BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Kepemimpinan pemerintahan merupakan suatu kemampuan pemerintah (government)
untuk melakukan komunikasi, interaksi dan pengaruh terhadap masyarakat
terutama dalam penyediaan produk jasa dalam layanan publik (public service) dan
layanan sipil (civil service). Ndraha (2003:226) menegaskan
bahwa konsep kepemimpinan pemerintahan terdiri dari dua (sub) konsep yang
hubungannya satu dengan yang lain, tegang, yaitu konsep kepemimpinan bersistem
sosial dan konsep kepemimpinan pemerintahan yang bersifat formal.
Konsep kepemimpinan pemerintahan tidak saja bersistern nilai formal yang
terikat oleh tataran hukum bersifat formal namun kepemimpinan juga bersandar
pada sistem nilai sosial menunjukkan bahwa kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
mempengaruhi orang lain tidak terlepas dari sistem nilai budaya yang dimiliki
termasuk kepercayaan dan adat-istiadat. Sedangkan konsep kepemimpinan
pemerintahan yang mengandung sistem nilai formal adalah bersumber pada
kewenangan rasional yang dihadapkan pada berbagai tugas dan kewajiban serta
tuntutan situasi dan perubahan yang cepat dan dituntut untuk berperan sesuai
dengan status yang melekat untuk mencapai suatu tujuan melalui atau menggunakan
kekuasaannya.
Dua konsep yang lahir dari sumber yang sama yaitu kepentingan, kekuasaan
dan kewibawaan yang diterapkan dalam mengendalikan proses kegiatan kepemimpinan
yang melahirkan corak dan gaya kepemimpinan pemerintahan yang cenderung
otokratis maupun demokratis yang ditampilkan seseorang dalam kehidupan
sehari-hari dan corak tersebut lazim disebut gaya.
Gaya kepemimpinan pemerintahan yang otokratis banyak dilakukan oleh
birokrat yang berlatar belakang militer, dulu dengan nama Dwi Fungsi ABRI atau
kekaryaan yang memiliki jiwa dan dedikasi kuat sehingga menampilkan sosok yang
keras atau disiplin yang tinggi. Mengenai pola kepemimpinan inilah yang akan di
bahas pada makalah ini yakni kepemimpinan tradisional dan orde baru.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Jelaskan Apa saja tipe-tipe
kepemimpinan yang ada?
2.
Bagaimana pola kepemimpinan pada
zaman Majapahit?
3.
Bagaimana pola kepemimpinan pada
zaman Mataram Islam?
4.
Bagaimana pola kepemimpinan pada
zaman Belanda dan Jepang?
5.
Bagaimana pola kepemimpinan pada
masa Orde Lama?
1.3 TUJUAN
1.
Memaparkan tipe-tipe kepemimpinan
2.
Menjelaskan pola kepemimpinan pada
zaman Majapahit
3.
Menjelaskan pola kepemimpinan pada
zaman Mataram Islam
4.
Menjelaskn pola kepemimpinan pada
zaman Belanda dan Jepang
5.
Memaparkan pola kepemimpinan pada
masa Orde Lama
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tipe-tipe Kepemimpinan
Kepemimpinan tidak terlepas dari tipe kepemimpinan. Secara umum tipe
kepemimpinan dikemukakan oleh O'leary, (2001:18-22) sebagai berikut:
1) Kepemimpinan
Diktator, ciri-cirinya antara lain
tidak diperkenankan bertanya, pengetahuan adalah kekuatan dan tidak boleh ada
kesalahan.
2) Kepemimpinan
Demokratis, cirinya antara lain partisipasi, mendorong perdebatan,
dan kebebasan memveto.
3) Kepemimpinan
tipe Kemitraan, ciri-cirinya antara lain kesejajaran, visi kelompok,
dan berbagi tanggungjawab, dan
4) Kepemimpinan
Transformasional ciri-cirinya antara lain: kharisma,
keyakinan, rasa hormat dan pengabdian, pujian terbuka, dan inspirasi. Sedangkan
Siagian menjelas kan tipe-tipe kepemimpinan yang sudah populer yaitu
kepemimpinan otokratik, paternalistik, kharismatik, laissez faire, dan
demokratik.
Sedangkan Siagian (1999:31-33) menjelaskan karakteristik kepemimpinan
antara lain: pemimpin yang otokratik adalah seorang pemimpin yang sangat egois
sehingga kadang memutarbalikkan fakta yang sebenarnya sehingga sesuai dengan
apa yang secara subyektif diinterpretasikan sebagai kenyataan. Pemimpin yang
paternalistik adalah pemimpin yang banyak terdapat dalam lingkungan yang masih
bersifat tradisional, umumnya pada masyarakat agraris. Popularitasnya pemimpin
paternalistik ditentukan oleh kuatnya ikatan primordial, extended farrdliy
system, kehidupan masyarakat yang komunalistik, peranan adat-istiadat yang
sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat, dan masih dimungkinkan hubungan
pribadi yang intim antara seorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat
lainnya.
Pemimpin yang kharismatik adalah pemimpin yang banyak diikuti meskipun para
pengikut itu belum tentu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang
tertentu itu dikagumi. Sedangkan pemimpin laissez faire dalam menyelenggarakan
kepemimpinannya bertolak pada filsafat hidup bahwa manusia pada dasarnya
memiliki rasa solidaritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada
sesama dan kepada organisasi. Sementara itu, tipe pemimpin demokratik adalah
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, bahwa kebutuhan manusia tidak
terbatas hanya pada kebutuhan yang bersifat kebendaan. Nilai-nilai tersebut
berarti bahwa seorang pemimpin yang demokratik memperlakukan organisasi sebagai
wahana untuk mencapai tujuan manusia yang secara bersama hidup dalam naungan
organisasi dengan arahan dan petunjuk seorang pemimpin.
Sejalan dengan itu, pandangan tipe kepemimpinan dikemukakan Kartono
(2003:29-30) bahwa pimpinan itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak
dan kepribadian sendiri yang unik dan khas, sehingga tingkah laku dan
gayanyalah yang membedakan dirinya dari orang lain. Tipe tersebut dapat
dibedakan ke dalam delapan kelompok antara lain, tipe deserter (pembelot), tipe
birokrat, tipe misionaris, tipe pembangun, tipe otokrat, tipe otokrat yang
baik, tipe kompromis dan tipe eksekutif. Berbagai tipe kepribadian seorang
pemimpin pada hakekatnya merupakan upaya untuk mempengarahi orang lain,
mengingat setiap orang memiliki variasi karakternya yang berbeda dan perbedaan
tersebut dapat tersalurkan melalui tipe-tipe kepemimpinan yang ditampilkan
seorang pemimpin dalam lingkungan fisik, sosial dan budaya setempat dan
tampilan atau performance tersebut sebagai upaya mempengaruhi orang lain
atau pengikutnya.
2.2 Pola Kepemimpinan Pada Zaman
Majapahit
Kepala pedukuhan atau desa Majapahit yaitu Sang Ramawijaya (1293). Beliau
merupakan sosok pimpinan yang mampu memberikan semangat kepada masyarakat
pendatang terutama dari Sumenep, Tumapel dan Daha serta daerah-daerah di
sekitar desa Majapahit. Kondisi tersebut terus berkembang sejalan dengan
meningkatnya aktivitas Desa Majapahit di satu sisi dan berubahnya Majapahit
menjadi berbagai pusat kegiatan pemerintahan yang baru. Lahirnya Majapahit merupakan
basil dari tiga konspirasi politik yaitu pertama, konspirasi antara Raden
Wijaya dengan Pangeran Aria Wiraraja dari Sumenep, kedua, konspirasi
Raden Wijaya dengan tentara Mongol yang dikirim oleh Kubilai Khan dari Mongolia
dan ketiga, konspirasi dengan salabat dan masyarakat simpatisan Raja
Kertanegara, ayahanda Raden Wijaya. Konspirasikonspirasi itu melahirkan
pilar-pilar kekuatan untuk mempercepat lahirnya Majapahit. Pilar-pilar
tersebut menurut Suwarno (1989:18) menjadi integrasi Majapahit yang diikat oleh
kekuatan religio-magis, tali kekeluargaan, kekuatan militer dan upeti
atau pajak.
Kekuatan Teiigio-magis dipersonifikasikan melalui jati diri sebutan dan
gelar raja sang Ramawijaya yang mengambil nama Abiseka Kertarajasa Jaya
Wardana. Nama tersebut terdiri dari io suku kata yang dapat dipecah menjadi
empat kata yakni: Kerta, Rajasa, Jaya, Wardana. Unsur Kerta mengandung
arti bahwa raja memperbaiki pulau Jawa dari kekacauan yang diciptakan oleh
penjahat-penjahat yang menyengsarakan rakyat. Rajasa mengandung arti
mengubah suasana gelap menjadi terang. Oleh karena itu raja dianggap sebagai
matahari yang menyinari bumi. Jaya mengandung arti bahwa raja mempunyai
kekuatan dan kedigdayaan dengan lambang senjata tombak berujung mata
tiga (trisula) karena senjata itu segenap musuh hancur lebur. Sedangkan wardana
berarti raja menghidupkan segala agama, melipatgandakan hasil bumi terutama
pada untuk kesejahteraan rakyat (Megandaru, 2006:142).
Raja mempunyai kekuasaan yang menyeluruh dan mutlak terhadap para
kawulanya. Kawula harus tunduk pada gustinya termasuk pada Patih,
Demung, Kanuruhan, Rangga, Tumenggung dan keluarga serta kerabat kerajaan
lainnya yang bertindak atas nama raja maupun status yang melekat karena
geneologis, bawaan, keturunan maupun karena perekonomian.
Struktur pemerintahan Majapahit pada masa Hayam Wuruk telah mencerminkan
keteraturan dan pembagian tugas yang jelas, struktur pemerintahan mencerminkan
adanya kekuatan yang bersifat teritorial dan disentralisasikan dengan birokrasi
yang terperinci. Hal ini karena adanya pengaruh kepercayaan yang bersifat kosmogenis.
Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa memegang otoritas politik
tentinggi dan menduduki puncak hirarki kerajaan.
Pembagian tugas yang jelas bagi pejabat kerajaan memungkinkan kontrol dari
raja cukup efektif terutama dalam menentukan siapa dan duduk sebagai apa.
Suwarno (1989:17) menegaskan bahwa pembagian tugas para pejabat beserta
persyaratan dan tingkah lakunya sudah ditentukan secara tertulis dalam Nawannatya
yang memuat tentang Raja Kapakapa untuk pejabat pusat, dan Rajapatigundala
untuk pejabatpejabat daerah beserta aturan-aturan lain tentang pertanahan.
Kejelasan akan tugas dan fungsi dalam mengendalikan organisasi pemerintahan
kerajaan sebagaimana diungkap Suganda (i995:35) tercermin sebagai berikut:
1)
Eksekutif;
a) Raja,
prabu atau ratu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan
b) Patih
amangkubumi yang memimpin dan mengkoordinasikan semua pembesar
kerajaan
c) Rakrian yang terdiri
atas;
-
Mantri Katrini yaitu Mantri Hino, Mantri Hulu dan Mantri Sirikan,
-
Pasungguhan yang dapat dianggap sebagai Hulubalang (panglima)
yang terdiri atas dua jabatan yaitu Pranajaya dan Nayapati,
-
Sang Pancawilwatikta yaitu para
Patih wilayah taklukan, Juru Pengalasan yaitu para pembesar wilayah, Demung,
Kanuruhan dan para Tumenggung.
d)
Arya, golongan ini kedudukannya lebih rendah dari Rakrian
terdiri atas 8 jabatan, yakni: Sang Arya Pati pati, Sang Arya Wangsa
pranata, Sang Arya JayaPati, Sang Arya Rajaparakrama, Sang Arya
Suradirjha, Sang Arta Rajadhirja, Sang Arya Dewaraja, dan Sang Arya
Dhiraraja.
2)
Penasehat;
Penasehat terdiri atas keluarga dekat raja, beranggotakan tujuh orang
karena itu disebut dengan Sapta Prabu (sekarang sama dengan Dewan
Per,timbangan Agung). Biasanya yang menjadi penasehat adalah Permaisuri,
Putera Mahkota, Mertua Raha dan kedua orang tua raja. Keputusan raja yang
menyangkut masalah penting biasanya dimusyawarahkan dengan memperhatikan
nasehat Sapta Prabu ini.
3)
Yudikatif;
Yudikatif disebut juga golongan Dang Acarya, yang
dikenakan kepada para pendeta Syiwa dan Budha, yang diangkat
sebagai Dharmadhyaksa yaitu hakim biasa. Seorang halam untuk mereka yang
beragama Syiwa dan seorang lagi untuk yang beragama Hindu.
Pada tataran Rakriyan terutama Sang Pancawilwatikta (patih
wilayah taklukan), Juru Pengalasan termasuk Demung, Kanuruhan, Rangga
dan para Tumenggung memiliki akses yang kuat terhadap desa.
Megandaru, (2oo6a87) mengemukakan bahwa pembesar-pembesar tersebut banyak
dikunjungi oleh pembesar-pembesar negara bawahan atau daerah. Hubungan dan tata
aturan kinerja pusat kerajaan dengan pemerintah termasuk Akuwu dan Buyut
desa termuat dalam peraturan perundang-undangan yang disebarluaskan kepada
rakyat lewat pejabat-pejabat pusat dan daerah. Mereka yang terdiri dari Mantra,
Tanda, Gusti, Mantra Akuwu, Juru Buyut, Ksatria dan Wiku Haji yang
dilaksanakan setiap bulan Caitra (Maret-April), mereka dikumpulkan dalam
perayaan kerajaan tahunan dan mendengarkan bacaan ajaran Raja Kapa-kapa dan
Rajapatigundala yang mengatur kehidupan semua pejabat dan semua orang
baik di pusat maupun di daerah, termasuk hubungannya dengan tanah, yang sangat
penting untuk sumber penghidupan orang seluruh Negara
2.3 Pola Kepemimpinan Pada Zaman
Mataram Islam
Pemerintahan kerajaan Mataram sebagai negara agraris Mataram memainkan
peranan penting dalam mengendalikan padi. Untuk itu sejalan dengan politik
ekspedisi dan ekspansi Mataram terus melakukan langkah strategis yaitu
optimalisasi hasil-hasil pajak melalui para bekel dan kerajaan melakukan
kegiatan berkesinambungan yaitu monopoli perdagangan beras. Keduanya secara
prinsip dilakukan untuk mengisi kas dan berputarnya roda pemerintahan.
Bekel di zaman Mataram Islam merupakan sebutan untuk kepala
desa. Proses pemilihan bekel ditunjuk, diangkat dan ditetapkan oleh raja
(Sutardjo, 1984:45). Kepala desa yang dipilih atas dasar keturunan atau karena
hubungan darah dengan pihak keraton merupakan bentuk intervensi kerajaan
terhadap desa. Hal tersebut menunjukkan bahwa desa sudah mulai disentuh menurut
selera dan kemauan pemerintah kerajaan. Tugas dan fungsi bekel yaitu
menjaga keamanan, ketentraman dan ketenangan warga desa. Fungsi utama bekel adalah
mengakses pajak untuk kepentingan pemerintah kerajaan. Bekel menjadi
alat dan sarana utama dalam melaksanakan kekuasaan raja dan untuk
mempertahankan dan melindungi keutuhan raja. Raja tidak segan-segan untuk
memecahkan atau memisahkan desa menjadi beberapa desa dengan konsekuensi
politis bahwa desa tidak boleh lebih besar dan hebat dari kerajaan. Muara
kesemua itu yaitu kemantapan dan kestabilan kedudukan raja.
Soemarsaid (1985:5) mengemukakan bahwa: Negara adalah lembaga,
tempat raja memiliki dan mempertahankan kekuasaannya atas semua orang dan
barang. Karena itu tidak heran jika negara dianggap sebagai citra tata alam
raya, tempat para dewa mempunyai kekuasaan mutlak. Kemiripan skematis antara
alam semeseta dengan negara dianggap sebagai kesamaan dan ini mempuryai tujuan
ganda, pertama, bila keduanya identik maka yang satu dapat menjamin keselamatan
yang lain dan kedua, secara politis paling penting kesamaan itu berfungsi untuk
memantapkan kekuasaan raja atas kawulanya.
Bekel sebagai kepanjangan raja diarahkan untuk dapat
mandiri. Soemarsaid (iq85ao6) mengemukakan bahwa negara juga menganut
kebijaksanaan memperbolehkan desa sedikit banyaknya berswasembada, khususnya
dalam bidang keamanan. Kebijaksanaan tersebut dilaksanakan dengan membentuk
tanggung jawab kolektif untuk beberapa kejahatan dan tindakan-tindakan ilegal
lainnya. Swasembada merupakan prinsip pokok dalam pembiayaan negara. Sistem
keuangan kerajaan Mataram Islam dapat disebut pembiayaan gaji karena dari
imbalan yang diteriananya dalam bentuk lungguh seorang pegawai
diharapkan membayar semua biaya yang meliputi pelaksanaan tugas dan
kewajibannya.
Titik pusat kebijakan kerajaan yang sudah dianggap mapan yaitu swasembada
pangan yang dapat mensuplai warga desa baik barang maupun uang untuk kas
kerajaan, stabilitas keamanan dan kesinambungan yang perlu dibentuk keamanan
kolektif inter dan antar desa termasuk keterlibatan Wedana Lebet yang bergelar
Tumen9gun9 menjadi urgen dalam menjaga ketentraman desa.
Tugas utama Tumenggung yaitu mengkoordinasikan dan sebagai komando
beberapa desa yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya terutama dalam bidang
keamanan, ketertiban dan menjaga aset-aset desa termasuk pendapatan pajak
desa. Sartono, Marwati dan Nugroho (1975:4) mengemukakan bahwa para Wedana
Lebet biasanya memakai gelar Tumenggung atau Pangeran bila pejabat
itu masaih keturunan raja. Masing-masing Wedana Lebet dibantu oleh
seorang Kliwon atau sering disebut juga dengan Papatih atau Lurah
Carik yang biasanya memakai gelar Ngabehi, kemudian seorang Kebayan
yang memakai gelar Nagabehi, Rangga atau Raden dan 40 orang
Mnniri Jajar.
Struktur Bekel ke atas yaitu Bekel atau kepala desa - Wedana
Lebet atau Tumenggung - Patih - Raja. Pada posisi Tumenggung mulai
melebar untuk membantu mengkoordinasikan desa. Untuk itu dibantu beberapa
pejabat yaitu seorang Kliwon yang bergelar Ngubehi, seorang Kebayan
yang memakai gelar Rangga atau Raden dan 40 Mantri Jajar yang
melaksanakan kegiatan membantu Tumenggung dalam bidang irigasi,
fasilitas umum, hail pertanian dan sebagainya. Sarfiono, Marwati dan Nugroho
(1975:8) mengemukakan bahwa sebagaimana halnya pejabat-pejabat kepala daerah
yang mempunyai staf pegawai yang mengurusi urusan tertentu, Tumenggung juga
dibantu oleh bawahan.
Perangkat lain dari Wedana Lebet atau Tumenggung
adalah Penghulu yaitu seorang yang memiliki tugas dan fungsi
menikahkan dan mengesahkan perkawinan, Khatib yang
bertugas mengembangkan syiar Islam dengan cara memberi tanda waktu shalat yaitu
mengumandangkan adzan dan iqomat dan melaksanakan shalat lima waktu ataupun
shalat Jumat. Modin mempunyai tugas memberi tanda waktu sholat melalui
media beduk maupun kentongan. Sedangkan Naib atau Suranata mempunyai
tugas mencatat kelahiran, mengurus kematian warga dan membantu perkawinan warga
desa. Arti penting keagamaan pada masa kerajaan Mataram Islam juga tercermin
dalam adanya jawatan pemerintahan yaitu lembaga kepenghuluan yang
bertanggungjawab atas urusan-urusan agama termasuk melaksanakan keadilan dalam
pertikaian pertikaian dalam yurisdiksi hukum Islam.
Tundan desa ialah suatu sistem komunikasi antara pusat
kerajaan dengan daerah yang dilakukan dengan mengirim berita melalui utusan
yang disampaikan dari satu desa ke desa lain hingga berita tersebut akhirnya
sampai kepada yang dituju. Sistem tundan (tundan = menaruh, menyimpan)
ialah utusan dari satu desa hanya menyampaikan berita itu ke desa lain yang
dituju dan selanjutnya arnanat itu, akan dilanjutkannya, akan diteruskan oleh
petugas desa yang baru didatangi terus ke tempat yang dituju.
2.4 Pola Kepemimpinan Pada Zaman
Belanda dan Jepang
Pemimpin Desa Zaman Belanda
Karesidenan dibagi-bagi menjadi beberapa Afdeling yang dipimpin oleh
kepala pemerintahan yang bergelar Asisten Residen atau Assistant Resident, bersamaan
dengan itu pula dengan wilayah yang sama terdapat daerah pemerintahan pamong
praja yang disebut Kabupaten atau Regenschap yang dipimpin oleh seorang
kepala pemerintahan yang bergelar Bupati atau Regent. Tiap-tiap
Kabupaten dibagi menjadi beberapa Kewedanan atau District yang dipimpin
oleh seorang kepala pemerintahan yang bergelar Wedana. Tiap-tiap Kewedanan
dibagi-bagi menjadi Kecamatan atau Onder District yang masing-masing
dikepalai oleh Camat atau Asisten Wedana. Kecamatan meliputi beberapa
Desa yang dikepalai oleh kepala desa.
Garis komando vertikal-horizontal bersifat hierarki yaitu tingkat provinsi
atau Gewest yang dipimpin oleh Gouvernour - Resident -.Elfdeling -
Regenschap - District - Onder District - Desa. Sedangkan dal-am aspek
legislatif berdasarkan Desentralisatie Besluit bahwa kepala dari
pemerintahan suatu Gewest adalah ketua dari Gewestelke Raad (Dewan
Gewest). Tugas dan wewenang Gewest antara lain merumuskan dan
membuat peraturan daerah tentang pengaturan pajak untuk kepentingan daerah dan
metancang peraturan yang mengaiur kepentingan umum termasuk memberi pedoman '
bagi eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan.
Pemimpin Desa Zaman Jepang
Kepala desa memiliki fungsi menjadi mediator antara kepentingan pemerintah
dengan harapan dan kepentingan masyarakat. Kepentingan pemerintah Jepang yaitu
mengalirnya informasi tentang Jepang sebagai saudara tua Asia dan seterusnya.
Di samping itu, optimalisasi pendapatan ekonomi desa untuk kepentingan
pemerintah Jepang dan berbagai jargon jargon lainnya untuk memperkuat
siasat pemerintah militer Jepang. Mengalirnya informasi dari pemerintahan
militer Jepang ke desa melalui Bupati - Wedana maupun distrik menunjukkan
posisi strategis dan otoritas yang tinggi bagi kepala desa dalam mengendalikan
kehidupan masyarakat.
Kepala desa atau bekel beserta perangkat desa lainnya
sebagai bagian integral dari pemerintah militer Jepang dirangsang dengan
berbagai prestasi termasuk melalui berbagai pendekatan budaya yang muaranya
memperpoleh pajak yang optimal. Soetardjo (1984:56) menjelaskan bahwa
pada masa penjajahan Jepang, untuk mencukupi kebutuhan perang maka otonomi desa
dan kedudukan hukum desa dipergunakan lebih hebat dari biasa. Untuk banyak
keperluan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah Syuu (Karesidenan)
dipergunakan instituut gugur gunung. Demikian juga kekuasaan kepala
desa diperas dan ditekan sehingga menjadikan merosotnya kedudukan kepala desa
di mata rakyat. Sejalan dengan itu, jumlah rakyat Indonesia selama pendudukan
Jepang yang harus bekerja keras sebagai Romusha atau serdadu pekerja tidak
diketahui seluruhnya. Dalam tahun i951, taksiran resmi pemerintah Indonesia
sebanyak empat ratus ribu orang. Jumlah tersebut diambil dari para pemuda dan
tenaga potensial baik dari kota dan desa melalu biro tenaga keija maupun melalui
bekel atau kepala desa.
2.5 Pola Kepemimpinan Pada Masa Orde
Lama
Proses seleksi atau pemilihan, kedudukan, kewenangan, kewajiban dan hak
Kepala Desapraja termasuk lowongan dan situasi yang membuat kepala desa tidak
dapat menjalankan tugas pemerintahannya, kesemua itu diatur secara rinci, tegas
dan komprehensif sehingga tidak ada peluang bagi longgarnya tata aturan tentang
Desapraja. Pemilihan Kepala Desapraja dilaksanakan langsung oleh penduduk desa
dengan berpaduan pada peraturan pemilihan, pengangkatan dan pengesehan serta
pemberhentian Kepala Desapraja yang ditentukan oleh pemerintah daerah tingkat I
atau Provinsi, ketentuan tersebut tetap dengan memperhatikan adat kebiasaan
setempat termasuk persyaratan untuk dipilih dan diangkat menjadi Kepala
Desapraja.
Kedudukan kepala desa praja di samping sebagai alat dan perangkat desa yang
diangkat dengan keputusan Gubernur juga sebagai mitra bekerja Badan Musyawarah
Desapraja. Mitra kerja tersebut ditandai dengan pola hubungan dan kinerja bahwa
Kepala Desapraja tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan Badan
Musyawarah Desapraja. Pemahaman lebih lanjut bahwa kinerja Kepala Desapraja
sekalipun tidak mampu maupun berhalangan dalam melaksanakan kewajibannya ia
dlwakili oleh seorang pamong Desapraja sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
Alat-alat kelengkapan Desapraja tidak saja Kepala Desapraja tetapi Pamong
Desapraja, Panitera Desapraja, Petugas Desapraja, Badan Pertimbangan Desapraja
dan Badan Musyawarah Desa-praja. Kesemua itu, pamong Desapraja yang
substansinya membantu jalannya roda pemerintahan desa. Di samping itu, Kepala
Desapraja yang mengepalai sesuatu dukuh yang juga penduduk dukuh tersebut
dalam lingkungan daerah Desapraja. Dukuh dalam pemahaman ini adalah
bagian dari Desapraja yang merupakan kelompok perumahan tempat tinggal sejumlah
yang biasanya disebut dusun, dukuh, kampung, blok dan sebagainya.
Jumlah pamong Desapraja sebagai salah satu alat pelengkap pemerintah desa
disesuaikan dengan jumlah kampung, dukuh, blok ataupun dusun yang ada di
dalam Desapraja. Sedangkan syarat-syarat dan ketentuan tentang larangan rangkap
jabatan sebagaimana diterapkan pada kepala Desapraja diberlakukan juga pada
pamong Desapraja termasuk hak yang diperoleh dalam bentuk penghasilan tetap
yang bersumber dari hak milik Desapraja dalam bentuk tanah bengkok dan dana
stimulan dari pemerintah pusat yang besarnya diatur berdasarkan I'edoman
Menteri Dal-am Negeri dan ditetapkan dengan Keputusan Badan Musyawarah
Desapraja.
Kedudukan pamong Desapraja dalam hirarki pemerintahan pamong Desapraja
diangkat dengan Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II, tentang Tata Cara
Pemilihan, Pengangkatan dan Pemecatan berdasarkan aturan dari provinsi.
Pelaksanaan pelantikan yang disertai dengan pengucapan sumpah sesuai dengan
agamanya dalam sidang Badan Musyawarah Desapraja.
Alat kelengkapan Desapraja lainnya yaitu Panitera Desapraja, petugas dan
pegawai Desapraja. Kedudukan Panitera Desapraja adalah pegawai Desapraja yang
memimpin penyelenggaraan Tata Usaha Desapraja dan sebagai Tata Usaha di bawah
koordinasi dan tanggungjawab Kepala Desapraja.
Panitera Desapraja diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desapraja dengan
persetujuan Badan Musyawarah Desapraja. Untuk itu Kepala Desapraja bisa
menunjuk satu orang atau beberapa orang untuk menjadi Asisten Panitera
Desapraja. Penghasilan Panitera dan pegawai Desapraja ditetapkan oleh Kepala
Desapraja berdasarkan peraturan yang diputuskan oleh Badan Musyawarah Desapraja
dengan berpedoman pada Keputusan Menteri Dalam Negeri dan dianasukkan dalam
anggaran keuangan Desapraja. Panitera maupun asisten panitera merupakan alat
kelengkapan desa diangkat atau diberhentikan oleh Kepala Desapraja dengan
persetujuan Badan Musyawarah Desapraja. Proses pemberhentiannya dilakukan atas
dasar permintaan sendiri, berakhirnya masa jabatan, tidak lagi memenuhi syarat
dan melanggar larangan rangkap jabatan yang sudah digariskan dalam ketentuan.
Kelebihan dan kekurangan demokrasi
orde lama
kelebihan :
kelebihan :
1.
Prinsip berdikari(berdiri di atas kaki sendiri,no leverage)
2.
khrismatik Bung Karno yang luar biasa
3.
Disegani oleh negara lain
4.
Moral bangsa dan nasionalisme masih terjaga
5.
Indonesia berhasil merebut kemerdekaa
6.
Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan
Indonesia
7.
Indonesia berhasil merebut kembali Irian Barat
8.
Dilakukannya Pemilihan Umum untuk yang pertama
kalinya.
kekurangan :
1.
Pembangunan lambat
2.
Otoriter
3.
Masyarakat cukup sengsara
4.
Perekonomian anjlok,hiper-inflasi hingga 600%
5.
Banyaknya terjadi pemberontakan
6.
Seringnya terjadi pergantian kabinet
7.
Terjadinya krisis ekonomi
8.
Munculnya gerakan 30s pki yang sangat merugikan bangsa
indonesia
9.
Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi
antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan
independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan
ekonomi yang mendesak.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perbandingan pola kepemimpinan
tradisional dan Orde Lama terlihat dari gaya kepemimpinannya dimana pada
kepemimpinan tradisional yang memegang kekuasaan adalah para raja dimana raja
berdasarkan garis keturunan dengan gelar yang diberikan seperti halnya pada
kerajaan Majapahit sebutan dan gelar raja sang Ramawijaya yang mengambil nama Abiseka
Kertarajasa Jaya Wardana. Nama tersebut terdiri dari io suku kata yang
dapat dipecah menjadi empat kata yakni: Kerta, Rajasa, Jaya, Wardana. Unsur
Kerta mengandung arti bahwa raja memperbaiki pulau Jawa dari kekacauan
yang diciptakan oleh penjahat-penjahat yang menyengsarakan rakyat. Rajasa mengandung
arti mengubah suasana gelap menjadi terang. Dan kepemimpinannya meliputi daerah
kekuasaannya.
berbeda dengan pola kepemimpinan pada Orde Lama pemimpin rakyat berdasarkan
Pemilihan Kepala Desapraja dilaksanakan langsung oleh penduduk desa dengan
berpaduan pada peraturan pemilihan, pengangkatan dan pengesehan serta
pemberhentian Kepala Desapraja yang ditentukan oleh pemerintah daerah tingkat I
atau Provinsi, ketentuan tersebut tetap dengan memperhatikan adat kebiasaan
setempat termasuk persyaratan untuk dipilih dan diangkat menjadi Kepala
Desapraja.Kedudukan kepala desa praja di samping sebagai alat dan perangkat
desa yang diangkat dengan keputusan Gubernur juga sebagai mitra bekerja Badan
Musyawarah Desapraja. Mitra kerja tersebut ditandai dengan pola hubungan dan
kinerja bahwa Kepala Desapraja tidak dapat diberhentikan karena sesuatu
keputusan Badan Musyawarah Desapraja.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Tim
Penyusun, MGMP. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Dan Dunia untuk Kelas XII SMA
Program IPS. Malili : Raodah Foto Copy.
Ø http
;//www.wikipedia.org/sejarah indonesia// ( di akses pada 10-11-2013 pukul
13.00)
Ø http://indahsarigk.blogspot.com/2012/12/makalah-kerajaan-majapahit.html
(di akses pada 10-11-2013 pukul 13.27)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar