Senin, 19 Mei 2014

POLA KEPEMIMPINAN ZAMAN TRADISIONAL DAN ZAMAN ORDE LAMA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Kepemimpinan pemerintahan merupakan suatu kemam­puan pemerintah (government) untuk melakukan komunikasi, interaksi dan pengaruh terhadap masyarakat terutama dalam penyediaan produk jasa dalam layanan publik (public service) dan layanan sipil (civil service). Ndraha (2003:226) menegas­kan bahwa konsep kepemimpinan pemerintahan terdiri dari dua (sub) konsep yang hubungannya satu dengan yang lain, tegang, yaitu konsep kepemimpinan bersistem sosial dan konsep kepemimpinan pemerintahan yang bersifat formal.
Konsep kepemimpinan pemerintahan tidak saja bersistern nilai formal yang terikat oleh tataran hukum bersifat formal namun kepemimpinan juga bersandar pada sistem nilai sosial menunjukkan bahwa kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mempengaruhi orang lain tidak terlepas dari sistem nilai budaya yang dimiliki termasuk kepercayaan dan adat-istiadat. Sedangkan konsep kepemimpinan pemerintahan yang mengan­dung sistem nilai formal adalah bersumber pada kewenangan rasional yang dihadapkan pada berbagai tugas dan kewajiban serta tuntutan situasi dan perubahan yang cepat dan dituntut untuk berperan sesuai dengan status yang melekat untuk mencapai suatu tujuan melalui atau menggunakan ke­kuasaannya.
Dua konsep yang lahir dari sumber yang sama yaitu kepentingan, kekuasaan dan kewibawaan yang diterapkan dalam mengendalikan proses kegiatan kepemimpinan yang melahirkan corak dan gaya kepemimpinan pemerintahan yang cenderung otokratis maupun demokratis yang ditampilkan seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan corak tersebut lazim disebut gaya.
Gaya kepemimpinan pemerintahan yang otokratis banyak dilakukan oleh birokrat yang berlatar belakang militer, dulu dengan nama Dwi Fungsi ABRI atau kekaryaan yang memiliki jiwa dan dedikasi kuat sehingga menampilkan sosok yang keras atau disiplin yang tinggi.  Mengenai pola kepemimpinan inilah yang akan di bahas pada makalah ini yakni kepemimpinan tradisional dan orde baru.


1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Jelaskan Apa saja tipe-tipe kepemimpinan yang ada?
2.      Bagaimana pola kepemimpinan pada zaman Majapahit?
3.      Bagaimana pola kepemimpinan pada zaman Mataram Islam?
4.      Bagaimana pola kepemimpinan pada zaman Belanda dan Jepang?
5.      Bagaimana pola kepemimpinan pada masa Orde Lama?

1.3  TUJUAN
1.      Memaparkan tipe-tipe kepemimpinan
2.      Menjelaskan pola kepemimpinan pada zaman Majapahit
3.      Menjelaskan pola kepemimpinan pada zaman Mataram Islam
4.      Menjelaskn pola kepemimpinan pada zaman Belanda dan Jepang
5.      Memaparkan pola kepemimpinan pada masa Orde Lama


















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tipe-tipe Kepemimpinan

Kepemimpinan tidak terlepas dari tipe kepemimpinan. Secara umum tipe kepemimpinan dikemukakan oleh O'leary, (2001:18-22) sebagai berikut:
1)      Kepemimpinan Diktator, ciri­-cirinya antara lain tidak diperkenankan bertanya, pengetahuan adalah kekuatan dan tidak boleh ada kesalahan.
2)      Kepemimpinan Demokratis, cirinya antara lain partisipasi, mendorong perdebatan, dan kebebasan memveto.
3)      Kepemimpinan tipe Kemitraan, ciri-cirinya antara lain kesejajaran, visi kelompok, dan berbagi tanggungjawab, dan
4)      Kepemimpinan Transformasional ciri-cirinya antara lain: kharisma, keyakinan, rasa hormat dan pengabdian, pujian terbuka, dan inspirasi. Sedangkan Siagian menjelas­ kan tipe-tipe kepemimpinan yang sudah populer yaitu kepemimpinan otokratik, paternalistik, kharismatik, laissez faire, dan demokratik.
Sedangkan Siagian (1999:31-33) menjelaskan karak­teristik kepemimpinan antara lain: pemimpin yang otokratik adalah seorang pemimpin yang sangat egois sehingga kadang memutarbalikkan fakta yang sebenarnya sehingga sesuai dengan apa yang secara subyektif diinterpretasikan sebagai kenyataan. Pemimpin yang paternalistik adalah pemimpin yang banyak terdapat dalam lingkungan yang masih bersifat tradisional, umumnya pada masyarakat agraris. Popularitasnya pemimpin paternalistik ditentukan oleh kuatnya ikatan primordial, extended farrdliy system, kehidupan masyarakat yang komunalistik, peranan adat-istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat, dan masih dimungkinkan hubungan pribadi yang intim antara seorang anggota masya­rakat dengan anggota masyarakat lainnya.
Pemimpin yang kharismatik adalah pemimpin yang banyak diikuti meskipun para pengikut itu belum tentu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tertentu itu dikagumi. Sedangkan pemimpin laissez faire dalam menyeleng­garakan kepemimpinannya bertolak pada filsafat hidup bahwa manusia pada dasarnya memiliki rasa solidaritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan kepada organisasi. Sementara itu, tipe pemimpin demokratik adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas hanya pada kebutuhan yang bersifat kebendaan. Nilai-nilai tersebut berarti bahwa seorang pemimpin yang demokratik memperlakukan organisasi sebagai wahana untuk mencapai tujuan manusia yang secara bersama hidup dalam naungan organisasi dengan arahan dan petunjuk seorang pemimpin.
Sejalan dengan itu, pandangan tipe kepemimpinan di­kemukakan Kartono (2003:29-30) bahwa pimpinan itu mem­punyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian sendiri yang unik dan khas, sehingga tingkah laku dan gayanyalah yang membedakan dirinya dari orang lain. Tipe tersebut dapat dibedakan ke dalam delapan kelompok antara lain, tipe deserter (pembelot), tipe birokrat, tipe misionaris, tipe pembangun, tipe otokrat, tipe otokrat yang baik, tipe kom­promis dan tipe eksekutif. Berbagai tipe kepribadian seorang pemimpin pada hakekatnya merupakan upaya untuk mem­pengarahi orang lain, mengingat setiap orang memiliki variasi karakternya yang berbeda dan perbedaan tersebut dapat tersalurkan melalui tipe-tipe kepemimpinan yang ditampilkan seorang pemimpin dalam lingkungan fisik, sosial dan budaya setempat dan tampilan atau performance tersebut sebagai upaya mempengaruhi orang lain atau pengikutnya.

2.2 Pola Kepemimpinan Pada Zaman Majapahit

Kepala pedukuhan atau desa Majapahit yaitu Sang Ramawijaya (1293). Beliau merupakan sosok pimpinan yang mampu memberikan semangat kepada masyarakat pendatang terutama dari Sumenep, Tumapel dan Daha serta daerah-­daerah di sekitar desa Majapahit. Kondisi tersebut terus ber­kembang sejalan dengan meningkatnya aktivitas Desa Maja­pahit di satu sisi dan berubahnya Majapahit menjadi berbagai pusat kegiatan pemerintahan yang baru. Lahirnya Majapahit merupakan basil dari tiga konspirasi politik yaitu pertama, konspirasi antara Raden Wijaya dengan Pangeran Aria Wiraraja dari Sumenep, kedua, konspirasi Raden Wijaya dengan tentara Mongol yang dikirim oleh Kubilai Khan dari Mongolia dan ketiga, konspirasi dengan salabat dan masyarakat simpatisan Raja Kertanegara, ayahanda Raden Wijaya. Konspirasi­konspirasi itu melahirkan pilar-pilar kekuatan untuk mem­percepat lahirnya Majapahit. Pilar-pilar tersebut menurut Suwarno (1989:18) menjadi integrasi Majapahit yang diikat oleh kekuatan religio-magis, tali kekeluargaan, kekuatan militer dan upeti atau pajak.
Kekuatan Teiigio-magis dipersonifikasikan melalui jati diri sebutan dan gelar raja sang Ramawijaya yang mengambil nama Abiseka Kertarajasa Jaya Wardana. Nama tersebut terdiri dari io suku kata yang dapat dipecah menjadi empat kata yakni: Kerta, Rajasa, Jaya, Wardana. Unsur Kerta mengandung arti bahwa raja memperbaiki pulau Jawa dari kekacauan yang diciptakan oleh penjahat-penjahat yang menyengsarakan rakyat. Rajasa mengandung arti mengubah suasana gelap menjadi terang. Oleh karena itu raja dianggap sebagai matahari yang menyinari bumi. Jaya mengandung arti bahwa raja mempunyai kekuatan dan kedigdayaan dengan lambang senjata tombak berujung mata tiga (trisula) karena senjata itu segenap musuh hancur lebur. Sedangkan wardana berarti raja menghidupkan segala agama, melipatgandakan hasil bumi terutama pada untuk kesejahteraan rakyat (Megandaru, 2006:142).
Raja mempunyai kekuasaan yang menyeluruh dan mutlak terhadap para kawulanya. Kawula harus tunduk pada gustinya termasuk pada Patih, Demung, Kanuruhan, Rangga, Tumeng­gung dan keluarga serta kerabat kerajaan lainnya yang bertindak atas nama raja maupun status yang melekat karena geneologis, bawaan, keturunan maupun karena perekonomian.
Struktur pemerintahan Majapahit pada masa Hayam Wuruk telah mencerminkan keteraturan dan pembagian tugas yang jelas, struktur pemerintahan mencerminkan adanya kekuatan yang bersifat teritorial dan disentralisasikan dengan birokrasi yang terperinci. Hal ini karena adanya pengaruh kepercayaan yang bersifat kosmogenis. Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa memegang otoritas politik tentinggi dan menduduki puncak hirarki kerajaan.
Pembagian tugas yang jelas bagi pejabat kerajaan memungkinkan kontrol dari raja cukup efektif terutama dalam menentukan siapa dan duduk sebagai apa. Suwarno (1989:17) menegaskan bahwa pembagian tugas para pejabat beserta persyaratan dan tingkah lakunya sudah ditentukan secara tertulis dalam Nawannatya yang memuat tentang Raja Kapa­kapa untuk pejabat pusat, dan Rajapatigundala untuk pejabat­pejabat daerah beserta aturan-aturan lain tentang pertanahan. Kejelasan akan tugas dan fungsi dalam mengendalikan organi­sasi pemerintahan kerajaan sebagaimana diungkap Suganda (i995:35) tercermin sebagai berikut:
1) Eksekutif;
a)      Raja, prabu atau ratu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan
b)      Patih amangkubumi yang memimpin dan meng­koordinasikan semua pembesar kerajaan
c)      Rakrian yang terdiri atas;
-          Mantri Katrini yaitu Mantri Hino, Mantri Hulu dan Mantri Sirikan,
-          Pasungguhan yang dapat dianggap sebagai Hulubalang (panglima) yang terdiri atas dua jabatan yaitu Pranajaya dan Nayapati,
-          Sang Pancawilwatikta yaitu para Patih wilayah taklukan, Juru Pengalasan yaitu para pembesar wilayah, Demung, Kanuruhan dan para Tumenggung.
d)      Arya, golongan ini kedudukannya lebih rendah dari Rakrian terdiri atas 8 jabatan, yakni: Sang Arya Pati­ pati, Sang Arya Wangsa pranata, Sang Arya JayaPati, Sang Arya Rajaparakrama, Sang Arya Suradirjha, Sang Arta Rajadhirja, Sang Arya Dewaraja, dan Sang Arya Dhiraraja.
2) Penasehat;
Penasehat terdiri atas keluarga dekat raja, ber­anggotakan tujuh orang karena itu disebut dengan Sapta Prabu (sekarang sama dengan Dewan Per,timbangan Agung). Biasanya yang menjadi penasehat adalah Permaisuri, Putera Mahkota, Mertua Raha dan kedua orang tua raja. Keputusan raja yang menyangkut masalah penting biasanya dimusyawarahkan dengan memperhati­kan nasehat Sapta Prabu ini.
3) Yudikatif;
Yudikatif disebut juga golongan Dang Acarya, yang dikenakan kepada para pendeta Syiwa dan Budha, yang diangkat sebagai Dharmadhyaksa yaitu hakim biasa. Seorang halam untuk mereka yang beragama Syiwa dan seorang lagi untuk yang beragama Hindu.
Pada tataran Rakriyan terutama Sang Pancawilwatikta (patih wilayah taklukan), Juru Pengalasan termasuk Demung, Kanuruhan, Rangga dan para Tumenggung memiliki akses yang kuat terhadap desa. Megandaru, (2oo6a87) mengemuka­kan bahwa pembesar-pembesar tersebut banyak dikunjungi oleh pembesar-pembesar negara bawahan atau daerah. Hubungan dan tata aturan kinerja pusat kerajaan dengan pemerintah termasuk Akuwu dan Buyut desa termuat dalam peraturan perundang-undangan yang disebarluaskan kepada rakyat lewat pejabat-pejabat pusat dan daerah. Mereka yang terdiri dari Mantra, Tanda, Gusti, Mantra Akuwu, Juru Buyut, Ksatria dan Wiku Haji yang dilaksanakan setiap bulan Caitra (Maret-April), mereka dikumpulkan dalam perayaan kerajaan tahunan dan mendengarkan bacaan ajaran Raja Kapa-kapa dan Rajapatigundala yang mengatur kehidupan semua pejabat dan semua orang baik di pusat maupun di daerah, termasuk hubungannya dengan tanah, yang sangat penting untuk sumber penghidupan orang seluruh Negara

2.3 Pola Kepemimpinan Pada Zaman Mataram Islam

Pemerintahan kerajaan Mataram sebagai negara agraris Mataram memainkan peranan penting dalam mengendalikan padi. Untuk itu sejalan dengan politik ekspedisi dan ekspansi Mataram terus melakukan langkah strategis yaitu optimalisasi hasil-hasil pajak melalui para bekel dan kerajaan melakukan kegiatan berkesinambungan yaitu monopoli perdagangan beras. Keduanya secara prinsip dilakukan untuk mengisi kas dan berputarnya roda pemerintahan.
Bekel di zaman Mataram Islam merupakan sebutan untuk kepala desa. Proses pemilihan bekel ditunjuk, diangkat dan ditetapkan oleh raja (Sutardjo, 1984:45). Kepala desa yang dipilih atas dasar keturunan atau karena hubungan darah dengan pihak keraton merupakan bentuk intervensi kerajaan terhadap desa. Hal tersebut menunjukkan bahwa desa sudah mulai disentuh menurut selera dan kemauan pemerintah kerajaan. Tugas dan fungsi bekel yaitu menjaga keamanan, ketentraman dan ketenangan warga desa. Fungsi utama bekel adalah mengakses pajak untuk kepentingan pemerintah kerajaan. Bekel menjadi alat dan sarana utama dalam melaksanakan kekuasaan raja dan untuk mempertahankan dan melindungi keutuhan raja. Raja tidak segan-segan untuk memecahkan atau memisahkan desa menjadi beberapa desa dengan konsekuensi politis bahwa desa tidak boleh lebih besar dan hebat dari kerajaan. Muara kesemua itu yaitu kemantapan dan kestabilan kedudukan raja.
Soemarsaid (1985:5) mengemukakan bahwa: Negara adalah lembaga, tempat raja memiliki dan mempertahankan kekuasaannya atas semua orang dan barang. Karena itu tidak heran jika negara dianggap sebagai citra tata alam raya, tempat para dewa mempunyai kekuasaan mutlak. Kemiripan skematis antara alam semeseta dengan negara dianggap sebagai kesamaan dan ini mempuryai tujuan ganda, pertama, bila keduanya identik maka yang satu dapat menjamin keselamatan yang lain dan kedua, secara politis paling penting kesamaan itu berfungsi untuk memantapkan kekuasaan raja atas kawulanya.
Bekel sebagai kepanjangan raja diarahkan untuk dapat mandiri. Soemarsaid (iq85ao6) mengemukakan bahwa negara juga menganut kebijaksanaan memperbolehkan desa sedikit banyaknya berswasembada, khususnya dalam bidang ke­amanan. Kebijaksanaan tersebut dilaksanakan dengan mem­bentuk tanggung jawab kolektif untuk beberapa kejahatan dan tindakan-tindakan ilegal lainnya. Swasembada merupakan prinsip pokok dalam pembiayaan negara. Sistem keuangan kerajaan Mataram Islam dapat disebut pembiayaan gaji karena dari imbalan yang diteriananya dalam bentuk lungguh seorang pegawai diharapkan membayar semua biaya yang meliputi pelaksanaan tugas dan kewajibannya.
Titik pusat kebijakan kerajaan yang sudah dianggap mapan yaitu swasembada pangan yang dapat mensuplai warga desa baik barang maupun uang untuk kas kerajaan, stabilitas keamanan dan kesinambungan yang perlu dibentuk keamanan kolektif inter dan antar desa termasuk keterlibatan Wedana Lebet yang bergelar Tumen9gun9 menjadi urgen dalam menjaga ketentraman desa.
Tugas utama Tumenggung yaitu mengkoordinasikan dan sebagai komando beberapa desa yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya terutama dalam bidang keamanan, keter­tiban dan menjaga aset-aset desa termasuk pendapatan pajak desa. Sartono, Marwati dan Nugroho (1975:4) mengemukakan bahwa para Wedana Lebet biasanya memakai gelar Tumenggung atau Pangeran bila pejabat itu masaih keturunan raja. Masing-masing Wedana Lebet dibantu oleh seorang Kliwon atau sering disebut juga dengan Papatih atau Lurah Carik yang biasanya memakai gelar Ngabehi, kemudian seorang Kebayan yang memakai gelar Nagabehi, Rangga atau Raden dan 40 orang Mnniri Jajar.
Struktur Bekel ke atas yaitu Bekel atau kepala desa - Wedana Lebet atau Tumenggung - Patih - Raja. Pada posisi Tumenggung mulai melebar untuk membantu mengkoor­dinasikan desa. Untuk itu dibantu beberapa pejabat yaitu seorang Kliwon yang bergelar Ngubehi, seorang Kebayan yang memakai gelar Rangga atau Raden dan 40 Mantri Jajar yang melaksanakan kegiatan membantu Tumenggung dalam bidang irigasi, fasilitas umum, hail pertanian dan sebagainya. Sarfiono, Marwati dan Nugroho (1975:8) mengemukakan bahwa sebagai­mana halnya pejabat-pejabat kepala daerah yang mempunyai staf pegawai yang mengurusi urusan tertentu, Tumenggung juga dibantu oleh bawahan.
Perangkat lain dari Wedana Lebet atau Tumenggung adalah Penghulu yaitu seorang yang memiliki tugas dan fungsi menikahkan dan mengesahkan perkawinan, Khatib yang bertugas mengembangkan syiar Islam dengan cara memberi tanda waktu shalat yaitu mengumandangkan adzan dan iqomat dan melaksanakan shalat lima waktu ataupun shalat Jumat. Modin mempunyai tugas memberi tanda waktu sholat melalui media beduk maupun kentongan. Sedangkan Naib atau Suranata mempunyai tugas mencatat kelahiran, mengurus kematian warga dan membantu perkawinan warga desa. Arti penting keagamaan pada masa kerajaan Mataram Islam juga tercermin dalam adanya jawatan pemerintahan yaitu lembaga kepenghuluan yang bertanggungjawab atas urusan-urusan agama termasuk melaksanakan keadilan dalam pertikaian­ pertikaian dalam yurisdiksi hukum Islam.
Tundan desa ialah suatu sistem komunikasi antara pusat kerajaan dengan daerah yang dilakukan dengan mengirim berita melalui utusan yang disampaikan dari satu desa ke desa lain hingga berita tersebut akhirnya sampai kepada yang dituju. Sistem tundan (tundan = menaruh, menyimpan) ialah utusan dari satu desa hanya menyampaikan berita itu ke desa lain yang dituju dan selanjutnya arnanat itu, akan dilanjutkannya, akan diteruskan oleh petugas desa yang baru didatangi terus ke tempat yang dituju.

2.4 Pola Kepemimpinan Pada Zaman Belanda dan Jepang

Pemimpin Desa Zaman Belanda
Karesidenan dibagi-bagi menjadi beberapa Afdeling yang dipimpin oleh kepala pemerintahan yang bergelar Asisten Residen atau Assistant Resident, bersamaan dengan itu pula dengan wilayah yang sama terdapat daerah pemerintahan pamong praja yang disebut Kabupaten atau Regenschap yang dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yang bergelar Bupati atau Regent. Tiap-tiap Kabupaten dibagi menjadi beberapa Kewedanan atau District yang dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yang bergelar Wedana. Tiap-tiap Kewedanan dibagi-bagi menjadi Kecamatan atau Onder District yang masing-masing dikepalai oleh Camat atau Asisten Wedana. Kecamatan meliputi beberapa Desa yang dikepalai oleh kepala desa.
Garis komando vertikal-horizontal bersifat hierarki yaitu tingkat provinsi atau Gewest yang dipimpin oleh Gouvernour - Resident -.Elfdeling - Regenschap - District - Onder District - Desa. Sedangkan dal-am aspek legislatif berdasarkan Desentra­lisatie Besluit bahwa kepala dari pemerintahan suatu Gewest adalah ketua dari Gewestelke Raad (Dewan Gewest). Tugas dan wewenang Gewest antara lain merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang pengaturan pajak untuk kepentingan daerah dan metancang peraturan yang mengaiur kepentingan umum termasuk memberi pedoman ' bagi eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan.






Pemimpin Desa Zaman Jepang
Kepala desa memiliki fungsi menjadi mediator antara kepentingan pemerintah dengan harapan dan kepentingan masyarakat. Kepentingan pemerintah Jepang yaitu mengalirnya informasi tentang Jepang sebagai saudara tua Asia dan seterusnya. Di samping itu, optimalisasi pendapatan ekonomi desa untuk kepentingan pemerintah Jepang dan berbagai jargon jargon lainnya untuk memperkuat siasat pemerintah militer Jepang. Mengalirnya informasi dari pemerintahan militer Jepang ke desa melalui Bupati - Wedana maupun distrik menunjukkan posisi strategis dan otoritas yang tinggi bagi kepala desa dalam mengendalikan kehidupan masyarakat.
Kepala desa atau bekel beserta perangkat desa lainnya sebagai bagian integral dari pemerintah militer Jepang di­rangsang dengan berbagai prestasi termasuk melalui berbagai pendekatan budaya yang muaranya memperpoleh pajak yang optimal. Soetardjo (1984:56) menjelaskan bahwa pada masa penjajahan Jepang, untuk mencukupi kebutuhan perang maka otonomi desa dan kedudukan hukum desa dipergunakan lebih hebat dari biasa. Untuk banyak keperluan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah Syuu (Karesidenan) diperguna­kan instituut gugur gunung. Demikian juga kekuasaan kepala desa diperas dan ditekan sehingga menjadikan merosotnya kedudukan kepala desa di mata rakyat. Sejalan dengan itu, jumlah rakyat Indonesia selama pendudukan Jepang yang harus bekerja keras sebagai Romusha atau serdadu pekerja tidak diketahui seluruhnya. Dalam tahun i951, taksiran resmi pemerintah Indonesia sebanyak empat ratus ribu orang. Jumlah tersebut diambil dari para pemuda dan tenaga potensial baik dari kota dan desa melalu biro tenaga keija maupun melalui bekel atau kepala desa.

2.5 Pola Kepemimpinan Pada Masa Orde Lama

Proses seleksi atau pemilihan, kedudukan, kewenangan, kewajiban dan hak Kepala Desapraja termasuk lowongan dan situasi yang membuat kepala desa tidak dapat menjalankan tugas pemerintahannya, kesemua itu diatur secara rinci, tegas dan komprehensif sehingga tidak ada peluang bagi longgarnya tata aturan tentang Desapraja. Pemilihan Kepala Desapraja dilaksanakan langsung oleh penduduk desa dengan berpaduan pada peraturan pemilihan, pengangkatan dan pengesehan serta pemberhentian Kepala Desapraja yang ditentukan oleh pemerintah daerah tingkat I atau Provinsi, ketentuan tersebut tetap dengan memperhatikan adat kebiasaan setempat ter­masuk persyaratan untuk dipilih dan diangkat menjadi Kepala Desapraja.
Kedudukan kepala desa praja di samping sebagai alat dan perangkat desa yang diangkat dengan keputusan Gubernur juga sebagai mitra bekerja Badan Musyawarah Desapraja. Mitra kerja tersebut ditandai dengan pola hubungan dan kinerja bahwa Kepala Desapraja tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan Badan Musyawarah Desapraja. Pemahaman lebih lanjut bahwa kinerja Kepala Desapraja sekalipun tidak mampu maupun berhalangan dalam melaksanakan kewajiban­nya ia dlwakili oleh seorang pamong Desapraja sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
Alat-alat kelengkapan Desapraja tidak saja Kepala Desapraja tetapi Pamong Desapraja, Panitera Desapraja, Petugas Desapraja, Badan Pertimbangan Desapraja dan Badan Musyawarah Desa-praja. Kesemua itu, pamong Desapraja yang substansinya membantu jalannya roda pemerintahan desa. Di samping itu, Kepala Desapraja yang mengepalai sesuatu dukuh yang juga penduduk dukuh tersebut dalam lingkungan daerah Desapraja. Dukuh dalam pemahaman ini adalah bagian dari Desapraja yang merupakan kelompok perumahan tempat tinggal sejumlah yang biasanya disebut dusun, dukuh, kampung, blok dan sebagainya.
Jumlah pamong Desapraja sebagai salah satu alat pelengkap pemerintah desa disesuaikan dengan jumlah kampung, dukuh, blok ataupun dusun yang ada di dalam Desapraja. Sedangkan syarat-syarat dan ketentuan tentang larangan rangkap jabatan sebagaimana diterapkan pada kepala Desapraja diberlakukan juga pada pamong Desapraja termasuk hak yang diperoleh dalam bentuk penghasilan tetap yang bersumber dari hak milik Desapraja dalam bentuk tanah bengkok dan dana stimulan dari pemerintah pusat yang besarnya diatur berdasarkan I'edoman Menteri Dal-am Negeri dan ditetapkan dengan Keputusan Badan Musyawarah Desapraja.
Kedudukan pamong Desapraja dalam hirarki peme­rintahan pamong Desapraja diangkat dengan Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II, tentang Tata Cara Pemilihan, Pengangkatan dan Pemecatan berdasarkan aturan dari pro­vinsi. Pelaksanaan pelantikan yang disertai dengan pengucapan sumpah sesuai dengan agamanya dalam sidang Badan Musyawarah Desapraja.
Alat kelengkapan Desapraja lainnya yaitu Panitera Desa­praja, petugas dan pegawai Desapraja. Kedudukan Panitera Desapraja adalah pegawai Desapraja yang memimpin penye­lenggaraan Tata Usaha Desapraja dan sebagai Tata Usaha di bawah koordinasi dan tanggungjawab Kepala Desapraja.
Panitera Desapraja diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desapraja dengan persetujuan Badan Musyawarah Desapraja. Untuk itu Kepala Desapraja bisa menunjuk satu orang atau beberapa orang untuk menjadi Asisten Panitera Desapraja. Penghasilan Panitera dan pegawai Desapraja ditetapkan oleh Kepala Desapraja berdasarkan peraturan yang diputuskan oleh Badan Musyawarah Desapraja dengan berpedoman pada Keputusan Menteri Dalam Negeri dan dianasukkan dalam anggaran keuangan Desapraja. Panitera maupun asisten panitera merupakan alat kelengkapan desa diangkat atau diberhentikan oleh Kepala Desapraja dengan persetujuan Badan Musyawarah Desapraja. Proses pemberhen­tiannya dilakukan atas dasar permintaan sendiri, berakhirnya masa jabatan, tidak lagi memenuhi syarat dan melanggar larangan rangkap jabatan yang sudah digariskan dalam ketentuan.

Kelebihan dan kekurangan demokrasi orde lama
kelebihan :
1.      Prinsip berdikari(berdiri di atas kaki sendiri,no leverage)
2.      khrismatik Bung Karno yang luar biasa
3.      Disegani oleh negara lain
4.      Moral bangsa dan nasionalisme masih terjaga
5.      Indonesia berhasil merebut kemerdekaa
6.      Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan Indonesia
7.      Indonesia berhasil merebut kembali Irian Barat
8.      Dilakukannya Pemilihan Umum untuk yang pertama kalinya.
kekurangan :
1.      Pembangunan lambat
2.      Otoriter
3.      Masyarakat cukup sengsara
4.      Perekonomian anjlok,hiper-inflasi hingga 600%
5.      Banyaknya terjadi pemberontakan
6.      Seringnya terjadi pergantian kabinet
7.      Terjadinya krisis ekonomi
8.      Munculnya gerakan 30s pki yang sangat merugikan bangsa indonesia
9.      Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perbandingan pola kepemimpinan tradisional dan Orde Lama terlihat dari gaya kepemimpinannya dimana pada kepemimpinan tradisional yang memegang kekuasaan adalah para raja dimana raja berdasarkan garis keturunan dengan gelar yang diberikan seperti halnya pada kerajaan Majapahit sebutan dan gelar raja sang Ramawijaya yang mengambil nama Abiseka Kertarajasa Jaya Wardana. Nama tersebut terdiri dari io suku kata yang dapat dipecah menjadi empat kata yakni: Kerta, Rajasa, Jaya, Wardana. Unsur Kerta mengandung arti bahwa raja memperbaiki pulau Jawa dari kekacauan yang diciptakan oleh penjahat-penjahat yang menyengsarakan rakyat. Rajasa mengandung arti mengubah suasana gelap menjadi terang. Dan kepemimpinannya meliputi daerah kekuasaannya.
berbeda dengan pola kepemimpinan pada Orde Lama pemimpin rakyat berdasarkan Pemilihan Kepala Desapraja dilaksanakan langsung oleh penduduk desa dengan berpaduan pada peraturan pemilihan, pengangkatan dan pengesehan serta pemberhentian Kepala Desapraja yang ditentukan oleh pemerintah daerah tingkat I atau Provinsi, ketentuan tersebut tetap dengan memperhatikan adat kebiasaan setempat ter­masuk persyaratan untuk dipilih dan diangkat menjadi Kepala Desapraja.Kedudukan kepala desa praja di samping sebagai alat dan perangkat desa yang diangkat dengan keputusan Gubernur juga sebagai mitra bekerja Badan Musyawarah Desapraja. Mitra kerja tersebut ditandai dengan pola hubungan dan kinerja bahwa Kepala Desapraja tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan Badan Musyawarah Desapraja.



DAFTAR PUSTAKA

Ø  Tim Penyusun, MGMP. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Dan Dunia untuk Kelas XII SMA Program IPS. Malili : Raodah Foto Copy.
Ø  http ;//www.wikipedia.org/sejarah indonesia// ( di akses pada 10-11-2013 pukul 13.00)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar