-buku yang disusun secara sistematis. Di antara kebanggaan zaman pemerintahan Abbasiyah adalah terdapat empat  imam mazhab, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka merupakan para ulama fikih yang paling agung dan tiada bandingannya di dunia Islam.
2.2.3      Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Setelah berakhir kekuasaan Dinasti Saljuk atas Bagdad atau Khilafah Abbasiyah, merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuaasaan suatu dinasti tertentu, sehigga banyak sekali dinasti-dinasti  Islam yang berdiri. Pada masa inilah, Dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran(Badri, 1993: 79-80)
Adapun faktor-faktor yang menjadi  penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Internal
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, wilayah kekuasaannnya meliputi barat sampai samudera Atlantik, disebelah timur sampai India dan perbatasan China, dan diutara dari laut Kashpia sampai keselatan teluk Persia. Wilayah kekuasaan Abbasiyah yang hampir sama luasnya dengan wilayah kekuasaan dinasti Mongol, tidak mudah dikendalikan oleh para Khalifah yang lemah. Di samping itu, sistem komunikasi masih sangat lemah dan tidak maju saat itu, menyebabkan tidak cepat dapat informasi akurat apabila suatu daerah ada masalah, konflik, atau terjadi pemberontakan. Oleh karena itu, terjadilah banyak wilayah lepas dan berdiri sendiri. Sebenarnya pasca Khalifah Ma’mun, dinasti ini  mulai mengalami kemunduran. Sementara itu, kejauhan wilayah-wilayah yang terletak di ketiga benua tersebut, dan kemudian  didorong oleh para khalifah yang makin lemah dan malas yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang tidak terkendali bagi khalifah.
Karena tidak adanya suatu sistem dan aturan yang baku menyebabkan sering gonta-ganti putera mahkota dikalangan istana dan terbelahnya suara istana yang tidak menjadi kesatuan bulat terhadap pengangkatan para pengganti khalifah. Seperti perang saudara antara Amin-Ma’mun adalah bukti nyata. Di samping itu, tidak adanya kerukunan antara tentara, istana, dan elit politik lain yang juga memicu kemunduran dan kehancuran dinasti ini.
Dalam buku yang ditulis Abu Su’ud disebutkan faktor-faktor intern yang membuat Daulah Abasiyah menjadi lemah kemudian hancur antara lain : (1) adanya persaingan tidak sehat di antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turki. (2) terjadi perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah. (3) muncul dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. (4) akhirnya terjadi kemerosotan tingkat perekonimian sebagai akibat dari bentrokan politik.
2.      Eksternal
Di samping faktor-faktor internal, ada juga faktor ekstern yang menyebabkan dinasti ini terjun kejurang kehancuran total, yaitu serangan Bangsa Mongol. Latar belakang penghancuran dan penghapusan pusat Islam di Bagdad, salah satu faktor utama adalah gangguan kelompok Asasin yang didirikan oleh Hasan ibn Sabbah (1256 M.) dipegunungan Alamut, Iraq. Sekte, anak cabang Syi’ah Isma’iliyah ini sangat mengganggu di Wilayah Persia dan sekitarnya. Baik di Wilayah Islam maupun di Wilayah Mongol tersebut.
Setelah beberapa kali penyerangan terhadap Assasin, akhirnya Hullagu, cucu Chengis Khan dapat berhasil melumpuhkan pusat kekuatan mereka di Alamut, kemudian menuju ke Bagdad. Setelah membasmi mereka di Alamut, tentara Mongol mengepung kota Bagdad selama dua bulan, setelah perundingan damai gagal, akhirnya Khalifah menyerah, namun tetap dibunuh oleh Hulagu. Pembantaian massal itu menelan korban sebanyak 800. 000 orang.
Abu Su’ud mengemukakan bahwa faktor ekstern yang menyebabkan hancurnya Dinasti Abbasiyah, adalah : (1) berlangsung Perang Salib yang berkepanjangan, dan yang paling menentukan adalah (2) sebuah pasukan Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Bagdad.
2.2.4    Dinasti Kecil di Barat dan Timur
Abu Su’ud[32] dalam bukunya mengemukakan, bahwa lima tahun setelah berdiri kekhalifahan Abbasiyah, Abd al-Rahman Muda, satu-satunya keturunan Dinasti Umayyah yang selamat dari pembantaia massal. Satu tahun kemudian, tahun 756 M., dia mendirikan sebuah dinasti yang kemudian  menjadi dinasti besar. Selanjutnya  pada 785 M., Idris ibn Abdullah, cicit al-Hasan ikut serta dalam salah satu pemberontakan sengit kelompok Ali di Madinah. Perlawanan tersebut bisa diredam dan dia menyelamatkan diri ke Maroko (al-Maghrib). Di sana berhasil mendirikan kerajaan yang mengabadikan namanya selama hampir dua abad (788-974 M.), berikutnya yaitu Idrisiyah, yang menjadikan Fez sebagai ibukota utamanya adalah dinasti Syi’ah pertama dalam sejarah. Ketika Idrisiyah-Syiah meluaskan daerah kekuasaannya di sebagian Barat Afrika Utara, Aglabiyah Sunni juga melakukan hal yang sama ditimur. Di luar wilayah yang dinamakan Ifriqiyah (Afrika kecil, terutama Tunisia)., Harun al-Rasyid pada tahun 800 M. telah mengangkat Ibrahim ibn al-Aglab sebagai gubernur dan berdiri sendiri dalam memerintah.
Dinasti selanjutnya adalah Ziyadat Allah, merupakan penerus Ibrahim. Dinasti itu menjadi salah satu titik penting dalam sejarah konflik berkepanjangan antar Asia dan Eropa. Dengan armadanya yang lengkap, mereka memporak-poranadakan kawasan pesisir Italia, Prancis, Korsika, dan Sardinia.
Tidak lama setelah tuntas pemberontakan pada penguasa Abbasiyah di Mesir dan Suriah, muncul lagi dinasti Turki lain yang masih keturunan Faghanah  yakni Iksidiyah yang didirikan di Fushtat, pendirinya adalah Muhammad ibn Thughj (935-946 M.). Dinasti sebelum Iksidiyah adalah dinasti Thulun yang berumur pendek (869-905 M.), di Mesir dan Suriah adalah Ahmad ibn Thulun.
Ke wilayah utara, Iksidiyah Mesir memiliki pesaing kuat yaitu Dinasti Hamdaniyah yang Syi’ah, dinasti itu didirikan pertama kali di Mesopotamia dengan Mosul sebagai ibu kota, mereka adalah keturunan Hamdan ibn Hamdun dari suku Thalib, di bawah pimpinan Syaf al-Dawlah.
Saat dinasti-dinasti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah kekuasaan khalifah di Barat, proses yang sama juga tengah terjadi di timur, terutama dilakukan oleh orang Turki dan Persia. Dinasti yang pertama mendirikan sebuah Negara semi-independen disebelah timur Bagdad adalah orang yang pernah dipercaya al-Ma’mun untuk menduduki  jabatan jenderal yakni Thahir ibn al-Husayn dari Khurasan. Ia pendiri dinasti Tahiriah berkuasa sampai tahun 872 M, dan digantikan oleh Dinasti Saffariyah, bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia selama 41 tahun (867-908 M.), didirikan oleh Ya’qub ibn al-Laits al-Saffar. Kemudian dinasti ini digantikan oleh Dinasti Samaniyyah yang didirikan oleh Nashr ibn Ahmad (874-892).
Salah seorang budak Turki yang disukai dan dihargai oleh penguasa Samaniyyah,serta dianugerahi pos penting dalam pemerintahan  adalah Alptigin. Pada 962 M., dia merebut Ghaznah terletak di Afghanistan dari tangan penguasa pribumi dan mendirikan sebuah kerajaan independen dan berkembang menjadi imperium Ghaznawi,.Wilayahnya meliputi Afghanistan dan Punjab (962-1186 M.), pendiri Dinasti Ghaznawi yang sesungguhnya adalah Subuktigin. Enam belas raja Ghaznawi  yang kemudian menggantikannya adalah keturunan langsung darinya.





BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Secara umum, Dinasti Umayyah berhasil melahirkan peradaban Islam yang luar biasa. Era Dinasti Umayyah ini menjadi catatan sejarah islam yang berhasil membuktikanan kepada dunia bahwa bahwa kerajaan Islam mampu berdiri tegak dan bersaing dengan dua kerajaan besar non muslim, yaitu Persia dan Bizantium.
Secara moralitas politik dan moralitas keagamaan, Dinasti Umayyah ini mengalami kebobrokan moral. Kecuali Umar ibn Abdul Aziz, tidak satu pun dari khalifah-khalifah Dinasti Umayyah ini yang mencontoh moralitas politik Rasulullah SAW. Kelak kebobrokan moral ini menjadi salah satu pemicu keruntuhan Dinasti Umayyah.
Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya, maka dapatlah ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1. Dinasti Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan  Abbasiyah, karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw.. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
2.`Pada masa pemerintahan  Dinasti Abbasiyah, Umat Islam banyak mengalami kemajuan yang sangat pesat, di antaranya dalam bidang administrasi, agama, sosial, ilmu pengetahuan, dan pemerintah.
3. Kemunduran Dinasti Abbasiyah disebabkan oleh banyak faktor, baik yang sifatnya internal maupun yang sifatnya eksternal.





Daftar Pustaka
·         Al-Husairy, Ahmad. 2008. Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX. _________Diterjemahkan dari at-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
·         Amstrong, Karen. 2003. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. Diterjemahkan dari The History of God oleh   Zainul AM. Bandung: Mizan.
·         Hitti, Philip K. 2008.The History of Arabs. Diterjemahkan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to The Present oleh R. Cecep Lukman Yasin dan dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
·         Karim, Abdul, M. 2007. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam cet.I, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
·         Rahmat, Jalaludin.  2002. Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw. Bandung: Muthahhari Press.
·         Su’ud, Abu. 2003. Islamology. cet. I. Jakarta: PT Rineka Cipta.
·         Yatim, Badri. 1995. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
·         Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
·         Taswiyah. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Diadit Media.

1 komentar: