BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup
mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan.
Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka
aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku
akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya
dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan)(Hitti, 2006: 257).
Pernyataan
di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia
seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban
besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu
bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang
pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H. Di tangannya, seni
berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya(Ibid., hlm. 244).
Baginya,
politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia
wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah. Dinasti ini
dinisbatkan kepada Umayyah ibn Abd al-Syams ibn Abd al-Manaf, nenek moyang
Muawiyah ibn Abu Sufyan. Pendirian dinasti ini mempunyai akar sejarah yang
cukup panjang. Salah satunya dendam yang berurat akar dalam diri Umayyah dan
keturunannya kepada kelompok Bani Hasyim, nenek moyang Nabi Muhammad.
Umayyah ibn
Abd Syams adalah musuh politik Hasyim ibn Abdul Manaf. Keduanya masih keturunan
Quraisy. Kedua kubu sering bertarung memperebutkan kedudukan dan kehormatan( Jalaludin, 2002:16).
Pertarungan
mereka berujung pada pertarungan ideologi agama, khususunya ketika Allah
memilih salah satu keturunan Hasyim, yaitu Muhammad menjadi Nabi. Mayoritas
keturunan Umayyah berada di seberang kekufuran dan menjadi penentang utama
Muhammad, sementara mayoritas keturunan Hasyim berada di seberang keimanan dan
menjadi pendukung utama Muhammad.
Keputusan
Allah untuk memilih salah satu keturunan Hasyim menjadi Nabi ini menjadi
kekalahan telak bagi Bani Umayyah, karena dengan misi agama baru ini, Muhammad
menjadi penguasa jazirah Arab yang paling dihormati sekaligus ditakuti,
sementara keturunan Bani Umayyah, yang diwakili oleh keluarga Abu Sufyan
menjadi kelompok yang hina, bahkan secara terpaksa dan dalam kondisi terdesak,
mereka harus mengikuti agama Muhammad, yaitu masuk islam pada waktu
peristiwa Futuh al-Makkah tahun 10 H.
Kekalahan
telak ini menjadi kenangan pahit yang tidak bisa dilupakan oleh keturunan
Umayyah, sehingga di kemudian hari, salah satu penerusnya, yaitu Muawiyah
melakukan berbagai cara untuk membangun kekuasaan yang lebih besar dibanding
apa yang telah dilakukan Muhammad.
Muawiyah berhasil membangun
pemerintahan melebihi apa yang telah di bangun oleh saudaranya, Muhammad.
Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan Bizantium, dinastinya mampu
memperluas kekuasaan islam yang tidak bisa dilakukan oleh pemimpin islam
sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar ini seperti Muawiyah I, Abd
al-Malik, al-Walid I, dan Umar ibn Abdul Aziz melakukan revolusi pemerintahan
yang melahirkan peradaban islam yang luar biasa.
Namun,
sehebat-hebatnya sebuah kekuasaan politik, pada akhirnya akan mengalami
kemunduran atau kehancuran. Kehebatan Dinasti Umayyah hanya bisa dirasakan
sampai khalifah Umar ibn Abul Aziz. Setelah pemerintahannya, kekuasaan Dinasti
Umayyah semakin surut dan kemudian hancur pada masa raja terakhir, Marwan II,
setelah direbut oleh para pemegang bendera hitam, yaitu koalisi antara bani
Abbasiyah, Syiah, dan kelompok Khurasan. Maka berkakhirlah masa pemerintahan
Dinasti Umayyah jilid I. Kelak salah satu keluarga Dinasti Umayyah yang lolos
dari pengejaran kelompok Bani Abbasiyah akan mendirikan Dinasti Umayyah jilid
II.
Pada
masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Bani
Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan, Bani Abbas telah mulai
melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz
(717-720 M) berkuasa. Khalifah itu
dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah.
Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali bin
Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami
kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara
itu, Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani
hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu
berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh
Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang berkuasa(Su’ud, 2003:72).
Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari
tahun 132 H. (750 M.) - 656 H. (1258
M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya(Badri, 1993:
49).
Bani
Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan
Islam, sebab mereka adalah dari cabang
Bani Hasyim yang secara nasab lebih dekat dengan Nabi saw.. Menurut
mereka, orang Bani Umayyah secara paksa
menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk
mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa,
melakukan pemberontakan terhadap Bani Umayyah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Siapa
Pendirian Dinasti Bani Umayyah?
2. Bagaimana
Pola Pemerintahan Dinasti bani Umayyah?
3. Bagaimana
Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz?
4. Bagaimana
Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah?
5. Apakah
Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah?
6. Bagaimana
proses kelahiran Dinasti Abbasiyah ?
7. Bagaimana
kemajuan-kemajuan Islam yang dicapai pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah ?
8. Apa
yang menjadi penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah ?
BAB II
Pembahasan
2.1 Kekhalifahan Umayyah
2.1.1 Kelahiran Dinasti Umayyah (41 H – 132
H/661-740)
Muawiyah ibn
Abi Sufyan, yang pada waktu terbunuhnya Utsman ibn Affan, masih menjabat
sebagai gubernur Suriah, menolak membait Ali ibn Abi Tholib sebagai khalifah
keempat Khulafaur Rasyidin. Ia malah menuntut Ali untuk bertanggung jawab atas
kematian khalifah ketiga itu(Al-Husairy, 2008: 174).
Bahkan ia
menyatakan memisahkan diri dari pemerintahan Ali dan dibaiat oleh pengikutnya
sebagai khalifah pada tahun 40 H/660 M di Iliya (Yerusalem). Pembaitan
ini menjadi cikal bakal berdirinya dinasti Umayyah dan kelompok Muawiyah ini
menjadi bughot pertama dalam sejarah Islam yang memisahakan
diri dari pemerintahan islam yang sah. Mereka mendirikan negara di dalam
Negara; dengan menjadikan Damaskus menjadi ibu kota pemerintahan islam. Padahal
pusat pemerintahan yang sah adalah kufah di bawah kepemimpinan Ali(Ibid,----: 235).
Setelah
kematian Ali pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M, putra tertua Ali yang
bernama al-Hasan diangkat menjadi pengganti Ali. Namun al-Hasan sosok yang
jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi
pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Oleh karena itu,
ia melakukan kesepakatan damai(Ibid,----: 236) dengan
kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan
Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah
disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih
satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Setelah
kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang
dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku
mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan
kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan
tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”(Hitti, 2000: 245).
Itulah salah
satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus,
hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk
melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan
kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal
berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama,
Muawiyah ibn Abu Sufyan.
2.1.2
Khalifah-Khalifah Dinasti Umayyah
Ada 14
khalifah dinasti Umayyah. Keempat belas khalifah ini berasal dari dua keluarga,
yaitu keluarga Abu Sufyan dan Al-Hakam. Kedua-duanya cucu Umayyah bin Abd
Syams. Keluarga Abu Sufyan diwakili oleh Muawiyah I, Yazid I, dan Muawiyah II.
Keluarga al-Hakam diwakili oleh Marwan I, Abdul Malik, Walid I, Sulaiman, Umar,
Yazid II, Hisyam, Walid II, Yazid III, Ibrahim, dan Marwan II.
1. Muawiyah ibn Abu
Sufyan atau Muawiyah I (41-60 H/661-679 M)
Nama
lengkapnya Abu Abdurrahman Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibunyya Hindun ibnt
Rubai’ah ibn Abd Syam (Syekh Ihsan Muhammad Dahlan, 70) Sebagaimana
disebutkan di bagian pendahuluan bahwa Muawiyah seorang politisi ulung dan
pendiri dinasti Umayyah. Ia pantas disebut raja terbesar bani Umayyah karena
jasa-jasanya dalam membangun fondasi dinasti Umayyah sehingga sanggup bertahan
sampai 91 tahun. Hitti menggambarkan sosok Muawiyah ini.
Dalam diri
Mu’awiyah seni berpolitik berkembang hingga tingkatan yang mungkin lebih tinggitinimbang (dibandingkan
dengan: penulis) khalifah-khalifah lainnya. Menurut para penulis biografinya,
nilai utama yang ia miliki adalah al-hilm, kemampuan luar biasa
untuk mengunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan, sebagai gantinya,
lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang sarat dengan kebijakan,
yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan membuat kagum musuhnya,
sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang sangat tinggi,
membuatnya mampu menguasai keadaan(Hiiti, 2006: 245).
Pada masa
pemerintahnnya, ekpansi wilayah islam diteruskan meliputi dua wilayah utama,
yaitu wilayah barat dan wilayah Timur. Di wilayah Barat, kepulauan Jarba di
Tunisia, kepulauan Rhodesia, kepulauan Kreta, dan kepulauan Ijih dekat
Konstantinopel dapat ditaklukan. Bahkan penaklukan sampai ke daerah Maghrib
Tengah (Aljazair). Uqbah ibn Nafi adalah panglima perang yang paling terkenal
di wilayah ini. Di kawasan Timur, sebagian daerah-daerah di Asia Tengah dan
wilayah Sindh dapat ditaklukan di bawah kepemimpinan Abdullah ibn Ziyad(Al-Usairy,
2008: 188-189).
Kesuksesan
Muawiyah ini karena disokong oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya,
yaitu Amr ibn Ash (Gubernur Mesir), Al-Mughirah (Gubernur Kufah), dan Ziyad ibn
Abihi (Gubernur Basrah). Ketiga orang ini para politisi ulung yang menjadi
andalan Muawiyah(Hitti, 2006: 244).
Selain
ketiga orang tersebut, Muawiyah juga sangat dibantu oleh orang-orang Suriah.
Mereka masyarakat yang sangat patuh dan setia kepadanya. Mereka berhasil
dicetak oleh Muawiyah menjadi kekuatan militer yang berdisiplin tinggi dan
terorganisir(Ibid,----: 242)
Beberapa keberhasilan Muawiyah
selain perluasan daerah islam.
- Pencipataan stabilitas nasional. Pada masa pemerintahannya, tidak ada pemberontakan yang berarti kecuali letupan-letupan kecil saja.
- Pendirian departemen pencatatan adiminstrasi negara, termasuk pembuatan stempel pertama kali dalam sejarah pemerintahan islam.
- Pendirian pelayanan pos untuk menghubungkan wilayah-wilayah kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi diantara pemimpin-pemimpin wilayah tersebut. Pelayanan ini diantaranya menggunakan kuda dan keledai.
4.
Pembangunan departemen pemungutan pajak. Departemen
ini mendorong kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat(Tibrizi,----: 7).
Muawiyah
meninggal pada bulan April tahun 679 M/60 H. Dunia telah mencatatkan namanya
sebagai pemimpin yang paling berpengaruh pada jamannya. Ia telah membangun
fondasi kekuasaan yang sangat kokoh. Kelak para penerusnya melanjutkan
cita-citanya dengan bertumpu pada fondasi yang sudah dibangunnya.
2. Yazid ibn
Muawiyah (60-64 H/679-683 M)
Namanya
Yazid ibn Muawiyah ibn Abu Sufyan. Ia khalifah kedua dinasti Umayyah yang
dibait langsung oleh ayahnya untuk menggantikannya. Pembaiatan ini menjadi yang
pertama kali terjadi dalam sistem politik islam dan semakin mempertegas sebuah
sistem pemerintahan turun temurun (Monarki) Dinasti Umayyah.
Mayoritas
masyarakat membaitnya, namun Ibnu Umar, Ibnu Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu
Zubair, dan Husen ibn Ali tidak mau membaitnya. Namun karena dipaksa untuk
membait, tokoh-tokoh tersebut kecuali ibn Zubair dan Husen akhirnya membait
Yazid sebagai pemimpin pemerintahan(Al-Usairy, 2008: 92)
Kecuali
sedikit penaklukan di daerah Afrika dan moralitasnya yang sangat buruk, tidak
ada yang menonjol dari diri seorang Yazid. Malah pada masa pemerintahnya,
terjadi dua tragedi yang sangat mencoreng sejarah Islam.
Pertama, tragedi
Karbala memerah. Pada waktu itu, seorang panglima Yazid yang sangat bengis,
yang bernama Ubaidillah ibn Ziyad dan pasukannya mencegat rombongan Husen
beserta pengikutnya di Karbala. Pasukan Ziyad membunuh Husen dan pengikutnya
dengan cara yang sangat sadis. Kepala Husen diserahkan kepada pemimpinnya,
Yazid ibn Abu Sufyan.
Kedua, peristiwa
Hurrah dan penghalalan Madinah. Peristiwa ini terjadi karena Abdullah ibn
Zubair tidak mau membait Yazid. Ibnu Zubair malah mengumumkan pencopotan Yazid
di madinah dan membait dirinya sendiri sebagai pemimpin pemerintahan. Yazid pun
mengirimkan pasukan untuk menumpas kelompok Ibnu Zubair. Ratusan sahabat Ibnu
Zubair dan anak-anak meninggal dunia. Yazid menghalalkan pertumpahan darah
untuk membasmi pemberontakan(Ibid,----:
193).
Yazid
meninggal dunia pada tahun 64 H / 683 M dengan masa kepemimpinan selama dua
tahun. Ia telah menjadi contoh buruknya moralitas seorang pemimpin pemerintahan
islam.
3. Muawiyah bin
Yazid (64 H/683 M)
Khalifah
ketiga Dinasti Umayyah ini tidak banyak diceritakan sejarah. Hal ini
dikarenakan pemerintahannya yang sangat pendek. Ia menggantikan ayahnya sebagai
raja. Namun ia mengundurkan diri karena sakit. Ia meninggal pada tahun
pengangkatannya sebagai raja ketiga Dinasti Umayyah.
4. Marwan ibn Hakam
(64-65 H/683-684 M)
Marwan
diangkat menjadi khalifah keempat setelah Muawiyah ibn Yazid mengundurkan diri.
Ia memerintah hampir satu tahun. Pada saat pemerintahannya, posisinya goyah
karena mayoritas masyarakat lebih mempercayai Abdullah ibn Zubair sebagai
pemimpin yang sah. Sehingga hal ini menyebabkan dualisme kepemimpinan, yaitu
kepemimpinannya yang berpusat di Suria, Damaskus dan kepemimpinan Abdullah ibn
Zubair yang berpusat di daerah Hijaj (makkah dan Madinah).
5. Abdul Malik ibn Marwan (73-86 H/
692-702 M)
Setelah
Yazid ibn Muawiyah diangkat oleh ayahnya sebagai khalifah, Abdullah ibn Zubair,
salah satu tokoh yang menolak membait Yazid, lari ke Makkah dan membaiat
dirinya sebagai Raja. Setelah Yazid meninggal dunia maka Ibnu Zubair semakin
berkuasa, apalagi raja Muawiyah II yang ditunjuk menggantikan Yazid
sakit-sakitan dan mengundurkan diri. Kekuasaa Ibnu Zubair semakin luas. Ia
berkuasa dari tahun 64 sampai 73 H.
Di pihak
Dinasti Umayyah sendiri, setelah kematian Marwan bin Hakam, putranya yang
bernama Abdul Malik dibait menggantikan ayahnya pada tahun 65 H. Namun
penggantian ini belum sepenuhnya legal, sebab Ibnu Zubair masih berkuasa. Oleh
karena itu, seteleh Ibnu Zubair terbunuh pada tahun 73 H, maka sejak itu Abdul
Malik resmi menjadi khalifah kelima Dinasti Umayyah.
Abdul Malik
dianggap sebagai pendiri kedua Dinasti Umayyah. Hal ini disebabkan ia mampu
membangun kembali kebesaran dinasti Umayyah setelah hampir punah pada jaman
raja Muawiyah II sampai menjelang kematian Ibnu Zubair. Ia juga diberi
gelar Abdul Muluk, karena empat putranya menjadi penerusnya sebagai
raja dinasti Umayyah. Mereka adalah al-Walid II, Sulayman, Yazid II, dan
Hisyam.
Beberapa
kemajuan pada masa Abdul al-Malik adalah membangun nasionalisasi Arab dengan
membuat mata uang sendiri dan menjadikan bahasa Arab menjadi bahasa resmi
administrasi pemerintahan. Ia meninggal pada tahun 86 H/705 M dan memerintah
secara resmi selama 13 tahun(Ibid,
hlm. 199.)
6. Walid ibn Abdul
Malik (86-96 H/705-714 M).
Walid terkenal sebagai seorang
arsitektur ulung pertama dalam sejarah Islam. Dia banyak mendirikan
bangunan-bangunan yang megah dalam sekala besar, diantaranya membangun Masjid
Damaskus, membangun Qubbat al-Shakhrah di Yerusalem dan memperluas Masjid
Nabawi(Ibid, hlm. 200)
Selain
terkenal dengan membangun infrastruktur yang megah, pada masa pemerintahannya,
penaklukan kawasan islam diperluas. Pasukannya berhasil menaklukan Sisilia dan
Merovits, Afrika, dan Andalusia di bagian barat. Pada masa ini hidup seorang
panglima besar islam asal Barbar, yang bernama Thariq ibn Ziyad. Ia berhasil
menduduki Andalusia pada tahun 92 H / 710 M. Di kawasan timur, pasukan Walid
berhasil menguasai Asia Tengah dengan panglimanya yang terkenal, yaitu Qutaibah
ibn Muslim al-Bahili. Sind dan India pun berhasil ditaklukan di bawah pimpinan
Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi. Penaklukan ini menjadikan wilayah islam semakin
luas(Ibid, hlm. 200-202).
Walid
berkuasa sampai tahun 96 H/ 714 M. Ia salah satu negarawan besar dinasti
Umayyah. Ia dikenal dengan jasa-jasanya membangun peradaban islam yang ada
sampai sekarang. Penerusnya tidak mampu melakukan apa yang telah dilakukannya.
7. Sulayman ibn Abdul Malik (96-99 H/
714-717 M).
Sulayman
diangkat oleh ayahnya, Abdul Malik untuk menjadi pemimpin pemerintahan islam
setelah Walid mangkat. Ia saudara laki-laki Walid. Namun, Walid telah
bersekongkol untuk menurunkan Sulaeman dari jabatannya dan menggantikannya
dengan anaknya, yaitu Yazid II. Namun Sulayman ternyata menunjuk anak pamannya,
Umar ibn Abdul Aziz untuk menggantikanya(Ibid, hlm., 203).
Tidak banyak
yang bisa dijadikan sebagai bukti kemajuan pemerintahannya, kecuali
keputusannya untuk menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya.
Keputusannya itu menjadi karya Sulaeman yang paling hebat. Ia meninggal pada
tahun 99 H/ 717 M.
8. Umar ibn Abdul Aziz
(99-101 H/ 717-719 M)
Umar ibn
Abdul Aziz adalah putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi
gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya.
Sebelum ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang
kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan
menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah
total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan jujur. Karena
kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga
disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah(Ibid, hlm. 204)
Walaupun
masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahuan, namun banyak
perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan
semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh
saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan
tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang
tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh,
sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Pada masa
pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi
islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara
dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim para mubalig ke daerah kekuasaan islam,
yang otoritas agamanya bukan islam.
Umar mangkat
dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter
pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya
nanti justru berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.
9. Yazid ibn Abdul Malik atau Yazid II (101-105 H/719-723 M)
Konsepsi
pemerintahan yang telah dibangun Umar “dihancurkan” oleh cara kepemimpinan
Yazid II. Ia memperkaya diri dan suka menghambur-hambrukan uang untuk memenuhi
hasrat duniawinya. Badri Yatim menjelaskan karakter khalifah kesembilan Dinasti
Umayyah ini.
Penguasa
yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan
kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan
kedamaian, pada jamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan
kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap
pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan
Khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik(Badri, 1995: 47).
Yazid
memerintah selama hampir empat tahun. Kepemimpinannya buruk dan diwarnai
oleh adanya konfrontasi dari masyarakat. Tidak ada kemajuan yang layak dicatat
dalam sejarah. Ia meninggal dunia pada tahun 105 H/742 M. Selanjutnya
kepemimpinan dipegang oleh saudaranya, Hisyam ibn Abdul Malik.
10. Hisyam ibn Abdul Malik (105-125 H/ 723-742 M)
Siapakah
khalifah kesepuluh Dinasti Umayyah ini? Badri Yatim memasukan Hisyam sebagai
salah satu dari lima khalifah besar Dinasti Umayyah, selain Muawiyah ibn Abu
Sufyan, Abdul Malik ibn Marwan, Walid ibn Abdul Malik, dan Umar ibn Abdul Aziz(Ibid, hlm.43). Hiiti
memasukannya sebagai negarawan ketiga dan terakhir Dinasti Umayyah setelah
Muawiyah ibn Abu Sufyan dan Abdul Malik. Hal ini karena pada masa
pemerintahnnya, terjadi perbaikan-perbaikan administrasi dan menghidupkan
tanah-tanah yang mati(Hitti, 2006: 348).
Kami kurang
sependapat dengan pemikiran dua penulis tersebut. Kami tidak menemukan alasan
atau data yang kuat dari para penulis tersebut dan tidak juga kami menemukan
referensi yang mendukung. Malahan dikatakan oleh penulis lain bahwa selama
hampir dua puluh tahun memerintah, negara mengalami kemorosotan dan melemah(Al-Usairy, 2008: 209)
Hal ini
disebabkan banyaknya rongrongan dari luar dan perpecahan dari dalam
pemerintahan. Rongrongan dari luar diantaranya pemberontakan oleh Zaid ibn Ali
ibn Husen sebagai refresentasi dari kelompok Syiah Zaidiyah dan seruan
pembentukan pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam karena adanya konflik
orang-orang Arab Selatan dan Arab Utara(Ibid, hlm. 208-209)
11. Walid bin Yazid ibn Abdul al-Malik atau Walid II (125-126 H/
742-743 M)
Penerus
Hisyam, Walid bin Yazid tidak mampu mengembalikan pemerintahan menjadi lebih
baik. Malahan keadaan pemerintahan menjadi lebih buruk. Alasannya, selain musuh
semakin kuat, ia juga meniru gaya hidup ayahnya, Yazid ibn Abdul Malik. Dia
banyak menciptakan permusuhan. Oleh karena itu, saudara sepupunya, Yazid ibn
al-Walid-yang kelak menjadi pengganti Walid-memerintahkan untuk mencopot Walid
dari jabatannya. Setelah hampir tiga tahun memerintah, Walid pun dibunuh oleh
pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia mengantikan kedudukan Walid.
12. Yazid bin Walid atau Yazid III (126 H/743 M)
Pada masa
jabatannya, pemerintahan semakin kacau. Pemberontakan di mana-mana. Keluarga
khalifah pun sudah terpecah. Akhirnya Yazid III meninggal dunia akibat penyakit
tha’un setelah memerintah selama enam bulan(Ibid, hlm. 210)
13. Ibrahim ibn al-Walid ibn Abd al- Malik (127 H / 744 M)
Dia hanya
memerintah selama 70 hari. Oleh karena itu, ada yang tidak memasukannya sebagai
salah satu khalifah Dinasti Umayyah. Pada masanya, tanda-tanda kehancuran
Dinasti Umayyah semakin jelas. Perpecahan diantara keluarga semakin terbuka. Ia
dituntut oleh Marwan ibn Muhammad ibn Marwan untuk mempertanggung jawabkan
kematian Walid II yang dibunuh oleh Yazid III, kakak Ibrahim. Ia melarikan diri
dari Damaskus. Marwan sampai ke Damaskus dan dibaiat sebagai khalifah terakhir Dinasti
Umayyah Jilid I.
14. Marwan ibn Muhammad ibn Marwan atau Marwan II (127-132 H /
744 – 749 M)
Setelah
dibait sebagai raja, ia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan yang sudah
kacau balau. Ia mencoba menjalankan roda pemerintahan yang sudah lemah. Namun
roda pemerintahan sudah sangat rusak, sehingga pemerintahan bukan menjadi baik,
malah menjadi hancur.
Pada masa
ini kekuatan kaum pemberontak yang diantaranya diwakili oleh kaum khawarij dan
keturunan Abbas ibn Abdul Mutholib semakin kuat. Malah kelompok Abbasiyah ini
berani memproklamirkan berdirinya Dinasti Abbasiyah pada tahun 129 H/ 446 M,
yang dipimpin oleh Ibrahim. Marwan berhasil menagkap dan membunuhnya. Namun
pengganti Ibrahim, Abu al-Abbas as-Shaffah lebih kuat dan didukung oleh kaum Syiah
dan Khurasan.
Pada tahun
131 H / 748 M, terjadilah pertempuran besar antara pasukan as-Shoffah dan
Marwan di sungai Zab. Marwan melarikan diri dan terbunuh pada tahun 132 H. Pada
tahun ini pula, tepatnya hari Kamis, tanggal 30 Oktober(Hitti, 2006: 355).
As-Shaffah
dibait menjadi khalifah pertama Bani Abbasiyah. Ia berhasil merebut
kekuasaan pemerintahan dari tangan Dinasti Umayyah(Al-Usairy, 2008:
211-212).
Dengan
terbunuhnya Marwan, maka hancurlah kerajaan dinasti Umayyah jiid I. Namun, ada
salah seorang keturunan Dinasti Umayyah jilid I yang berhasil melarikan diri
dari kejaran pasukan Abbasiyah dan kelak ia membangun kerajaan besar dinasti
Umayyah jilid II di Andalusia.
2.1.3 Kemajuan Dinasti Umayyah
Al-Usairy
menyebut empat keutamaan Dinasti Umayyah yang dilupakan sejarah.
1. Muawiyah seorang sahabat mulia.
Walau pun melakukan kesalahan ijtihad politik, yaitu tidak mengakui
pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan khalifah Ali, namun tetap ia
berlaku adil karena semua sahabat adil. Marwan bin Hakam, khalifah keempat
Dinasti Umayyah adalah lapisan pertama tabi’in yang banyak meriwayatkan hadis
dari sejumlah sahabat besar. Abdul Malik seorang ulama besar Madinah, sementara
Umar bin Abdul Aziz dianggap sebagai kholifah kelima khulafaur rasydin. Pernyaan
ini ia perkuat dengan sebuah sabda Rasulullah, “Manusia terbaik adalah manusia
yang berada di masaku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah
mereka.”
2. Dinasti Umayyah selalu
menghormati kalangan berilmu dan orang-orang yang memiliki sipat-sipat utama.
3. Dinasti Umayyah melakukan
terobosan besar di bidang politik kekuasaan Negara dengan menguasai negeri dan
daerah hingga sampai ke wilayah Cina di sebelah timur, Andalusia (Spanyol), dan
selatan Perancis di sebelah barat.
4. Dinasti Umayyah sukses
menghidupkan tanah-tanah mati menjadi produktif yang menjadi andalan hidup
msyarakat, membangun infrastruktur yang megah di berbagai daerah kekuasaan.
Pernyataan
Al-Usairy patut kita uji kebenaraannya. Hemat kami, poin ketiga dan kempat bisa
dipercaya karena bukti-bukti sejarah memang ada. Namun untuk poin pertama dan
kedua, tidak ada alasan untuk menyetuji tanpa melakukan kritik. Kalau benar
Umayyah pengikut setia Muhammad, Nabi akan kecewa dengan cara berpolitik yang
digunakan oleh Umawiyah dan sebagaian khalifah-khalifah Dinasti Umayyah
lainnya. Oleh karena itu, keadilan seorang sahabat dengan sendirinya akan
hilang karena dosa-dosa besar yang dilakukannya. Karena selain Nabi tidak ada
yang dima’shum, kecuali dalam tradisi teologi kaum Syiah.
Dalam
sejarah Dinasti Umayyah, mayoritas khalifah-khalifahnya dan para pembantunya
tidak menghargai kalangan berilmu kecuali dari kelompoknya dan yang bisa
ditundukan. Ulama-ulama yang bukan dari kelompok mereka dan yang tidak bisa
ditundukan dikejar dan dibunuh atas perintah raja Dinasti Umayyah(Rakhmat,
2002: 27-28).
Oleh karena
itu kami akan merumuskan kemajuan-kemajuan Bani Umayyah, tanpa melihat cara
mereka mewujudkan kemajuan-kemajuan tersebut.
a)
Perluasan wilayah sampai batas-batas terjauh. Wilayah
Islam membentang dari Lautan Atlantik dan Pyreness sampai ke Indus dan
perbatasan Cina; dari pantai Biscay hingga Indus dan daratan Cina, serta dari
laut Aral hingga sungai Nil. Pada masa kejayaan tersebut, terjadi penaklukan
Spanyol dan penaklukan kembali Afrika Utara. Jadi seratus tahun pasca wafatnya
Nabi Muhammad, islam telah menyentuh wilayah yang sangat luas(Hitti, 2006: 255)
b)
Mengenai kehebatan ekspansi Dinasti Umayyah ini, Karen
Armstrong menulis bahwa kaum muslimin telah mampu mendirikan imperium mereka di
bawah kepemimpinan Dinasti Umayyah. Imperium ini berkuasa hingga kawasan Asia
dan Afrika Utara. Ekspansi itu tidak saja diilhami oleh agama, tetapi juga oleh
semangant imperialisme Arab(Karen, 2003: 24).
c)
Nasionalisasi atau arabisasi dalam bidang adminitrasi,
yaitu diantaranya dengan mengharuskan menggunakan Bahasa Arab dalam pelayanan
administrasi pemerintahan.
d)
Pembentukan enam lembaga atau departemen di pusat
pemerintahan.
1) Diwan
al-Kharaj (Departemen Perpajakan) yang berwenang mengelola seluruh
keuangan negara, termasuk mengumpulkan pendapatan pajak dan membagikannya untuk
masyarakat
2) Diwan
al-Rasa’il (Lembaga Korespondensi) yang bertugas mengkordinir semua
hal yang berkaitan dengan surat menyurat.
3) Diwan
al-Khatam (Lembaga Pelayanan Stempel) yang berwenang untuk membuat dan
memelihara salinan dari setiap dokumen resmi Negara.
4) Diwan
al-Barid (Lembaga Pelayanan Pos) bertugas untuk menyampaikan
berita-berita antara raja dan para pejabat, termasuk pelayanan untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
5) Diwan
al-Qudat (Lembaga Peradilan) yang bertugas memproses dan memutus
perkara
6) Diwan
al-Jund (Angkatan Bersenjata) yang bertugas membentuk angkatan
bersenjata dan mengkordinirnya.
d)
Pembangunan dan perbaikan infrastruktur, termasuk pembangunan berbagai monumen
dan masjid-masjid, diantaranya Kubah Batu di Yerusalem dan Masjid Muawiyah di
Damaskus, dan perbaikan Masjid Nabawi di Madinah.
e)
Pembuatan keping mata uang Arab pertama dalam sejarah pemerintahan islam yang diberlakukan
dalam transaksi perdagangan.
2.2 Kekhalifahan Abbasiyah
2.2.1 Lahirnya Dinasti Abbasiyah
Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari
tahun 132 H. (750 M.) - 656 H. (1258
M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya(Badri, 1993: 49).
Pada
masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Bani
Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan, Bani Abbas telah mulai
melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz
(717-720 M) berkuasa. Khalifah itu
dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah.
Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali bin
Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami
kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara
itu, Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani
hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu
berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh
Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang berkuasa(Su’ud, 2003:72).
Bani
Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan
Islam, sebab mereka adalah dari cabang
Bani Hasyim yang secara nasab lebih dekat dengan Nabi saw.. Menurut mereka, orang Bani Umayyah secara paksa menguasai
khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan
Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa, melakukan
pemberontakan terhadap Bani Umayyah(Karim, 2007: 143).
Pergantian
kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan
darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang beragama Islam, akan tetapi
dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam
sejarah Islam.
Disebut
dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah, menjelang berakhirnya Bani
Umayyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
1.
Penindasan yang terus menerus
terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
2.
Merendahkan kaum Muslimin yang
bukan Bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
3.
Pelanggaran terhadap Ajaran Islam
dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan(Musyrifah, 2003: 47).
Oleh
karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan
gerakan rahasia untuk menumbangkan Bani Umayyah. Gerakan ini menghimpun;
a) Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu
Salamah;
b) Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman;
c) Keurunan bangsa Persia pemimpinnya Abu
Muslim al-Khurasany.
Mereka
memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun 132 H./750 M.
tumbanglah Bani Umayyah dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad, khalifah terakhir Bani Umaiyah. Atas
pembunuhan Marwan, mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan diangkatnya
khalifah yang pertama, yaitu Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas
al-Saffah, pada tahun 132-136 H./750-754 M.
Pada
awal kekhalifahan Bani Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu al-Saffah
(750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu Ja’far
al-Mansur (754-775 M.) memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad. Daulah
Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan, sehingga
dapatlah dikelompokkan masa Bani Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan
dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508
tahun Bani Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yakni Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Seljuk.
Adapun rincian susunan penguasa pemerintahan Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
Bani
Abbas (750-932 M.)
1) Khalifah Abu Abas al-Saffah (750-754 M.)
2) Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775
M.)
3) Khalifah al-Mahdi (775-785 M.)
4) Khalifah al Hadi (775-776 M.)
5) Khalifah Harun al-Rasyid (776-809 M.)
6) Khalifah al-Amin (809-813 M.)
7) Khalifah al-Makmun (813-633 M.)
8) Khalifdah al-Mu’tasim (833-842 M.)
9) Khalifah al-Wasiq ( 842-847 M.)
10) Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M.)
Bani
Buwaihi (932-107 5M.)
1) Khalifah al-Kahir (932-934 M.)
2) Khalifah al-Radi (934-940 M.)
3) Khalifah al-Mustaqi (943-944 M.)
4) Khalifah al-Muktakfi (944-946 M.)
5) Khalifal al-Mufi (946-974 M.)
Bani
Saljuk
1) Khalifah al-Muktadi (1075-1048 M.)
2) Khalifah al-Mustazhir (1074-1118 M.)
3) Khalifah al-Mustasid (1118-1135
M.)(Su’ud, 2003: 73-74).
Abu
Su’ud dalam bukunya mengemuakakan bahwa pemerintahan Bani Abbasiyah dibagi ke
dalam lima periode, yakni :
a. Periode Pertama (750-847 M)
Pada
periode awal pemerintahan Dinasti Abasiyah masih menekankan pada kebijakan
perluasan daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani Abasiyah ini telah
diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas al-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka
puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, sejak masa
Khalifah al-Mahdi (775-785 M.) hinga Khalifah al-Wasiq (842-847 M.). Zaman
keemasan telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah al-Ja’far, dan
mencapai puncaknya dimasa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dimasa-masa itu para
Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada
khususnya dan kebudayaan pada umumnya.
b. Periode Kedua (232 H./847 M. –
334H./945M.)
Kebijakan
Khalifah al-Mukasim (833-842 M.), untuk memilih anasir Turki dalam ketentaraan
kekhalifahan Abasiyah dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan
Arab dan Persia, pada masa al-Makmun dan sebelumnya.khalifah al-Mutawakkil
(842-861 M.) merupakan awal dari periode ini adalah khalifah yang lemah.
Pemberontakan
masih bermunculan dalam periode ini, seperti pemberontakan Zanj didataran
rendah Irak selatan dan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Faktor-faktor
penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah pada periode ini adalah;
Pertama, luasnya wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan, sementara
komunikasi lambat. Kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan
kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban
pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah
tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.
c. Periode Ketiga (334 H./945 M.-447
H./1055 M.)
Posisi
Bani Abasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama
periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya,
lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syi’ah. Akibatnya kedudukan
Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara
itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali
menguasai wilayah bagian selatan Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara,
dan Ahmad menguasai wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Bagdad. Bagdad dalam periode
ini tidak sebagai pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz
dimana berkuasa Ali bin Buwaihi.
d. Periode Keempat (447 H./1055M.-590
H./1199 M.)
Periode
keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah.
Kehadirannya atas naungan khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di
Baghdad. Keadaan khalifah memang sudah membaik, paling tidak karena
kewibawannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai
orang-orang Syi’ah.
e. Periode Kelima (590 H./1199 M.-656
H./1258 M.)
Telah
terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini. Pada periode ini, Khalifah
Bani Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu.
Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan sekitarnya. Sempitnya
wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya, pada masa inilah
tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Bagdad tanpa perlawanan pada tahun 656
H./1256 M.
2.2.2 Kemajuan-Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Dinasti
Abbasiyah, pada masa kekuasaannya, mamberikan kemajuan bagi kelangsungan Agama
Islam, sehingga masa Dinasti Abbasiyah ini dikenal dengan “The Golden Age of
Islam. Khilafah di Bagdad yang didirikan oleh al-Saffah dan al-Mansur mencapai
masa keemasannya mulai dari al-Mansur sampai Wathiq, dan yang paling jaya
adalah periode Harun dan puteranya, Ma’mun. Istana khalifah Harun yang identik
dengan megah dan penuh dengan kehadiran para pujangga, ilmuwan, dan tokoh-tokoh
penting dunia. Pada masa pemerintahan Harun
tercatat buku legendaries cerita 1001 malam. Kemajuan banyak dicapai
pada masa Bani Abasiyah ini, baik segi politik, ekonomi, maupun budaya,
sehingga periodenya tercatat sebagai The Golden Age of Islam(Karim, 2007: 167)
Adapun
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Dinasti Abbasiyah ialah sebagai
berikut:
1. Kemajuan dalam Administrasi
Pada
masa pemerintahan Bani Umayyah, jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan
diisi Bangsa Arab. Berbeda pada pemerintahan Bani Abbasiyah, orang-orang
non-Arab mendapat fasilitas dan menduduki jabatan strategis. Khalifah sebagai
kepala pemerintahan, penguasa tertinggi sekaligus menguasai jabatan keagamaan,
pemimpin sakral. Disebut juga bahwa para khalifah tidak peduli dan mentaati
suatu aturan atau cara yang tetap untuk mengangkat putera mahkota, yaitu sejak
masa al-Amin. Pada masa ini, jabatan penting diisi oleh seorang wazir yang
menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang digariskan oleh Hukum Islam
untuk mengangkat dan menurunkan para pegawai. Wazir adalah pelaksana
non-militer yang diserahkan sang khalifah kepadanya. Ada dua macam wazir, yaitu
wazir yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi (tafwid) dan wazir yang
kekuasaannya terbatas (tanfiz) . Tafwid
disebut juga wazir utama atau sekarang sama dengan perdana menteri yang dapat
bertindak tanpa harus direstui khalifah, termasuk mengangkat dan memecat para
gubernur dan hakim. Pada saat para khalifah lemah, kekuasaan dan kedudukan
wazir meningkat tajam. Sementara wazir uang tidak berkuasa penuh, hanya
mentaaati perintah khlifah saja(Karim, 2007: 168)
Kalau
pada masa Bani Umayyah terdapat lima kementrian pokok, yang disebut diwan, maka
pada masa Dinasti Abbasiyah, kelima diwan tersebut ditambah jumlahnya. Kelima
kementrian tersebut ialah (1) Diwan al-Jund (war of office). (2) Diwan
al-Kharaj (Department of Finance). (3) Diwan al-Rasal (Board of
Correspondence). (4) Diwan al-Khatam (Board og Signet). (5) Diwan al-Barid
(Postal Department). Kelima diwan ini pada era Abbasiyah ada penambahan diwan
diantaranya. (6) Diwan al-Azimah (the Audit and Account Board). (7) Diwan
al-Nazri fi al-mazalim (Appeals and Investigation Boars). (8) Diwan al-Nafaqat
(the Board of Expenditure). (9) Diwan al-Sawafi (the Board of Crown Land). (10)
Diwan al-Diya (the Board of States). (11) Diwan al-Sirr (the Board of Military
Infection). Dan, (13) Diwan al-Tawqi’ (the Board Request). Diwan baru lainnya
yang dibentuk pada periode Abbasiyah, antara lain, Diwan al-Syurtha (Police Department). Kepala polisi disebut
Sahib al-Surtha, yang beda dengan zaman Umayyah, mereka membagi tugasnya sesuai
dengan kondisi wilyah. Tugas mereka paling utama adalah menjamin dan memelihara
keamanan, harta, dan nyawa masyarakat. Sementara itu, polisi biasa ada dibawah
kendali muhtasib.
Demi
kelancaran admiinistrasi, wilayah kekuasaan Abbasiyah dibagi dalam beberapa
wilayah administrasi, yang dapat disebut provinsi, dan masing-masing provinsi
yang dikepalai seorang Amir yang melaksanakan tugas khalifah dan bertanggung
jawab kepadanya. Khalifah yang mengangkat dan memecat atau memindahkan ke
Provinsi lain. Pada umumnya, pendapatan provinsi digunakan untuk provinsi dan
sisanya di kirim ke pemerintah pusat.
2. Kemajuan dalam Sosial
Philip
Khore Hitti mengemukakan bahwa para sejarawan Arab yang lebih berkonsentrasi
pada persoalan Khalifah Abbasiyah, lebih mengutamakan persoalan politik
dibandingkan dengan persoalan lain, yang menyebabkan mereka tidak begitu
memberikan gambaran memadai tentang kehidupan sosial-ekonomi. Dengan adanya
asimilasi, Arab-Mawali membawa dinasti ini kehilangan jati diri sebagai bangsa
Arab menjadi bangsa majemuk. Untuk memperlancar proses pembaruan antara Arab
dengan rakyat taklukan, lembaga poligami, selir, dan perdagangan budak terbukti
efektif. Saat unsur Arab murni surut, orang Mawali dan anak-anak perempuan yang
dimerdekakan, mulai menggantikan posisi mereka. Aristokrasi Arab mulai
digantikan oleh hierarki pejabat yang mewakili berbagai bangsa, yang semula
didominasi oleh Persia dan kemudian oleh Turki(karim, 2007: 171)
3. Kemajuan dalam Kegiatan Ilmiah
Periode
Abbasiyah merupakan era baru dan identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari
segi pendidikan, ilmu pengetahuan termasuk science, kemajuan peradaban, dan
kultur pada zaman ini bukan hanya identik sebagai masa keemasan Islam, akan
tetapi era ini mengukur dengan gemilang dalam kemajuan peradaban dunia. Semasa
Dinasti Umayyah kegiatan dan aktivitas nalar ilmu yang ditanam itu berkembang
pesat yang mencapai puncak pada era
Abbasiyah. Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam selalu
bermuara pada masjid. Masjid dijadikan
centre of education. Pada Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan
keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam ma’had(Lihat, Hassan Ibrahim Hassan,
Tarikh al-Islam.
Pada
abad X Masehi disebut abad pembangunan Daulah Islamiyah, dimana dunia Islam,
mulai dari Cordon di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan, mengalami
pembangunan disegala bidang, terutama dalam bidang berbagai macam ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni. Dunia Islam pada masa itu banar-benar dalam keadaan
maju, jaya dan makmur. Di antara pusat-pusat ilmu pengetahuan dan filsafat yang
terkenal ialah Damaskus, Alexandria, Qayrawan, Fustat, Kairo, al-Madaain,
Jundeshahpur, dan lain-lain. Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi
pegawai pemerintahan dan istana para Khalifah Abbasiyah, misalnya Mansur yang
banyak mengangkat pegawai pemerintahan dan istana dari cendekiawan-cendekiawan
Persia. Hal terbesar dan banyak berpengaruh pada mulanya ialah keluarga Barmak,
seperti jabatan wazir yang diberikan Mansur kepada Khalid ibn Barmak, kemudian ke anak dan cucu-cucunya. Mereka ini
berasal dari Bactra, dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan
dan filsafat, yang condong kepada paham Mu’tazilah. Mereka disamping sebagai
wazir, juga menjadi pendidik anak-anak khalifah. Diakuinya Mu’tazilah sebagai
mazhab resmi Negara pada masa Khalifah Ma’mun (827 M). Mu’tazilah adalah aliran
yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berfikir kepada manusia. Aliran ini
telah berkembang dalam masyarakat terutama pada masa awal Dinasti Abbasiyah,
yang banyak memajukan kegiatan intelektual dengan lebih menggunakan rasio baik
dalam penerjemahan ilmu-ilmu luar maupun memadukan dengan ajaran Islam. Inilah
faktor utama jasa mereka memelihara Yunani dan selanjutnya dikembangkan melalui
Kairo, dan selanjutnya ditransfer melalui pusat-pusat kegiatan ilmiah di Eropa
Barat Daya seperti Seville, Cordova, al-Hamra(Karim, 2007: 173)
Kepribadian
beberapa Khalifah, terutama pada masa awal Abbasiyah seperti Mansur, Harun, dan
Ma’mun adalah kutu buku dan sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga
berpengaruh dalam kebijaksanaannya yang banyak ditujukan kepada peningkatan
ilmu pengetahuan. Selain itu, karena permasalahan yang dihadapi oleh Umat Islam
semakin kompleks dan berkembang, oleh karena itu perlu dibuka ilmu pengetahuan
dalam berbagai bidang, khususnya ilmu-ilmu naqli seperti Ilmu Agama, Bahasa,
dan Adab. Adapun ilmu aqli seperti Kedokteran, Manthiq, Olahraga, Ilmu Angkasa
Luar dan ilmu-ilmu yang lain telah dimulai oleh Umat Islam dengan metode yang
teratur. Kegiatan ilmiah di kalangan Umat Islam, semasa Abbasiyah yang
menandakan Islam memperoleh kemajuan disegala bidang.
Adapun
ilmu yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah terdiri dari perkembangan ilmu
naqli (sumber dari Alquran dan Hadis) yaitu seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis,
Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Bahasa, Ilmu Fiqih, serta pembukuan kitab-kitab
hukum. Sedangkan perkembangan ilmu aqli diantaranya Ilmu Kedokteran, Ilmu
Filsafat, dan lain lain.
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa ini, tidak terlepas dari adanya peranan pemerintah.
Pada masa kejayaan Islam banyak khalifah mencintai dan mendukung penuh
perkembangan ilmu pengetahuan, aktivitas mereka paling menonjol dan besar
melalui penerjemahan yang merupakan kegiatan yang paling besar peranannya dalam
mentransfer ilmu pengetahuan. Mereka menerjemahkan dari buku-buku asing,
seperti bahasa Sansekerta, Suryani, atau Yunani ke dalam Bahasa Arab yang telah
dimulai sejak zaman Umayyah. Misalnya, Khalid ibn Yazid, seorang penguasa,
pecinta ilmu yang memerintahkan kepada para cendekiawan Mesir atau yang tinggal
di Mesir agar mereka menerjemahkan buku-buku tentang kedokteran, bintang, dan
kimia yang berbahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab. Demikian juga Khalifah Umar
II menyuruh menerjemahkan buku-buku kedokteran ke dalam Bahasa Arab(Karim,
2007: 175)
Pada
tahun 832 M., Ma’mun mendirikan Bait al-HIkmah di Bagdad sebagai Akademi
pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakaan, dan lembaga
penterjemahan. Kepala Akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih
(777-857 M.) murid Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid
Yahya sebagai ketua kedua.[22]
Sekitar
akhir abad ke-10 M., kegiatan kaum Muslim bukan hanya menerjemahkan, bahkan
mulai memberikan syarahan (penjelasan), dan melakukan tahqiq (pengeditan). Pada
mulanya muncul dalam bentuk karya tulis yang ringkas, lalu dalam wujud yang
lebih luas dan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan, analisis dan
kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab dan pasal-pasal. Atas kepekaan mereka,
hasil kritik dan analisis itu memancing lahirnya teori-teori baru sebagai hasil
renungan mereka sendiri. Misalnya apa yang yang telah dilakukan oleh Muhammad
ibn Musa al-Khawarizmi dengan memisahkan aljabar dari ilmu hisab yang pada
akhirnya menjadi ilmu tersendiri secara sistematis. Pada masa inilah lahir
karya-karya ulama yang telah tersusun rapi, sehingga pada masa Bani Abbasiyah muncullah ulama-ulama besar.
Para
ulama memelihara dan mentransfer ilmu mereka melalui hafalan atau
lembaran-lembaran yang tidak teratur. Kemudian barulah pada abad ke-7 M.,
mereka menulis hadis, fikih, tafsir, dan banyak buku dari berbagai Bahasa Arab
dan menjadi buku-buku yang disusun secara sistematis. Di antara kebanggaan
zaman pemerintahan Abbasiyah adalah terdapat empat imam mazhab, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i,
dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka merupakan para ulama fikih yang paling agung dan
tiada bandingannya di dunia Islam.
2.2.3 Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Setelah
berakhir kekuasaan Dinasti Saljuk atas Bagdad atau Khilafah Abbasiyah,
merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak
lagi berada di bawah kekuaasaan suatu dinasti tertentu, sehigga banyak sekali
dinasti-dinasti Islam yang berdiri. Pada
masa inilah, Dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran(Badri, 1993: 79-80)
Adapun
faktor-faktor yang menjadi penyebab
kemunduran Dinasti Abbasiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Internal
Pada
masa pemerintahan Bani Abbasiyah, wilayah kekuasaannnya meliputi barat sampai
samudera Atlantik, disebelah timur sampai India dan perbatasan China, dan diutara
dari laut Kashpia sampai keselatan teluk Persia. Wilayah kekuasaan Abbasiyah
yang hampir sama luasnya dengan wilayah kekuasaan dinasti Mongol, tidak mudah
dikendalikan oleh para Khalifah yang lemah. Di samping itu, sistem komunikasi
masih sangat lemah dan tidak maju saat itu, menyebabkan tidak cepat dapat
informasi akurat apabila suatu daerah ada masalah, konflik, atau terjadi
pemberontakan. Oleh karena itu, terjadilah banyak wilayah lepas dan berdiri
sendiri. Sebenarnya pasca Khalifah Ma’mun, dinasti ini mulai mengalami kemunduran. Sementara itu,
kejauhan wilayah-wilayah yang terletak di ketiga benua tersebut, dan
kemudian didorong oleh para khalifah
yang makin lemah dan malas yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang tidak
terkendali bagi khalifah.
Karena
tidak adanya suatu sistem dan aturan yang baku menyebabkan sering gonta-ganti
putera mahkota dikalangan istana dan terbelahnya suara istana yang tidak
menjadi kesatuan bulat terhadap pengangkatan para pengganti khalifah. Seperti
perang saudara antara Amin-Ma’mun adalah bukti nyata. Di samping itu, tidak
adanya kerukunan antara tentara, istana, dan elit politik lain yang juga memicu
kemunduran dan kehancuran dinasti ini.
Dalam
buku yang ditulis Abu Su’ud disebutkan faktor-faktor intern yang membuat Daulah
Abasiyah menjadi lemah kemudian hancur antara lain : (1) adanya persaingan
tidak sehat di antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abasiyah,
terutama Arab, Persia, dan Turki. (2) terjadi perselisihan pendapat di antara
kelompok pemikiran agama yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah.
(3) muncul dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang
berkepanjangan. (4) akhirnya terjadi kemerosotan tingkat perekonimian sebagai
akibat dari bentrokan politik.
2. Eksternal
Di
samping faktor-faktor internal, ada juga faktor ekstern yang menyebabkan
dinasti ini terjun kejurang kehancuran total, yaitu serangan Bangsa Mongol.
Latar belakang penghancuran dan penghapusan pusat Islam di Bagdad, salah satu
faktor utama adalah gangguan kelompok Asasin yang didirikan oleh Hasan ibn
Sabbah (1256 M.) dipegunungan Alamut, Iraq. Sekte, anak cabang Syi’ah
Isma’iliyah ini sangat mengganggu di Wilayah Persia dan sekitarnya. Baik di
Wilayah Islam maupun di Wilayah Mongol tersebut.
Setelah
beberapa kali penyerangan terhadap Assasin, akhirnya Hullagu, cucu Chengis Khan
dapat berhasil melumpuhkan pusat kekuatan mereka di Alamut, kemudian menuju ke
Bagdad. Setelah membasmi mereka di Alamut, tentara Mongol mengepung kota Bagdad
selama dua bulan, setelah perundingan damai gagal, akhirnya Khalifah menyerah,
namun tetap dibunuh oleh Hulagu. Pembantaian massal itu menelan korban sebanyak
800. 000 orang.
Abu
Su’ud mengemukakan bahwa faktor ekstern yang menyebabkan hancurnya Dinasti
Abbasiyah, adalah : (1) berlangsung Perang Salib yang berkepanjangan, dan yang
paling menentukan adalah (2) sebuah pasukan Mongol dan Tartar yang dipimpin
oleh Hulagu Khan, yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun
pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Bagdad.
2.2.4 Dinasti Kecil di Barat dan Timur
Abu
Su’ud[32] dalam bukunya mengemukakan, bahwa lima tahun setelah berdiri
kekhalifahan Abbasiyah, Abd al-Rahman Muda, satu-satunya keturunan Dinasti
Umayyah yang selamat dari pembantaia massal. Satu tahun kemudian, tahun 756 M.,
dia mendirikan sebuah dinasti yang kemudian
menjadi dinasti besar. Selanjutnya
pada 785 M., Idris ibn Abdullah, cicit al-Hasan ikut serta dalam salah
satu pemberontakan sengit kelompok Ali di Madinah. Perlawanan tersebut bisa
diredam dan dia menyelamatkan diri ke Maroko (al-Maghrib). Di sana berhasil
mendirikan kerajaan yang mengabadikan namanya selama hampir dua abad (788-974
M.), berikutnya yaitu Idrisiyah, yang menjadikan Fez sebagai ibukota utamanya
adalah dinasti Syi’ah pertama dalam sejarah. Ketika Idrisiyah-Syiah meluaskan
daerah kekuasaannya di sebagian Barat Afrika Utara, Aglabiyah Sunni juga
melakukan hal yang sama ditimur. Di luar wilayah yang dinamakan Ifriqiyah
(Afrika kecil, terutama Tunisia)., Harun al-Rasyid pada tahun 800 M. telah
mengangkat Ibrahim ibn al-Aglab sebagai gubernur dan berdiri sendiri dalam
memerintah.
Dinasti
selanjutnya adalah Ziyadat Allah, merupakan penerus Ibrahim. Dinasti itu
menjadi salah satu titik penting dalam sejarah konflik berkepanjangan antar
Asia dan Eropa. Dengan armadanya yang lengkap, mereka memporak-poranadakan
kawasan pesisir Italia, Prancis, Korsika, dan Sardinia.
Tidak
lama setelah tuntas pemberontakan pada penguasa Abbasiyah di Mesir dan Suriah,
muncul lagi dinasti Turki lain yang masih keturunan Faghanah yakni Iksidiyah yang didirikan di Fushtat,
pendirinya adalah Muhammad ibn Thughj (935-946 M.). Dinasti sebelum Iksidiyah
adalah dinasti Thulun yang berumur pendek (869-905 M.), di Mesir dan Suriah
adalah Ahmad ibn Thulun.
Ke
wilayah utara, Iksidiyah Mesir memiliki pesaing kuat yaitu Dinasti Hamdaniyah
yang Syi’ah, dinasti itu didirikan pertama kali di Mesopotamia dengan Mosul
sebagai ibu kota, mereka adalah keturunan Hamdan ibn Hamdun dari suku Thalib,
di bawah pimpinan Syaf al-Dawlah.
Saat
dinasti-dinasti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah
kekuasaan khalifah di Barat, proses yang sama juga tengah terjadi di timur,
terutama dilakukan oleh orang Turki dan Persia. Dinasti yang pertama mendirikan
sebuah Negara semi-independen disebelah timur Bagdad adalah orang yang pernah
dipercaya al-Ma’mun untuk menduduki
jabatan jenderal yakni Thahir ibn al-Husayn dari Khurasan. Ia pendiri
dinasti Tahiriah berkuasa sampai tahun 872 M, dan digantikan oleh Dinasti
Saffariyah, bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia selama 41 tahun (867-908
M.), didirikan oleh Ya’qub ibn al-Laits al-Saffar. Kemudian dinasti ini
digantikan oleh Dinasti Samaniyyah yang didirikan oleh Nashr ibn Ahmad
(874-892).
Salah
seorang budak Turki yang disukai dan dihargai oleh penguasa Samaniyyah,serta
dianugerahi pos penting dalam pemerintahan
adalah Alptigin. Pada 962 M., dia merebut Ghaznah terletak di
Afghanistan dari tangan penguasa pribumi dan mendirikan sebuah kerajaan
independen dan berkembang menjadi imperium Ghaznawi,.Wilayahnya meliputi
Afghanistan dan Punjab (962-1186 M.), pendiri Dinasti Ghaznawi yang
sesungguhnya adalah Subuktigin. Enam belas raja Ghaznawi yang kemudian menggantikannya adalah
keturunan langsung darinya.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Secara umum,
Dinasti Umayyah berhasil melahirkan peradaban Islam yang luar biasa. Era
Dinasti Umayyah ini menjadi catatan sejarah islam yang berhasil membuktikanan
kepada dunia bahwa bahwa kerajaan Islam mampu berdiri tegak dan bersaing dengan
dua kerajaan besar non muslim, yaitu Persia dan Bizantium.
Secara
moralitas politik dan moralitas keagamaan, Dinasti Umayyah ini mengalami
kebobrokan moral. Kecuali Umar ibn Abdul Aziz, tidak satu pun dari
khalifah-khalifah Dinasti Umayyah ini yang mencontoh moralitas politik
Rasulullah SAW. Kelak kebobrokan moral ini menjadi salah satu pemicu keruntuhan
Dinasti Umayyah.
Berdasarkan
pada pembahasan sebelumnya, maka dapatlah ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Dinasti Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan Abbasiyah, karena para pendiri dan penguasa
dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw.. Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari
tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya.
2.`Pada
masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Umat
Islam banyak mengalami kemajuan yang sangat pesat, di antaranya dalam bidang
administrasi, agama, sosial, ilmu pengetahuan, dan pemerintah.
3.
Kemunduran Dinasti Abbasiyah disebabkan oleh banyak faktor, baik yang sifatnya
internal maupun yang sifatnya eksternal.
Daftar Pustaka
·
Al-Husairy, Ahmad. 2008. Sejarah Islam Sejak
Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX. _________Diterjemahkan dari at-Tarikh
al-Islam oleh Samson Rahman. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
·
Amstrong, Karen. 2003. Sejarah Tuhan: Kisah
Pencarian Tuhan Yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam
Selama 4000 Tahun. Diterjemahkan dari The History of God oleh Zainul AM. Bandung: Mizan.
·
Hitti, Philip K. 2008.The History of Arabs.
Diterjemahkan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to The
Present oleh R. Cecep Lukman Yasin dan dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta.
·
Karim, Abdul, M. 2007. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam cet.I,
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
·
Rahmat, Jalaludin. 2002. Al-Mustafa;
Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw. Bandung: Muthahhari Press.
·
Su’ud, Abu. 2003. Islamology. cet. I. Jakarta: PT Rineka Cipta.
·
Yatim, Badri. 1995. Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
·
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
·
Taswiyah. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Diadit Media.
terima kasih sangat membantu
BalasHapus