Minggu, 18 Mei 2014

Revolusi Tunisia dan Aljazair



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Revolusi umumnya mensyaratkan hadirnya seorang pemimpin kharismatik, berperannya sebuah partai pelopor (avant garde), adanya sebuah elemen ideologi. (http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi)
Kebanyakan negara-negara Arab saat ini punya terlilit masalah yang sama seperti tidak adanya kebebasan, kemiskinan dan penggangguran. Masalah ini membuat rakyat di Tunisia dan Aljazair  melakukan demonstrasi memprotes kebijakan pemerintahnya begitu juga yang terjadi di Aljazair yang menyebabkan puluhan rakyat tewas dan cidera. Namun sejatinya yang terjadi adalah krisis politik yang lebih luas dibandingkan dengan masalah ekonomi dan pengangguran. Dengan kata lain, permasalahan utamanya adalah kebencian yang demikian memuncak terhadap pemerintahan diktator Ben Ali dan Abdelaziz Bouteflika dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya.

1.2  Rumusan Masalah
1)      Apa yang melatar belakangi Revolusi musim semi di Tunisia dan Aljazair ?
2)       Hasil apa yang diperoleh dari terjadinya revolusi Musim Semi di Tunisia dan Aljazair?
3)      Apadampak revolusi Musim Semi di Tunisia dan Aljazair?

1.3  Tujuan
1)      Mengetahui apa yang melatar belakangi Revolusi musim semi di Tunisia dan Aljazair
2)      Mampu menjelaskan hasil apa yang diperoleh dari terjadinya revolusi Musim Semi di Tunisia dan Aljazair
3)      Mengetahui apa dampak revolusi Musim Semi di Tunisia dan Aljazair
BAB II
REVOLUSI MUSIM SEMI

2.1Revolusi Musim Semi di Tunisia
Revolusi Tunisia 2010-2011 adalah serangkaian unjuk rasa yang sedang berlangsung di berbagai kota di Tunisia yang membuat PresidenZine El Abidine Ben Ali mundur dari jabatannya pada 14 Januari2011 setelah 23 tahun berkuasa. Pengunjuk rasa memprotes kenaikan harga pangan dan bahan bakar, pengangguran, korupsi, dan kebebasan berbicara. (http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Tunisia)
2.1.1 Latar Belakang munculnya Revolusi Musim Semi di Tunisia
Telah tercatat dalam sejarah bahwa revolusi Tunisia ini bermula dari seorang tukang sayur, Muhammad Bouazizi, berumur 26 tahun yang tertindas di wilayah Sidi Bouzid Sidi, 300 kilometer sebelah selatan ibu kota Tunisia. Bouazizi yang selama tujuh tahun berjibaku menjadi tukang sayur tiba-tiba didatangi oleh segerombolan polisi dan mereka menyita gerobak sayurnya dengan alasan bahwa ia berjualan tanpa izin. Bouazizi sudah coba membayar 10 dinar Tunisia, namun ia ditampar, diludahi, bahkan ayahnya yang sudah meninggal dihina. (http://aceh.tribunnews.com/2013/01/17/dua-tahun-revolusi-tunisia)
Ia berusaha melapor ke markas provinsi, namun keluhannya sama sekali tak dihiraukan. Bouazizi pun mengambil langkah nekat yakni dengan caramembakar dirinya. Ternyata tidak hanya Bouazizi yang terbakar, tetapi juga membakar amarah seluruh rakyat Tunisia atas kediktaktoran rezim yang berkuasa.  (http://aceh.tribunnews.com/2013/01/17/dua-tahun-revolusi-tunisia)
Dari sanalah gejolak bermula. Unjuk rasa pun terjadi sebagai bentuk protes atas kebijakan rezim Presiden Zine El Abidine Ben Ali, sang diktaktor Tunisia yang telah berkuasa selama 23 tahun. Peristiwa yang bermula pada Desember 2010 itu termasuk gelombang pergolakan sosiopolitik yang paling dramatik di Tunisia dalam masa tiga dasawarsa. Peristiwa itu menyebabkan ramai warga yang menjadi korban atau cedera hingga akhirnya Ben Ali berhasil digulingkan pada 14 Januari 2011. (http://aceh.tribunnews.com/2013/01/17/dua-tahun-revolusi-tunisia)
2.1.2 Presiden Zine El Abidine Ben Ali dan Tumbangnya Presiden Zine El Abidine Ben Ali
      Tidak ada yang menduga, letupan di Tunisia yang dimulai sejak bulan Desember tahun lalu akhirnya dapat menumbangkan Zine El Abidine Ben Ali, sang rezim diktator yang juga anti terhadap segala bentuk kehidupan yang berbau Islam. Ben Ali yang oleh kebanyakan warga Tunisia biasa dijuluki Ben A Vie (dari bahasa Prancis yang berarti seumur hidup), sebagai bentuk ejekan karena ingin berkuasa seumur hidup di negeri berpenduduk sekitar 11 juta jiwa itu.
Ben A Vie yang sejak muda mendapat didikan Prancis tersebut menjadi Presiden Tunisia kedua sejak negara itu merdeka dari Perancis pada 1956 setelah mundurnya Presiden pertama Habib Bourguiba karena sakit-sakitan akibat penyakit tua renta pada 7 November 1987. Ben A Vie yang diharapkan mengadakan perubahan dari rezim diktator pendahulunya ternyata lebih parah, termasuk yang terkait dengan kehidupan yang berbau Islam yang menjadi agama 99 % rakyat negeri itu.
Jenderal Zine El Abidine Ben Ali lahir di Hammam-Sousse, 3 September 1936 (74 tahun) adalah Presiden Republik Tunisia sejak 7 November 1987 dan presiden yang kedua sejak kemerdekaannya dari Perancis pada 20 Maret 1956.Di Tunisia, media massa sering menyebutnya Ali Baba.Sebagai militan muda dari Partai Neo-Destour, ia dikirim ke Perancis untuk menjalani latihan militer. Ia lulus dari Sekolah Inter-Arms di Saint-Cyr dan Sekolah Artileri di Châlons-en-Champagne. Kemudian melanjutkan pendidikan militernya di Amerika Serikat.

Ben Ali ditunjuk mendirikan dan mengatur Departemen Keamanan Militer pada 1964 hingga 1974. Ia dipromosikan sebagai Direktur-Jenderal Keamanan Nasional dalam Departemen Dalam Negeri pada 1977 setelah menjabat sebagai atase militer di Maroko.Ben Ali kembali dari 4 tahun sebagai Duta Besar untuk Polandia menjadi kepala Keamanan Nasional namun kini dengan posisi setingkat Menteri. Ia mengambil posisi ini saat berkembangnya gerakan Islam di negerinya.
Pada saat itui ia diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri dan bertahan pada posisi ini saat ia menjadi Perdana Menteri di bawah Presiden Habib Bourguiba pada 1 Oktober 1987. Lalu, Bin Ali memecat Presiden Bourguiba dan memangku jabatan presiden pada 7 November 1987 dengan dukungan beberapa gelintir elite dan pendukungnya.

Tujuh orang doktor menandatangani kertas yang menyatakan Presiden Bourguiba tak cakap menjabat. Ia kemudian mempertahankan sikap politik luar negeri nonblok pendahulunya dan mendukung ekonomi yang telah berkembang sejak awal 1990-an.Proyek pekerjaan umum yang besar, termasuk bandara, jalan raya atau perumahan, telah dijalankan. Bagaimanapun, pengangguran menyisakan masalah ekonomi yang besar

Ben Ali melanjutkan pendekatan otoriter pendahulunya dan memuja kepribadian (aktivitasnya mengambil tempat banyak dari berita harian). Meski ia mengumumkan pluralisme politiknya pada 1992, Rapat Umum Konstitusional Demokratiknya (dahulu Partai Neo-Destour) melanjutkan dominasi politik nasional. Rezimnya masih tidak mengizinkan aktivitas oposisi dan kebebasan pers menyisakan penyamaran. Pada 1999, walaupun dua kandidat alternatif yang tak dikenal diizinkan untuk pertama kalinya berada dalam pemilihan presiden, Ben Ali diangkat kembali dengan 99,66% suara. Ia kembali dipilih pada 24 Oktober 2004, secara resmi meraih 94,48% suara, setelah referendum konstitusi yang kontroversial pada 2002 yang membuatnya bertahan sebagai presiden setidaknya hingga 2014.

Televisi Zionis Israel menyatakan penyesalan mendalam atas tumbangnya kekuasaan pemerintah Zine El Abidine Ben Ali dan menyebut mantan Presiden Tunisia yang lari ke Arab Saudi ini sebagai pendukung terbesar politik Israel secara diam-diam. Pemerintah Tunisia di masa Zine El Abidine Ben Ali pada 2008 lalu saat Israel menyerang Jalur Gaza, melarang warganya untuk melakukan demonstrasi anti Israel. Tidak hanya itu, Ben Ali juga melarang upaya mengumpulkan bantuan rakyat untuk warga Gaza.

Kebanyakan negara-negara Arab saat ini punya terlilit masalah yang sama seperti tidak adanya kebebasan, kemiskinan dan penggangguran. Masalah ini membuat rakyat di Tunisia melakukan demonstrasi memprotes kebijakan pemerintahnya begitu juga yang terjadi di Aljazair yang menyebabkan puluhan rakyat tewas dan cidera. Namun sejatinya yang terjadi adalah krisis politik yang lebih luas dibandingkan dengan masalah ekonomi dan pengangguran. Dengan kata lain, permasalahan utamanya adalah kebencian yang demikian memuncak terhadap pemerintahan diktator Ben Ali dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahannya. Intinya pengangguran adalah satu-satunya yang tersisa sebagai sarana untuk menggugat pemerintah dan menunjukkan ketidakpercayaan terhadapnya. Pelaksanaan Pemilu selama ini hanya sebatas drama politis untuk melanggengkan kekuasaan tangan besi.
Protes ini pada akhirnya melengserkan pemerintahan Zine El Abidine Ben Ali dan para pengamat politik berkeyakinan bahwa tumbangnya pemerintahan Ben Ali merupakan sebuah pesan penting bagi penguasa sebagian negara-negara Arab yang berkuasa bertahun-tahun secara turun temurun. (http://makalahhubinternasional.blogspot.com/2011/01/revolusi-tunisai-dan-runtuhnya-rezim.)


2.1.3 Pasca Revolusi Musim Semi Tunisia
Tunisia adalah tempat kelahiran gempa yang mengguncang wilayah tersebut dan memakan korban sejumlah penguasa diktator. Aksi bakar diri Muhammad Bouzizi menyebabkan protes massa yang akhirnya mengakibatkan Zine El Alidine Ben Ali meninggalkan negara. Riak-riak kejadian ini masih terasa di seluruh dunia dan tidak ada yang pernah mengharapkan revolusi Arab akan menelan seluruh wilayah itu. Januari 2013 tepat dua tahun sejak Revolusi Arab mulai terjadi di Tunisia sementara banyak hal yang telah berubah, namun yang sulit untuk dihindari adalah seberapa banyak yang tidak berubah dan tetap sama.
Setelah puluhan tahun penindasan, pemerintah sementara menggantikan pemerintahan Ben Ali, dan pemilu berlangsung pada bulan Oktober 2011. Partai Islam di negara itu, Ennahda, memenangkan pemilu legislatif, dengan mendapatkan 90 dari 217 kursi, dan melanjutkan dengan membentuk pemerintah koalisi dengan partai-partai sekuler yang memenangkan posisi kedua dan ketiga tertinggi untuk kursi parlemen. Pada saat itu, sulit untuk dihindari suara Islam untuk pemilu dan suasana dengan perasaan itulah yang mendasari dan memberikan partai Islam itu kemenangan yang jelas mengejutkan banyak pihak di wilayah itu dan sekitarnya. Dengan mandat yang besar, para politisi Islam mengambil posisi pemerintahan mereka dan Tunisia menunggu nilai-nilai Islam diterapkan pada masyarakat.
Ennahda mendominasi majelis konstituante yang bertugas menulis konstitusi negara. Rancangan konstitusi diumumkan kepada publik pada bulan Agustus 2012, dan setelah mendapatkan ‘tiket Islam’, Ennahda menegaskan bahwa mereka tidak akan menjadikan syariat sebagai sumber hukum dalam konstitusi yang baru dan akan mempertahankan sifat sekuler Negara itu. Ennahda bersikeras bahwa mereka akan terus memperatahankan pasal pertama Konstitusi 1956 pada undang-undang dasar yang baru. Pasal itu mengabadikan pemisahan antara agama dan negara, dengan menyatakan bahwa: “Tunisia adalah sebuah Negara yang bebas, merdeka dan berdaulat, beragama Islam, berbahasa Arab dan adalah sebuah negara republik” .” Kami tidak akan menggunakan undang-undang untuk memaksakan agama. Pemimpin Ennahda Rachid Ghannouchi mengatakan kepada para wartawan setelah komite konstituen partai-partai Islam  melakukan voting untuk mempertahankan pasal konstitusional dengan 52 suara melawan 12 suara. Pasal itu, katanya menambahkan” merupakan obyek dari konsensus di antara semua lapisan masyarakat; dengan melestarikan identitas Arab-Muslim Tunisia dan juga menjamin prinsip-prinsip negara yang demokratis dan sekuler
Ennahda didirikan pada tahun 1980 dengan mengikuti model Ikhwanul Muslimin Mesir, dan selama dua dekade terakhir telah menjadi lebih nyaman dengan ide-ide sekularisme, hingga ke titik yang sekarang dengan memiliki lebih banyak persamaan dengan partai-partai sekuler daripada sebagai sebuah partai Islam. Partai ini telah menjadi mirip dengan AKP di Turki yang menjadikan Islam dalam namanya saja.
Ummat Islam Tunisia memilih partai Islam itu karena sentimen keislaman mereka. Ennahda telah benar-benar menjelaskan posisinya sekarang ini ketika mereka berkuasa, bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk menerapkan Islam. Tunisia telah menjadi satu-satunya negara yang menyaksikan terusirnya seorang pemimpin dan secara terbuka menyatakan bahwa negara itu akan mempertahankan sistem yang ada, meskipun dengan beberapa perubahan palsu, namun hampir tidak memberikan peran apapun kepada Islam. Pemimpin Ennahda, Rachid Ghannouchi, menjelaskan sehubungan dengan pendirian Khilafah setelah memenangkan pemilu: “Jelas, kami adalah sebuah negara bangsa. Kami menginginkan pemerintah untuk reformasi Tunisia, bagi Negara Tunisia. Adapun isu Khilafah, hal ini merupakan masalah yang bukan merupakan suatu realitas. Persoalan realitas saat ini adalah bahwa kami adalah sebuah Negara Tunisia yang menginginkan reformasi, sehingga menjadi sebuah Negara bagi Rakyat Tunisia, bukan untuk melawan mereka”
Ennadah menyukai mitranya di Mesir setelah muncul sebagai pemenang yang telah melakukan segalanya dengan kemampuan mereka untuk mempertahankan sistem yang ada. Dengan menyebut dirinya sebagai sebuah partai Islam telah menjadikannya sangat jelas bahwa pemerintahan Islam tidak bisa bekerja di dunia pada saat ini, Rachid Ghannouchi, pemimpin kelompok itu mengatakan partai Islam tidak akan “memperkenalkan definisi yang ambigu dalam konstitusi yang memberikan risiko terpecahnya rakyat”, dengan menambahkan bahwa “banyak rakyat Tunisia tidak memiliki gambaran yang jelas tentang syariah dan praktek-praktek yang salah di negara tertentu telah menimbulkan ketakutan.” Sementara banyak orang di Tunisia yang mengorbankan hidup mereka untuk perubahan di negara itu, namun setelah berkuasa Ennadah menolak untuk menerapkan Islam dan mereka harus memperhatikan bahwa umat mengusir Ben Ali ke luar negeri karena pengkhianatan yang dilakukannya, umat telah menunjukkan mereka tidak lagi takut terhadap rezim dan jika Ennadah tidak memenuhi janjinya, mereka juga dapat menjadi bagian dari sejarah sebagaimana Ben Ali saat ini. (http://www.rimanews.com/read/20130312/94919/revolusi-musim-semi-antara-imaji-dan-ilusi )


2.1.4 Respon Liga Arab
      Konferensi tingkat tinggi bidang Perekonomian, Sosial dan Pembangunan negara-negara Arab yang berlangsung di Sharm El-Sheikh, Mesir sama sekali tidak menyinggung kekacauan di Tunisia yang mulai memicu krisis ekonomi di negeri itu.
Konferensi yang berakhir hari Rabu (19/1) hanya menekankan pada masalah pembangunan dan upaya pengentasan pengangguran di negara-negara Arab. "Ini merupakan konferensi ekonomi bukan konferensi politik," kata Menteri Luar Negeri Mesir Ahmed Abul-Gheit saat memberikan keterangan pers di acara penutupan kemarin, menjawab pertanyaan mengapa konferensi itu sama sekali tidak membahas krisis di Tunisia.
"Mesir sudah menyatakan keprihatinannya atas apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir menghormati aspirasi rakyat Tunisia. Saya pikir, tidak membahas krisis di Tunisia (dalam konferensi itu) bukan hal yang memalukan karena pada bulan Maret nanti akan ada pertemuan tingkat tinggi untuk masalah politik di Irak, dan masalah Tunisia akan dibahas dalam pertemuan itu, jika masih relevan," tukas Menlu Mesir.
Para pemimpin Arab yang hadir dalam pertemuan di Sharm El-Syaikh hampir tidak ada yang menyinggung krisis dalam negeri Tunisia dalam pidatonya. Hanya Sekretaris Jenderal Liga Arab Amr Moussa yang selintas menyinggung persoalan di negeri itu. Ia mengatakan bahwa apa yang terjadi di Tunisia adalah sebuah "revolusi."
"Masyarakat negara-negara Arab sudah sering diguncang oleh krisis-krisis sosial. Revolusi yang sedang terjadi di Tunisia berkaitan dengan isu-isu ekonomi dan pembangunan sosial dalam pertemuan tingkat tinggi tahun ini. Revolusi itu tidak jauh jaraknya dari kita," kata Moussa.
Sekjen Liga Arab itu juga mengingatkan bahwa masyarakat Arab telah memasuki tahap kemarahan dan frustasi yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Untuk itu Moussa menyerukan "pembaruan" di negara-negara Arab untuk mengatasi rasa frustasi di kalangan rakyat.

Konferensi tingkat tinggi bidang ekonomi, sosial dan pembangunan negara-negara Arab menetapkan sejumlah resolusi terkait peningkatan kerjasama di ketiga bidang tersebut. Antara lain pembentukan area perdagangan bebas, penyatuan bea cukai, pemberlakukan kebijakan di bidang investasi dan kerjasama dalam bidang teknologi internet, angkatan laut dan bidang kelistrikan.
Konferensi itu juga memberikan perhatian khusus pada masalah keamanan pangan dan sumber air, terutama masalah perubahan iklim yang membuat sumber-sumber air makin langka. Negara-negara Arab sepakat untuk menggalang kerjasama menetapkan strategi pengamanan sumber-sumber air di wilayah Arab.

2.2 Revolusi Musim Semi di Aljazair
2.2.1 Latar Belakang Revolusi Musim Semi di Aljazair
Pada bulan Januari 2011, di Aljazair sudah terjadi demonstrasi dan terus berlangsung di bulan Februari. Ribuan polisi dikerahkan memblokade jalan agar para demonstran agar tidak memasuki ibu kota negara. Warga memprotes meningkatnya harga komoditi dan juga tingginya angka pengangguran. Demo warga makin meningkat setelah pemerintah menetapkan kenaikan harga susu, gula, dan tepung. Selain itu, sudah lama rakyat Aljazair mengeluhkan ketidakadilan distribusi kekayaan negara. Ribuan pemuda Aljazair turun ke jalan-jalan dan bentrok dengan aparat polisi. Bahkan sebuah pos polisi dibakar massa.(http://ahmadhaes.wordpress.com/2011/02/14/revolusi-mesir-merembet-ke-aljazair/ )
2.2.2 revolusi musim semi Aljazair Menuntut Presiden Abdelaziz Bouteflika Mundur
Demo menuntut Presiden Abdelaziz Bouteflika mundur sudah berlangsung beberapa kali di bulan Februari ini. Demo-demo ini terinspirasi demos serupa di Tunisia dan Mesir yang telah berhasil menumbangkan rezim berkuasa di dua negara tersebut.
Sebenarnya aksi demo massal telah dilarang di Aljazair berdasarkan UU keadaan darurat yang diberlalukan sejak tahun 1992. Sejak itu, aksi protes hanya diizinkan dengan basis kasus per kasus di luar ibukota Aljazair, Algiers. (http://hizbut-tahrir.or.id/2011/02/14/revolusi-mesir-menular-ke-yaman-aljazair-dan-iran/)
Pada Sabtu, 12 Februari lalu, aksi demo yang dilakukan sekitar 2 ribu orang, berhasil dibubarkan oleh pasukan keamanan Aljazair. Saat itu, hampir 30 ribu polisi membubarkan para demonstran yang berjalan dari Lapangan 1 May menuju Lapangan Martyrs. Dalam peristiwa itu, polisi menangkap 14 demonstran. namun menurut kelompok oposisi, 300 orang ditangkap saat itu.
Pada Minggu, 13 Februari, aksi demo juga terjadi di kota lain Aljazair, Annaba. Dalam aksi itu, empat polisi mengalami luka-luka ringan saat terjadi bentrokan dengan para demonstran muda di luar gedung pemerintah setempat. Juru bicara CNDC Khalil Moumene mengecam apa yang disebutnya kebrutalan pasukan keamanan dan penangkapan para aktivis oposisi.
Para pemimpin oposisi menyerukan untuk kembali menggelar aksi demo di Algiers, ibukota Aljazair. Mereka tak peduli meski di negeri itu telah lama diberlakukan larangan demonstrasi. Para demonstran kembali turun ke jalan pada Jumat, 18 Februari p2011
Demikian disampaikan koalisi partai-partai oposisi, National Co-ordination for Change and Democracy (CNCD) usai menggelar rapat kepemimpinan seperti diberitakan AFP, Senin (14/2/2011). CNDC bersikeras menuntut pengunduran diri Presiden Abdelaziz Bouteflika dikarenakan tingginya pengangguran serta melambungnya harga rumah dan harga-harga lainnya di negeri itu.
Aksi besar-besaran terjadi  Jumat 18 Februari, meniru apa yang telah dilakukan rakyat Tunisia dan Mesir yang telah menumbangkan tirani kekuasaan Presiden Abdelaziz Bouteflika yang juga juga telah berlangsung cukup lama lebih 11 tahun sejak 1999 itu.Mungkin kita akan menyaksikan lagi Breaking News detik-detik kejatuhan seoarang Presiden langsung dari Ibukata Aljazair, Algier, atau dari beberapa negara Arab lainnya seprti Yaman, Sudan, Yordania, Iran dan lain-lain yang juga sudah melakukan demo-demo serupa, seperti di Kairo beberapa waktu yang lalu.
Apapun yang terjadi, kita berharap agar demo-demo itu tetap proporsional dan terkendali, agar korban yang jatuh tidak terlalu banyak dan tidak terlalu berdampak terhadap kestabilan politik dan keamanan secara keseluruhan di negara-negara Arab, karena dapat mengganggu kestabilan dan keamanan secara global. (http://www.voa-islam.com/lintasberita/eramuslim/2011/02/04/13135/cegah-terjadinya-revolusi-rakyat-aljazair-janji-adanya-perubahan/)
2.2.3 Dampak Revolusi musim semi di Aljazair
Kerusuhan yang meluas di Aljazair dapat mempengaruhi ekonomi dunia. Meski angka pengangguran tinggi dan kemiskinan merupakan keadaan umum negara salah satu pengekspor minyak terbesar itu, para pengamat mengatakan bahwa revolusi gaya Mesir tidak akan terjadi di sana, karena pemerintah bisa memanfaatkan kekayaan minyak mereka untuk menghibur rakyat.
Negara-negara Arab yang lain juga telah merasakan riak-riak revolusi Mesir dan Tunisia. Raja Yordania, Abdullah, mencopot PM-nya setelah muncul demo-demo. Di Yaman, Presiden Abdullah Saleh berjanji di hadapan para oposisinya untuk tidak mencalonkan diri lagi dalam pemilu yang akan datang.
Para penggerak protes di Aljazair – yang mengatakan bahwa gerakan mereka sebagian diilhami peristiwa di Mesir dan Tunisia – mengatakan bahwa polisi Aljazair mungkin dapat mengusir massa sebelum mereka beraksi di ibukota, atau demo-demo yang sama muncul di kota-kota lain.
“Rakyat Aljazair harus diijinkan untuk mengekpresikan diri secara bebas, dan melakukan demo damai di Algiers serta di tempat-tempat lain.” Demikian sebuah pernyataan yang dikeluarkan Amnesty International (yang berpusat di Inggris). “Kami mendesak para penguasa Aljazair untuk tidak menyambut tuntuta rakyat dengan kekuatan yang berlebihan.” Banyak orang Aljazair khawatir terjadi kembali konflik brutal beberapa tahun lalu, yang memakan 200.000 korban.
Para pemrotes kali ini memang tidak menyerukan untuk menjatuhkan Presiden Abdelaziz Bouteflika. Namun, napas antipemerintah sudah terasa memenuhi udara. Sebuah gambar karikatur di koranLa Liberte menyindir bahwa Aljazair kalah 1-0 dari Mesir, dan harus menyamakan skor itu.
Dengan terjadinya pemogokan dan kerusuhan di beberapa tempat, termasuk lima hari kerushan pada bulan Januari, suasana Ajazair memang sedang tegang. Sudah terjadi aksi dan usaha bunuh diri, termasuk usaha bakar diri oleh seorang pemuda yang mengawali protes-protes di Tunisia di pertengahan Desember.
Pemerintah Aljazair mengatakan pelarangan demo dilakukan demi kepentingan umum, bukan sebagai usaha menentang protes. Mereka mengatakan bahwa pemerintah telah berusaha keras untuk menyediakan lapangan kerja baru dan memperbaiki pelayanan-pelayanan publik.
Dalam rangka mengatasi ketegangan, penguasa telah menurunkan harga gula dan minyak goreng, membeli banyak tepung untuk menjamin pasokan roti, dan berjanji akan menghapus undang-undang keadaan darurat yang telah berlaku selama 19 tahun, dalam ‘waktu yang sangat dekat’.
Protes tersebut tidak didukung oleh organisasi-organisasi perdagangan Aljazair, partai-partai oposisi terbesar atau kelompok-kelompok radikal Islam yang dilarang pada tahun 1990an. Namun masih tetap mempengaruhi akar rumput.Gerkan protes itu tampaknya akan berlangsung keras, tapi tak akan mengoyahkan kestabilan rejim berkuasa,” kata Eurasia Group, sebuah lembaga konsultan politik. (https://www.google.com/#psj=1&q=dampak+revolusi+aljazair)


     





BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Revolusi Tunisia 2010-2011 adalah serangkaian unjuk rasa yang sedang berlangsung di berbagai kota di Tunisia yang membuat PresidenZine El Abidine Ben Ali mundur dari jabatannya pada 14 Januari2011 setelah 23 tahun berkuasa. Pengunjuk rasa memprotes kenaikan harga pangan dan bahan bakar, pengangguran, korupsi, dan kebebasan berbicara.
Revolusi Tunisia ini bermula dari seorang tukang sayur, Muhammad Bouazizi, berumur 26 tahun yang tertindas di wilayah Sidi Bouzid Sidi, 300 kilometer sebelah selatan ibu kota Tunisia. Bouazizi yang selama tujuh tahun berjibaku menjadi tukang sayur tiba-tiba didatangi oleh segerombolan polisi dan mereka menyita gerobak sayurnya dengan alasan bahwa ia berjualan tanpa izin. Bouazizi sudah coba membayar 10 dinar Tunisia, namun ia ditampar, diludahi, bahkan ayahnya yang sudah meninggal dihina. Ternyata tidak hanya Bouazizi yang terbakar, tetapi juga membakar amarah seluruh rakyat Tunisia atas kediktaktoran rezim yang berkuasa.
Tidak ada yang menduga, letupan di Tunisia yang dimulai sejak bulan Desember tahun lalu akhirnya dapat menumbangkan Zine El Abidine Ben Ali, sang rezim diktator yang juga anti terhadap segala bentuk kehidupan yang berbau Islam. Ben Ali yang oleh kebanyakan warga Tunisia biasa dijuluki Ben A Vie (dari bahasa Prancis yang berarti seumur hidup), sebagai bentuk ejekan karena ingin berkuasa seumur hidup di negeri itu.
Pada bulan Januari 2011, di Aljazairpun terjadi terjadi demonstrasi dan terus berlangsung di bulan Februari. Ribuan polisi dikerahkan memblokade jalan agar para demonstran agar tidak memasuki ibu kota negara. Adapun penyebab demo yaitu warga memprotes meningkatnya harga komoditi dan juga tingginya angka pengangguran. Demo warga makin meningkat setelah pemerintah menetapkan kenaikan harga susu, gula, dan tepung. Selain itu, sudah lama rakyat Aljazair mengeluhkan ketidakadilan distribusi kekayaan negara. Ribuan pemuda Aljazair turun ke jalan-jalan dan bentrok dengan aparat polisi. Bahkan sebuah pos polisi dibakar massa.
Dampak dari Kerusuhan yang meluas di Aljazair dapat mempengaruhi ekonomi dunia. Meski angka pengangguran tinggi dan kemiskinan merupakan keadaan umum negara salah satu pengekspor minyak terbesar itu, para pengamat mengatakan bahwa revolusi gaya Mesir tidak akan terjadi di sana, karena pemerintah bisa memanfaatkan kekayaan minyak mereka untuk menghibur rakyat. Dalam rangka mengatasi ketegangan, penguasa telah menurunkan harga gula dan minyak goreng, membeli banyak tepung untuk menjamin pasokan roti, dan berjanji akan menghapus undang-undang keadaan darurat yang telah berlaku selama 19 tahun, dalam ‘waktu yang sangat dekat’.




DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi diakses tanggal 7 Oktober 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Tunisia diakses tanggal  6 Oktober 2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar