BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan
yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.
Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa
direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui
kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi
pun dapat memakan waktu lama. Revolusi umumnya mensyaratkan hadirnya seorang
pemimpin kharismatik,
berperannya sebuah partai pelopor
(avant garde), adanya sebuah elemen ideologi.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi)
Kebanyakan negara-negara Arab saat
ini punya terlilit masalah yang sama seperti tidak adanya kebebasan, kemiskinan
dan penggangguran. Masalah ini membuat rakyat di Tunisia dan Aljazair melakukan demonstrasi memprotes kebijakan
pemerintahnya begitu juga yang terjadi di Aljazair yang menyebabkan puluhan
rakyat tewas dan cidera. Namun sejatinya yang terjadi adalah krisis politik
yang lebih luas dibandingkan dengan masalah ekonomi dan pengangguran. Dengan
kata lain, permasalahan utamanya adalah kebencian yang demikian memuncak
terhadap pemerintahan diktator Ben Ali dan Abdelaziz Bouteflika dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya.
1.2 Rumusan
Masalah
1) Apa
yang melatar belakangi Revolusi musim semi di Tunisia dan Aljazair ?
2) Hasil apa yang diperoleh dari terjadinya
revolusi Musim Semi di Tunisia dan Aljazair?
3) Apadampak
revolusi Musim Semi di Tunisia dan Aljazair?
1.3 Tujuan
1) Mengetahui
apa yang melatar belakangi Revolusi musim semi di Tunisia dan Aljazair
2) Mampu
menjelaskan hasil apa yang diperoleh dari terjadinya revolusi Musim Semi di
Tunisia dan Aljazair
3) Mengetahui
apa dampak revolusi Musim Semi di Tunisia dan Aljazair
BAB
II
REVOLUSI
MUSIM SEMI
2.1Revolusi Musim Semi
di Tunisia
Revolusi
Tunisia 2010-2011 adalah serangkaian unjuk rasa
yang sedang berlangsung di berbagai kota di Tunisia
yang membuat PresidenZine El Abidine Ben Ali
mundur dari jabatannya pada 14 Januari2011
setelah 23 tahun berkuasa. Pengunjuk rasa memprotes kenaikan harga pangan dan
bahan bakar, pengangguran,
korupsi,
dan kebebasan berbicara. (http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Tunisia)
2.1.1 Latar Belakang
munculnya Revolusi Musim Semi di Tunisia
Telah tercatat dalam sejarah bahwa
revolusi Tunisia ini bermula dari seorang tukang sayur, Muhammad Bouazizi,
berumur 26 tahun yang tertindas di wilayah Sidi Bouzid Sidi, 300 kilometer
sebelah selatan ibu kota Tunisia. Bouazizi yang selama tujuh tahun berjibaku
menjadi tukang sayur tiba-tiba didatangi oleh segerombolan polisi dan mereka
menyita gerobak sayurnya dengan alasan bahwa ia berjualan tanpa izin. Bouazizi
sudah coba membayar 10 dinar Tunisia, namun ia ditampar, diludahi, bahkan
ayahnya yang sudah meninggal dihina. (http://aceh.tribunnews.com/2013/01/17/dua-tahun-revolusi-tunisia)
Ia berusaha melapor ke markas
provinsi, namun keluhannya sama sekali tak dihiraukan. Bouazizi pun mengambil
langkah nekat yakni dengan caramembakar dirinya. Ternyata tidak hanya Bouazizi
yang terbakar, tetapi juga membakar amarah seluruh rakyat Tunisia atas
kediktaktoran rezim yang berkuasa. (http://aceh.tribunnews.com/2013/01/17/dua-tahun-revolusi-tunisia)
Dari sanalah gejolak bermula. Unjuk
rasa pun terjadi sebagai bentuk protes atas kebijakan rezim Presiden Zine El
Abidine Ben Ali, sang diktaktor Tunisia yang telah berkuasa selama 23 tahun.
Peristiwa yang bermula pada Desember 2010 itu termasuk gelombang pergolakan
sosiopolitik yang paling dramatik di Tunisia dalam masa tiga dasawarsa. Peristiwa
itu menyebabkan ramai warga yang menjadi korban atau cedera hingga akhirnya Ben
Ali berhasil digulingkan pada 14 Januari 2011. (http://aceh.tribunnews.com/2013/01/17/dua-tahun-revolusi-tunisia)
2.1.2 Presiden Zine El
Abidine Ben Ali dan Tumbangnya Presiden Zine El Abidine Ben Ali
Tidak ada yang menduga, letupan di Tunisia yang dimulai
sejak bulan Desember tahun lalu akhirnya dapat menumbangkan Zine El Abidine Ben
Ali, sang rezim diktator yang juga anti terhadap segala bentuk kehidupan yang
berbau Islam. Ben Ali yang oleh kebanyakan warga Tunisia biasa dijuluki Ben A
Vie (dari bahasa Prancis yang berarti seumur hidup), sebagai bentuk ejekan
karena ingin berkuasa seumur hidup di negeri berpenduduk sekitar 11 juta jiwa
itu.
Ben
A Vie yang sejak muda mendapat didikan Prancis tersebut menjadi Presiden
Tunisia kedua sejak negara itu merdeka dari Perancis pada 1956 setelah
mundurnya Presiden pertama Habib Bourguiba karena sakit-sakitan akibat penyakit
tua renta pada 7 November 1987. Ben A Vie yang diharapkan mengadakan perubahan
dari rezim diktator pendahulunya ternyata lebih parah, termasuk yang terkait
dengan kehidupan yang berbau Islam yang menjadi agama 99 % rakyat negeri itu.
Jenderal
Zine El Abidine Ben Ali lahir di Hammam-Sousse, 3 September 1936 (74 tahun)
adalah Presiden Republik Tunisia sejak 7 November 1987 dan presiden yang kedua
sejak kemerdekaannya dari Perancis pada 20 Maret 1956.Di Tunisia, media massa
sering menyebutnya Ali Baba.Sebagai militan muda dari Partai Neo-Destour, ia
dikirim ke Perancis untuk menjalani latihan militer. Ia lulus dari Sekolah
Inter-Arms di Saint-Cyr dan Sekolah Artileri di Châlons-en-Champagne. Kemudian
melanjutkan pendidikan militernya di Amerika Serikat.
Ben
Ali ditunjuk mendirikan dan mengatur Departemen Keamanan Militer pada 1964
hingga 1974. Ia dipromosikan sebagai Direktur-Jenderal Keamanan Nasional dalam
Departemen Dalam Negeri pada 1977 setelah menjabat sebagai atase militer di
Maroko.Ben Ali kembali dari 4 tahun sebagai Duta Besar untuk Polandia menjadi
kepala Keamanan Nasional namun kini dengan posisi setingkat Menteri. Ia
mengambil posisi ini saat berkembangnya gerakan Islam di negerinya.
Pada saat itui ia diangkat sebagai
Menteri Dalam Negeri dan bertahan pada posisi ini saat ia menjadi Perdana
Menteri di bawah Presiden Habib Bourguiba pada 1 Oktober 1987. Lalu, Bin Ali
memecat Presiden Bourguiba dan memangku jabatan presiden pada 7 November 1987
dengan dukungan beberapa gelintir elite dan pendukungnya.
Tujuh
orang doktor menandatangani kertas yang menyatakan Presiden Bourguiba tak cakap
menjabat. Ia kemudian mempertahankan sikap politik luar negeri nonblok
pendahulunya dan mendukung ekonomi yang telah berkembang sejak awal 1990-an.Proyek
pekerjaan umum yang besar, termasuk bandara, jalan raya atau perumahan, telah
dijalankan. Bagaimanapun, pengangguran menyisakan masalah ekonomi yang besar
Ben
Ali melanjutkan pendekatan otoriter pendahulunya dan memuja kepribadian
(aktivitasnya mengambil tempat banyak dari berita harian). Meski ia mengumumkan
pluralisme politiknya pada 1992, Rapat Umum Konstitusional Demokratiknya
(dahulu Partai Neo-Destour) melanjutkan dominasi politik nasional. Rezimnya
masih tidak mengizinkan aktivitas oposisi dan kebebasan pers menyisakan
penyamaran. Pada 1999, walaupun dua kandidat alternatif yang tak dikenal
diizinkan untuk pertama kalinya berada dalam pemilihan presiden, Ben Ali
diangkat kembali dengan 99,66% suara. Ia kembali dipilih pada 24 Oktober 2004,
secara resmi meraih 94,48% suara, setelah referendum konstitusi yang
kontroversial pada 2002 yang membuatnya bertahan sebagai presiden setidaknya
hingga 2014.
Televisi
Zionis Israel menyatakan penyesalan mendalam atas tumbangnya kekuasaan
pemerintah Zine El Abidine Ben Ali dan menyebut mantan Presiden Tunisia yang
lari ke Arab Saudi ini sebagai pendukung terbesar politik Israel secara
diam-diam. Pemerintah Tunisia di masa Zine El Abidine Ben Ali pada 2008 lalu
saat Israel menyerang Jalur Gaza, melarang warganya untuk melakukan demonstrasi
anti Israel. Tidak hanya itu, Ben Ali juga melarang upaya mengumpulkan bantuan
rakyat untuk warga Gaza.
Kebanyakan negara-negara Arab saat
ini punya terlilit masalah yang sama seperti tidak adanya kebebasan, kemiskinan
dan penggangguran. Masalah ini membuat rakyat di Tunisia melakukan demonstrasi
memprotes kebijakan pemerintahnya begitu juga yang terjadi di Aljazair yang
menyebabkan puluhan rakyat tewas dan cidera. Namun sejatinya yang terjadi
adalah krisis politik yang lebih luas dibandingkan dengan masalah ekonomi dan
pengangguran. Dengan kata lain, permasalahan utamanya adalah kebencian yang
demikian memuncak terhadap pemerintahan diktator Ben Ali dan hilangnya
kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya. Intinya pengangguran adalah
satu-satunya yang tersisa sebagai sarana untuk menggugat pemerintah dan
menunjukkan ketidakpercayaan terhadapnya. Pelaksanaan Pemilu selama ini hanya
sebatas drama politis untuk melanggengkan kekuasaan tangan besi.
Protes
ini pada akhirnya melengserkan pemerintahan Zine El Abidine Ben Ali dan para
pengamat politik berkeyakinan bahwa tumbangnya pemerintahan Ben Ali merupakan
sebuah pesan penting bagi penguasa sebagian negara-negara Arab yang berkuasa
bertahun-tahun secara turun temurun. (http://makalahhubinternasional.blogspot.com/2011/01/revolusi-tunisai-dan-runtuhnya-rezim.)
2.1.3 Pasca Revolusi Musim Semi Tunisia
Tunisia adalah tempat kelahiran gempa yang mengguncang
wilayah tersebut dan memakan korban sejumlah penguasa diktator. Aksi bakar diri
Muhammad Bouzizi menyebabkan protes massa yang akhirnya mengakibatkan Zine El
Alidine Ben Ali meninggalkan negara. Riak-riak kejadian ini masih terasa di
seluruh dunia dan tidak ada yang pernah mengharapkan revolusi Arab akan menelan
seluruh wilayah itu. Januari 2013 tepat dua tahun sejak Revolusi Arab mulai
terjadi di Tunisia sementara banyak hal yang telah berubah, namun yang sulit
untuk dihindari adalah seberapa banyak yang tidak berubah dan tetap sama.
Setelah puluhan tahun penindasan, pemerintah sementara
menggantikan pemerintahan Ben Ali, dan pemilu berlangsung pada bulan Oktober
2011. Partai Islam di negara itu, Ennahda, memenangkan pemilu legislatif,
dengan mendapatkan 90 dari 217 kursi, dan melanjutkan dengan membentuk
pemerintah koalisi dengan partai-partai sekuler yang memenangkan posisi kedua
dan ketiga tertinggi untuk kursi parlemen. Pada saat itu, sulit untuk dihindari
suara Islam untuk pemilu dan suasana dengan perasaan itulah yang mendasari dan
memberikan partai Islam itu kemenangan yang jelas mengejutkan banyak pihak di
wilayah itu dan sekitarnya. Dengan mandat yang besar, para politisi Islam
mengambil posisi pemerintahan mereka dan Tunisia menunggu nilai-nilai Islam
diterapkan pada masyarakat.
Ennahda mendominasi majelis konstituante yang bertugas
menulis konstitusi negara. Rancangan konstitusi diumumkan kepada publik pada
bulan Agustus 2012, dan setelah mendapatkan ‘tiket Islam’, Ennahda menegaskan
bahwa mereka tidak akan menjadikan syariat sebagai sumber hukum dalam
konstitusi yang baru dan akan mempertahankan sifat sekuler Negara itu. Ennahda
bersikeras bahwa mereka akan terus memperatahankan pasal pertama Konstitusi
1956 pada undang-undang dasar yang baru. Pasal itu mengabadikan pemisahan
antara agama dan negara, dengan menyatakan bahwa: “Tunisia adalah sebuah
Negara yang bebas, merdeka dan berdaulat, beragama Islam, berbahasa Arab dan
adalah sebuah negara republik” .” Kami tidak akan menggunakan undang-undang
untuk memaksakan agama. Pemimpin Ennahda Rachid Ghannouchi mengatakan
kepada para wartawan setelah komite konstituen partai-partai Islam
melakukan voting untuk mempertahankan pasal konstitusional dengan 52
suara melawan 12 suara. Pasal itu, katanya menambahkan” merupakan obyek
dari konsensus di antara semua lapisan masyarakat; dengan melestarikan
identitas Arab-Muslim Tunisia dan juga menjamin prinsip-prinsip negara yang
demokratis dan sekuler
Ennahda didirikan pada tahun 1980 dengan mengikuti model
Ikhwanul Muslimin Mesir, dan selama dua dekade terakhir telah menjadi lebih
nyaman dengan ide-ide sekularisme, hingga ke titik yang sekarang dengan
memiliki lebih banyak persamaan dengan partai-partai sekuler daripada sebagai
sebuah partai Islam. Partai ini telah menjadi mirip dengan AKP di Turki yang
menjadikan Islam dalam namanya saja.
Ummat Islam Tunisia memilih partai Islam itu karena
sentimen keislaman mereka. Ennahda telah benar-benar menjelaskan posisinya
sekarang ini ketika mereka berkuasa, bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk
menerapkan Islam. Tunisia telah menjadi satu-satunya negara yang menyaksikan
terusirnya seorang pemimpin dan secara terbuka menyatakan bahwa negara itu akan
mempertahankan sistem yang ada, meskipun dengan beberapa perubahan palsu, namun
hampir tidak memberikan peran apapun kepada Islam. Pemimpin Ennahda, Rachid
Ghannouchi, menjelaskan sehubungan dengan pendirian Khilafah setelah
memenangkan pemilu: “Jelas, kami adalah sebuah negara bangsa. Kami
menginginkan pemerintah untuk reformasi Tunisia, bagi Negara Tunisia. Adapun
isu Khilafah, hal ini merupakan masalah yang bukan merupakan suatu realitas.
Persoalan realitas saat ini adalah bahwa kami adalah sebuah Negara Tunisia yang
menginginkan reformasi, sehingga menjadi sebuah Negara bagi Rakyat Tunisia,
bukan untuk melawan mereka”
Ennadah menyukai mitranya di Mesir setelah muncul
sebagai pemenang yang telah melakukan segalanya dengan kemampuan mereka untuk
mempertahankan sistem yang ada. Dengan menyebut dirinya sebagai sebuah partai
Islam telah menjadikannya sangat jelas bahwa pemerintahan Islam tidak bisa
bekerja di dunia pada saat ini, Rachid Ghannouchi, pemimpin kelompok itu
mengatakan partai Islam tidak akan “memperkenalkan definisi yang ambigu dalam
konstitusi yang memberikan risiko terpecahnya rakyat”, dengan menambahkan bahwa
“banyak rakyat Tunisia tidak memiliki gambaran yang jelas tentang syariah dan
praktek-praktek yang salah di negara tertentu telah menimbulkan ketakutan.”
Sementara banyak orang di Tunisia yang mengorbankan hidup mereka untuk
perubahan di negara itu, namun setelah berkuasa Ennadah menolak untuk
menerapkan Islam dan mereka harus memperhatikan bahwa umat mengusir Ben Ali ke
luar negeri karena pengkhianatan yang dilakukannya, umat telah menunjukkan
mereka tidak lagi takut terhadap rezim dan jika Ennadah tidak memenuhi
janjinya, mereka juga dapat menjadi bagian dari sejarah sebagaimana Ben Ali
saat ini. (http://www.rimanews.com/read/20130312/94919/revolusi-musim-semi-antara-imaji-dan-ilusi
)
2.1.4
Respon Liga Arab
Konferensi tingkat tinggi bidang Perekonomian, Sosial dan
Pembangunan negara-negara Arab yang berlangsung di Sharm El-Sheikh, Mesir sama
sekali tidak menyinggung kekacauan di Tunisia yang mulai memicu krisis ekonomi
di negeri itu.
Konferensi yang berakhir hari Rabu
(19/1) hanya menekankan pada masalah pembangunan dan upaya pengentasan
pengangguran di negara-negara Arab. "Ini merupakan konferensi ekonomi
bukan konferensi politik," kata Menteri Luar Negeri Mesir Ahmed Abul-Gheit
saat memberikan keterangan pers di acara penutupan kemarin, menjawab pertanyaan
mengapa konferensi itu sama sekali tidak membahas krisis di Tunisia.
"Mesir sudah menyatakan
keprihatinannya atas apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir menghormati aspirasi
rakyat Tunisia. Saya pikir, tidak membahas krisis di Tunisia (dalam konferensi
itu) bukan hal yang memalukan karena pada bulan Maret nanti akan ada pertemuan
tingkat tinggi untuk masalah politik di Irak, dan masalah Tunisia akan dibahas
dalam pertemuan itu, jika masih relevan," tukas Menlu Mesir.
Para pemimpin Arab yang hadir dalam
pertemuan di Sharm El-Syaikh hampir tidak ada yang menyinggung krisis dalam
negeri Tunisia dalam pidatonya. Hanya Sekretaris Jenderal Liga Arab Amr Moussa
yang selintas menyinggung persoalan di negeri itu. Ia mengatakan bahwa apa yang
terjadi di Tunisia adalah sebuah "revolusi."
"Masyarakat negara-negara Arab
sudah sering diguncang oleh krisis-krisis sosial. Revolusi yang sedang terjadi
di Tunisia berkaitan dengan isu-isu ekonomi dan pembangunan sosial dalam
pertemuan tingkat tinggi tahun ini. Revolusi itu tidak jauh jaraknya dari
kita," kata Moussa.
Sekjen Liga Arab itu juga
mengingatkan bahwa masyarakat Arab telah memasuki tahap kemarahan dan frustasi
yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Untuk itu Moussa menyerukan
"pembaruan" di negara-negara Arab untuk mengatasi rasa frustasi di
kalangan rakyat.
Konferensi
tingkat tinggi bidang ekonomi, sosial dan pembangunan negara-negara Arab
menetapkan sejumlah resolusi terkait peningkatan kerjasama di ketiga bidang
tersebut. Antara lain pembentukan area perdagangan bebas, penyatuan bea cukai,
pemberlakukan kebijakan di bidang investasi dan kerjasama dalam bidang
teknologi internet, angkatan laut dan bidang kelistrikan.
Konferensi itu juga memberikan
perhatian khusus pada masalah keamanan pangan dan sumber air, terutama masalah
perubahan iklim yang membuat sumber-sumber air makin langka. Negara-negara Arab
sepakat untuk menggalang kerjasama menetapkan strategi pengamanan sumber-sumber
air di wilayah Arab.
2.2 Revolusi Musim Semi di Aljazair
2.2.1
Latar Belakang Revolusi Musim Semi di Aljazair
Pada bulan Januari 2011, di Aljazair
sudah terjadi demonstrasi dan terus berlangsung di bulan Februari. Ribuan
polisi dikerahkan memblokade jalan agar para demonstran agar tidak memasuki ibu
kota negara. Warga memprotes meningkatnya harga komoditi dan juga tingginya
angka pengangguran. Demo warga makin meningkat setelah pemerintah menetapkan
kenaikan harga susu, gula, dan tepung. Selain itu, sudah lama rakyat Aljazair
mengeluhkan ketidakadilan distribusi kekayaan negara. Ribuan pemuda Aljazair
turun ke jalan-jalan dan bentrok dengan aparat polisi. Bahkan sebuah pos polisi
dibakar massa.(http://ahmadhaes.wordpress.com/2011/02/14/revolusi-mesir-merembet-ke-aljazair/
)
Demo menuntut Presiden Abdelaziz
Bouteflika mundur sudah berlangsung beberapa kali di bulan Februari ini.
Demo-demo ini terinspirasi demos serupa di Tunisia dan Mesir yang telah
berhasil menumbangkan rezim berkuasa di dua negara tersebut.
Sebenarnya aksi demo massal telah
dilarang di Aljazair berdasarkan UU keadaan darurat yang diberlalukan sejak
tahun 1992. Sejak itu, aksi protes hanya diizinkan dengan basis kasus per kasus
di luar ibukota Aljazair, Algiers. (http://hizbut-tahrir.or.id/2011/02/14/revolusi-mesir-menular-ke-yaman-aljazair-dan-iran/)
Pada Sabtu, 12 Februari lalu, aksi
demo yang dilakukan sekitar 2 ribu orang, berhasil dibubarkan oleh pasukan
keamanan Aljazair. Saat itu, hampir 30 ribu polisi membubarkan para demonstran
yang berjalan dari Lapangan 1 May menuju Lapangan Martyrs. Dalam peristiwa itu,
polisi menangkap 14 demonstran. namun menurut kelompok oposisi, 300 orang
ditangkap saat itu.
Pada Minggu, 13 Februari, aksi demo
juga terjadi di kota lain Aljazair, Annaba. Dalam aksi itu, empat polisi
mengalami luka-luka ringan saat terjadi bentrokan dengan para demonstran muda
di luar gedung pemerintah setempat. Juru bicara CNDC Khalil Moumene mengecam
apa yang disebutnya kebrutalan pasukan keamanan dan penangkapan para aktivis
oposisi.
Para pemimpin oposisi menyerukan
untuk kembali menggelar aksi demo di Algiers, ibukota Aljazair. Mereka tak
peduli meski di negeri itu telah lama diberlakukan larangan demonstrasi. Para
demonstran kembali turun ke jalan pada Jumat, 18 Februari p2011
Demikian disampaikan koalisi
partai-partai oposisi, National Co-ordination for Change and Democracy (CNCD)
usai menggelar rapat kepemimpinan seperti diberitakan AFP, Senin
(14/2/2011). CNDC bersikeras menuntut pengunduran diri Presiden Abdelaziz
Bouteflika dikarenakan tingginya pengangguran serta melambungnya harga rumah
dan harga-harga lainnya di negeri itu.
Aksi besar-besaran terjadi Jumat 18 Februari, meniru apa yang telah
dilakukan rakyat Tunisia dan Mesir yang telah menumbangkan tirani kekuasaan
Presiden Abdelaziz Bouteflika yang juga juga telah berlangsung cukup lama lebih
11 tahun sejak 1999 itu.Mungkin kita akan menyaksikan lagi Breaking News
detik-detik kejatuhan seoarang Presiden langsung dari Ibukata Aljazair, Algier,
atau dari beberapa negara Arab lainnya seprti Yaman, Sudan, Yordania, Iran dan
lain-lain yang juga sudah melakukan demo-demo serupa, seperti di Kairo beberapa
waktu yang lalu.
Apapun yang terjadi, kita berharap
agar demo-demo itu tetap proporsional dan terkendali, agar korban yang jatuh
tidak terlalu banyak dan tidak terlalu berdampak terhadap kestabilan politik
dan keamanan secara keseluruhan di negara-negara Arab, karena dapat mengganggu
kestabilan dan keamanan secara global. (http://www.voa-islam.com/lintasberita/eramuslim/2011/02/04/13135/cegah-terjadinya-revolusi-rakyat-aljazair-janji-adanya-perubahan/)
2.2.3 Dampak Revolusi musim semi
di Aljazair
Kerusuhan yang meluas di Aljazair dapat mempengaruhi
ekonomi dunia. Meski angka pengangguran tinggi dan kemiskinan merupakan keadaan
umum negara salah satu pengekspor minyak terbesar itu, para pengamat mengatakan
bahwa revolusi gaya Mesir tidak akan terjadi di sana, karena pemerintah bisa
memanfaatkan kekayaan minyak mereka untuk menghibur rakyat.
Negara-negara Arab yang lain juga telah merasakan
riak-riak revolusi Mesir dan Tunisia. Raja Yordania, Abdullah, mencopot PM-nya
setelah muncul demo-demo. Di Yaman, Presiden Abdullah Saleh berjanji di hadapan
para oposisinya untuk tidak mencalonkan diri lagi dalam pemilu yang akan
datang.
Para penggerak protes di Aljazair – yang mengatakan
bahwa gerakan mereka sebagian diilhami peristiwa di Mesir dan Tunisia –
mengatakan bahwa polisi Aljazair mungkin dapat mengusir massa sebelum mereka
beraksi di ibukota, atau demo-demo yang sama muncul di kota-kota lain.
“Rakyat Aljazair harus diijinkan untuk mengekpresikan
diri secara bebas, dan melakukan demo damai di Algiers serta di tempat-tempat
lain.” Demikian sebuah pernyataan yang dikeluarkan Amnesty International (yang
berpusat di Inggris). “Kami mendesak para penguasa Aljazair untuk tidak
menyambut tuntuta rakyat dengan kekuatan yang berlebihan.” Banyak orang
Aljazair khawatir terjadi kembali konflik brutal beberapa tahun lalu, yang
memakan 200.000 korban.
Para pemrotes kali ini memang tidak menyerukan untuk
menjatuhkan Presiden Abdelaziz Bouteflika. Namun, napas antipemerintah sudah
terasa memenuhi udara. Sebuah gambar karikatur di koranLa Liberte
menyindir bahwa Aljazair kalah 1-0 dari Mesir, dan harus menyamakan skor itu.
Dengan terjadinya pemogokan dan kerusuhan di beberapa
tempat, termasuk lima hari kerushan pada bulan Januari, suasana Ajazair memang
sedang tegang. Sudah terjadi aksi dan usaha bunuh diri, termasuk usaha bakar
diri oleh seorang pemuda yang mengawali protes-protes di Tunisia di pertengahan
Desember.
Pemerintah Aljazair mengatakan pelarangan demo dilakukan
demi kepentingan umum, bukan sebagai usaha menentang protes. Mereka mengatakan
bahwa pemerintah telah berusaha keras untuk menyediakan lapangan kerja baru dan
memperbaiki pelayanan-pelayanan publik.
Dalam rangka mengatasi ketegangan, penguasa telah
menurunkan harga gula dan minyak goreng, membeli banyak tepung untuk menjamin
pasokan roti, dan berjanji akan menghapus undang-undang keadaan darurat yang
telah berlaku selama 19 tahun, dalam ‘waktu yang sangat dekat’.
Protes tersebut tidak didukung oleh
organisasi-organisasi perdagangan Aljazair, partai-partai oposisi terbesar atau
kelompok-kelompok radikal Islam yang dilarang pada tahun 1990an. Namun masih
tetap mempengaruhi akar rumput.Gerkan protes itu tampaknya akan berlangsung
keras, tapi tak akan mengoyahkan kestabilan rejim berkuasa,” kata Eurasia
Group, sebuah lembaga konsultan politik. (https://www.google.com/#psj=1&q=dampak+revolusi+aljazair)
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Revolusi
Tunisia 2010-2011 adalah serangkaian unjuk rasa
yang sedang berlangsung di berbagai kota di Tunisia
yang membuat PresidenZine El Abidine Ben Ali
mundur dari jabatannya pada 14 Januari2011
setelah 23 tahun berkuasa. Pengunjuk rasa memprotes kenaikan harga pangan dan
bahan bakar, pengangguran,
korupsi,
dan kebebasan berbicara.
Revolusi Tunisia ini bermula dari
seorang tukang sayur, Muhammad Bouazizi, berumur 26 tahun yang tertindas di
wilayah Sidi Bouzid Sidi, 300 kilometer sebelah selatan ibu kota Tunisia.
Bouazizi yang selama tujuh tahun berjibaku menjadi tukang sayur tiba-tiba
didatangi oleh segerombolan polisi dan mereka menyita gerobak sayurnya dengan
alasan bahwa ia berjualan tanpa izin. Bouazizi sudah coba membayar 10 dinar
Tunisia, namun ia ditampar, diludahi, bahkan ayahnya yang sudah meninggal
dihina. Ternyata tidak hanya Bouazizi yang terbakar, tetapi juga membakar
amarah seluruh rakyat Tunisia atas kediktaktoran rezim yang berkuasa.
Tidak
ada yang menduga, letupan di Tunisia yang dimulai sejak bulan Desember tahun
lalu akhirnya dapat menumbangkan Zine El Abidine Ben Ali, sang rezim diktator
yang juga anti terhadap segala bentuk kehidupan yang berbau Islam. Ben Ali yang
oleh kebanyakan warga Tunisia biasa dijuluki Ben A Vie (dari bahasa Prancis
yang berarti seumur hidup), sebagai bentuk ejekan karena ingin berkuasa seumur
hidup di negeri itu.
Pada bulan Januari 2011, di Aljazairpun
terjadi terjadi demonstrasi dan terus berlangsung di bulan Februari. Ribuan
polisi dikerahkan memblokade jalan agar para demonstran agar tidak memasuki ibu
kota negara. Adapun penyebab demo yaitu warga memprotes meningkatnya harga
komoditi dan juga tingginya angka pengangguran. Demo warga makin meningkat
setelah pemerintah menetapkan kenaikan harga susu, gula, dan tepung. Selain
itu, sudah lama rakyat Aljazair mengeluhkan ketidakadilan distribusi kekayaan
negara. Ribuan pemuda Aljazair turun ke jalan-jalan dan bentrok dengan aparat
polisi. Bahkan sebuah pos polisi dibakar massa.
Dampak dari Kerusuhan yang meluas di Aljazair dapat
mempengaruhi ekonomi dunia. Meski angka pengangguran tinggi dan kemiskinan
merupakan keadaan umum negara salah satu pengekspor minyak terbesar itu, para pengamat
mengatakan bahwa revolusi gaya Mesir tidak akan terjadi di sana, karena
pemerintah bisa memanfaatkan kekayaan minyak mereka untuk menghibur rakyat.
Dalam rangka mengatasi ketegangan, penguasa telah menurunkan harga gula dan
minyak goreng, membeli banyak tepung untuk menjamin pasokan roti, dan berjanji
akan menghapus undang-undang keadaan darurat yang telah berlaku selama 19
tahun, dalam ‘waktu yang sangat dekat’.
DAFTAR
PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi
diakses tanggal 7 Oktober 2013
http://ahmadhaes.wordpress.com/2011/02/14/revolusi-mesir-merembet-ke-aljazair/ diakses tanggal 7 Oktober 2013
http://hizbut-tahrir.or.id/2011/02/14/revolusi-mesir-menular-ke-yaman-aljazair-dan-iran/
diakses tanggal 7 Oktober 2013
http://makalahhubinternasional.blogspot.com/2011/01/revolusi-tunisai-dan-runtuhnya-rezim.html
diakses tanggal 6 Oktober 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Tunisia
diakses tanggal 6 Oktober 2013
http://aceh.tribunnews.com/2013/01/17/dua-tahun-revolusi-tunisiatanggal 6 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar