Senin, 12 Mei 2014

Sejarah Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pendidikan sebagai sarana sosialisasi merupakan kegiatan manusia yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian usia pendidikan hampir dipastikan sama tuanya dengan manusia itu sendiri. Perjalanan sepanjang perkembangan pendidikan di Indonesia dapat ditelusuri sejak zaman Hindu dan Budha pada abad ke-5 masehi. Dari perkembangan sejak zaman itu telah diperoleh gambaran bahwa pendidikan telah berlangsung sesuai dengan tuntutan zaman yang berbeda-beda dengan penyesuaian pada ideologi, tujuan serta sistem pelaksanaannya. Pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan hindu dan budha, pendidikan dipengaruhi ajaran agama tersebut. Demikian pula pada masa awal islam masuk di nusantara, pendidikan dan pengajaran pun mengalami penyesuaian dengan kerangka penyebaran agama islam. Ketika zaman Hindu dan Budha, perkembangan pendidikan disesuaikan dengan pusat pertumbuhan masyarakat Hindu dan Budha yang berkembang bersama kerajaan besar yang ada di Jawa dan Sumatera. Kemudian kedua agama yaitu hindu-budha tersebut berkembang ke berbagai negara di Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk ke Indonesia yang akhirnya mempengaruhi kebudayaan Indonesia begitu juga dengan pendidikan yang diajarkan agama Hindu-Budha.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana proses masuknya Sejarah Hindu Budha di Indonesia?
2. Bagaimana Perkembangan Pendidikan pada Zaman Hindu dan Budha?
3. Seperti apa Pendidikan Zaman Hindu Budha?
4. Bagaimana Pendidikan dan Pengajaran di Kerajaan Hindu Buddha?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah masuknya Hindu Budha di Indonesia
Pembahasan sejarah Hindu-Budha di Indonesia akrab diawali dari kemunculan beberapa kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: Kerajaan Hindu di Kutei (Kalimantan) dengan rajanya Mulawarman, putra Aswawarman atau cucu Kundung(ga). Di Jawa Barat muncul Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman. Pada masa itu, eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria – Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian pula dalam epik Ramayana eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa. Ptolomeus juga sempat menyebut tentang Barousai (merujuk pada pantai barat Sumatera Utara; Sriwijaya). Fa-Hien (pengembara asal China) dalam perjalanannya dari India singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang menurutnya telah banyak para brahmana (Hindu) tinggal di sana. Maka tidak berlebihan jika Lee Kam Hing kemudian menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia sejak periode permulaan. Pada masa itu, pendidikan lekat terkait dengan agama.
Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dalam perkembangannya, kebudayaan Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan Hindu terakhir runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya tetap berkembang khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum.
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa: (1) Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi, (2) Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain, (3) Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu, (4) Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-masing.
2.2 Perkembangan Pendidikan pada Zaman Hindu dan Budha  
Menurut teori Van Leur, yang oleh banyak ahli dapat diterima, ditegaskan bahwa pada abad-abad permulaan terjadilah hubungan perdagangan antara orang-orang Hindu dengan orang-orang Indonesia. Faktor-faktor yang memungkinkan berkembangnya Peradaban Hindu Budha diantaranya sebagai berikut :
1.      Faktor Politik
Terjadi peperangan antara kerajaan India bagian Utara dengan kerajaan India bagian Selatan. Bangsa Aria dari Utara mendesak kerajaan dan penduduk Selatan, sehingga penduduk di Selatan lari mencari tempat-tempat baru, dan ada sampai ke Indonesia. Oleh karena itu peradaban yang masuk ke Indonesia Nusantara dipengaruhi oleh bangsa India dari bagian Selatan.

2.      Faktor Ekonomis atau Geografis
Indonesia terletak antara India dan dataran Tiongkok, dimana pada waktu itu telah terjadi perdagangan antar India dan Tiongkok melalui jalur laut. Akibatnya banyak orang India dan Tiongkok bergaul dengan bangsa Indonesia, dari mulai perdagangan atau perniagaan sampai terjadi koloni yang berdatangan dari India dan Tiongkok.
3.      Faktor Kultural
Tingkat peradaban bangsa India lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk asli di Nusantara. Mereka sudah mengenal sistem pemerintahan yang teratur dalam bentuk kerajaan, mereka juga telah mengenal tulisan dan karya sastra yang tinggi. Fakta sejarah membuktikan dengan ditemukannya prasasti batu bertulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta yang menjelaskan tentang adanya kerajaan tertua. Di Kalimantan yaitu di Kutai abad ke-5 Masehi dan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Perkembangan pendidikan pada zaman ini, sudah mulai menampakkan suatu gerakan pendidikan dengan misi penyebaran ajaran agama dan cara hidup yang lebih universal (keseluruhan) dibandingkan dengan pendidikan sebelumnya. Pendidikan masa Hindu-Budha di Indonesia dimulai sejak pengaruh Hindu-Budha datang ke Indonesia. Perkembangan agama Hindu Budha di Indonesia membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Sebenarnya masyarakat indonesia telah memiliki kemampuan dasar yang patut dibanggakan sebelum masuknya Hindu dan Budha. Setelah Hindu dan Budha berkembang di Indonesia kemampuan masyarakat Indonesia makin berkembang karena berakulturasi dan berinteraksi dengan tradisi Hindu dan Budha.
Di daerah Kalimantan (Kutai) dan Jawa Barat (Tarumanegara) ditemukan prasasti adanya kebudayaan dan peradaban Hindu tertua pada abad ke-5. Para cendekiawan, ulama-biarawan, musafir dan peziarah Budha dalam perjalanannya ke India, singgah di Indonesia untuk mengadakan studi pendahuluan dan persiapan lainnya.  Negara India merupakan tanah suci dan merupakan sumber inspirasi spiritual, ilmu pengetahuan dan kesenian bagi pemeluk agama Budha. Agama Hindu di India terbagi dua golongan besar yaitu Brahmanisme dan Syiwaisme. Hinduisme yang datang ke Indonesia adalah Syiwaisme, yang pertama kali dibawa oleh seorang Brahmana yang bernama Agastya. Syiwaisme berpandangan bahwa :
S  Syiwa adalah dewa yang paling berkuasa.
S  Syiwa adalah penncipta dan perusak alam, segala sesuatu bersumber pada Syiwa dan kembali kepada Syiwa.
S  Manusia hidup dalam rangkaian reinkarnasi dan merupakan suatu samsara (penderitaan), yang ditentukan oleh perbuatan manusia sebelumnya, jadi berlaku hukum “karma”.
S  Tujuan hidup manusia ialah mencapai “moksa”, suatu keadaan dimana manusia terlepas dari samsara, manusia hidup dalam keabadian yang menyatu dengan Syiwa.
Agama Budha merupakan agama yang disebarkan oleh Sidharta Gautama di India yang kemudian terpecah menjadi dua aliran yaitu Mahayana dan Hinayana. Yang berkembang di Indonesia ialah bangsa Hinayana. Agama ini berkembang pada masa kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan pada zaman Wangsa Syailendra di Pulau Jawa.
Menurut ajaran agama Budha manusia hidup dalam penderitaan karena nafsu duniawi. Manusia dalam hidup ini berusaha untuk mengusir penderitaan, mencari kebahagiaan yang abadi yaitu untuk mencapai nirwana. Adapaun langkah-langkah untuk mencapai nirwana, manusia harus berperilaku benar diantaranya sebagai berikut :
S  Berpandanagan yang benar.
S  Mengambil keputusan yang benar.
S  Berkata yang benar.
S  Berkehidupan yang benar.
S  Berdayaupaya yang benar.
S  Melakukan meditasi yang benar.
S  Konsentrasi kepada hak-hak yang benar.
Meskipun Hinduisme dan Budhisme merupakan agama yang berbeda, namun di Indonesia tampak terdapat kecenderungan sinkretisme yaitu keyakinan untuk mempersatukan figur Syiwa dan Budha sebagai satu sumber dari Ynag Maha Tinggi. Seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi satu jua adalah perwujudan dari keyakinan tersebut. dalam hal ini, Budha dan Syiwa adalah dewa yang dapat diperbedakan (bhinna) tetapi dewa itu (ika) hanya satu (tungal). Kalimat yang tadi adalah salah satu bait dari syair Sutasoma karya Empu Tantular pada zaman Majapahit. Sehingga kebudayaan Hindu telah membaur dengan unsur-unsur Indonesia asli dan memberikan ciri serta coraknya yang khas, sampai jatuhnya kerajaan Hindu terakhir di Indonesia yaitu Majapahit akan masih berkembang  dalam hal pendidikan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang sastra, bahasa, ilmu pemerintahan, tata Negara dan hukum. Kerajaan-kerajaan seperti Kalingga, Mataram, Kediri, Singasari, dan Majapahit akan melahirkan para Empu, Pujangga yang menghasilkan karya-karya seni yang bermutu tinggi. Selain karya seni pahat dan seni bangunan dalam arsitekstur yang bernilai tinggi juga ditemukan beberapa karya ilmiah dalam bidang filsafat, sastra dan bahasa.
2.3 Pendidikan Hindu Budha
Pada umumnya Indonesia menerima agama, pengetahuan dan kebudayaan dari Negara tetangga (India). Dalam hal ini Indonesia memperkaya dan memberi warna dan corak ke-Indonesiaan pada agama, pengetahuan sehingga menjadi spesifik Indonesia. Misalnya agama Budha yang ada di Sumatra dan Jawa pada zaman tersebut belainan sifatnya dengan negeri asalnya India. Seperti agama Budha dan Siwa yang ada di India selalu bermusuhan, tetapi di Indonesia dapat hidup rukun dan damai. Boleh dikatakan sejak dahulu pendidikan di Indonesia berdasarkan agama, tetapi di Indonesia tidak berpandangan “sempit” seperti India. Pada umumnya agama Budha di Indonesia bersifat ariktoraksi, sebagai agama kaum atasan dan kaum ningrat. Rakyat setia pada agama nenek moyang ialah mempunyai berbagai kekuatan alam, yang disebut animisme.
Pada hakikatnya pendidikan itu berarti memberi tuntutan kepada perkembangan manusia sehingga mencapai kedewasaan jasmani dan rohani. Jadi sudah jelas bahwa pada abad ke-5 bangsa kita telah mengenal pendidikan. Pada zaman itu bangsa kita telah mengenal peradaban lahir dan batin.
Syiwaisme yang berkembang di Indonesia berbeda dengan India yanga sangat bertentangan dan hidup bermusuhan dengan Budhisme. Di Indonesia Syiwaisme dan Budhisme hidup dan tumbuh berdampingan, walaupun terjadi penumpasan Wangsa Syailendra yang beragama Budha oleh Wangsa Sanjaya yang beragaman Hindu, namun dimasyarakat biasa tidak nampak pertentangan tersebut, bahkan mungkin dapat dikatakan telah terjadi sinkretisme antara Hinduisme, Budhisme dan kepercayaan animism dan dinamisme, suatu keyakinan untuk menyatukan Syiwa, Budha, dan arwah-arwah nenek moyang sebagai suatu sumber dan amaha tinggi. Pendidikan formal ini diselenggarakan oleh kerajaan-kerajaan Indonesia pada saat itu.
Pendidikan pada zaman Hindu masih terbatas kepada golongan minoritas (kasta Brahmana, Ksatria), belum menjangkau golongan mayoritas kasta Waisya dan Sudra apalagi kasta Paria. Namun perlu diketahui bahwa penggolongan kata di Indonesia tidak begitu ketat seperti halnya dengan di India yang menjadi asalnya agama Hindu. Pendidikan zaman ini lebih tepat dikatakan sebagai “perguruan”dimana para murid berguru kepada para cerdik cendekia. Kemudian lembaga pendidikan dikenal dengan nama pesantren, jadi berbeda sekali dengan sekolah yang kita kenal sekarang ini. 
Sistem perguruan yang dikenal dengan pesantren itu berkembang terus sampai pada pengaruh Budha, zaman Islam sampai sekarang (pesantren tradisional). Pada zaman Budha pendidikan berkembang pada kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang sudah terdapat perguruan tinggi Budha. Dimana para murid-muridnya banyak berasal dari Indocina, Jepang dan Tiongkok. Guru yang terkenal pada saat itu ialah Dharmapala. Perguruan-perguruan Budha tersebut mungkin menyebar keseluruh kekuasaan Sriwijaya. Mungkin saja candi-candi Borobudur, Menndut, dana Kalasan merupakan pusat pendidikan agama Budha.
Kalau kita memperjhatikan peninggalan-peninggalan sejarah seperti candi-candi, patung-patung maka sudah pasti para santri atau murid belajar tentang ilmu membangun dan seni pahat. Karena pembuatan candi memerlukan kemampuan teknik dan seni yang tinggi. Dmeikian juga dengan memahat relief-relief candi dibimbing oleh suatu alur cerita yang menceritakan kehidupan sang Budha atau para dewa, bisa juga cerita tentang Ramayana. Karya hasil sastra yang ditulis para pujangga banyak yang bermutu tinggi antara lain : Pararaton, Negara Kertagama, arjuna Wiwaha, dan Brata Yudha. Para pujangga yang terkenal diantaranya sebagai berikut : Mpu Kawa, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, Mpu Prapanca.
Dalam perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu sperti Singasari, Majapahit dan kerajaan Budha Sriwijaya, tidak terdapat uraian yang jelas mengenai pendidikan. Namun sudah apsti bahwa pada zaman tersebut sudah berkembang pendidikan dengan lembaga-lembaga yang dengan sengaja dibuat secara formal. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut berbentuk perguruan yang lebih dikenal dnegan sebutan pesantren. Pada saat itu mutu pendidikan cukup memuaskan berbagai pihak yang bersangkutan.
A.    Tujuan Pendidikan masa Hindu Budha
Tujuan pendidikan identik dengan tujuan hidup yaitu manusia hidup untuk mencapaimoksa bagi agama Hindu, dan manusia mencapai nirwana bagi agama Budha. Karena itu secara umum tujuan akhir adalah mencapai moksa atau nirwana. Secara khusus mungkin dapat dibedakan sebagai berikut :
1.      Bagi  kaum Brahmana (kasta tertinggi), pendidikan bertujuan untuk menguasai kitab suci ( Weda untuk Hindu dan Tripitaka untuk Budha) sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan yang universal.
2.      Bagi golongan Ksatria sebagai raja yang berkuasa, pendidikan bertujuan untuk memiliki pengetahuan teoritis yang berkaitan tentang pengaturan pemerintahan (kerajaan).
3.      Bagi rakyat biasa, pendidikan bertujuan agar warga masyarakat memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup, sesuai dengan pekerjaan yang secara turun temurun. Misalnya keterampilan bercocok tanam, pelayaran, perdagangan, seni pahat dan sebagainya.

B.     Sifat Pendidikan
Beberapa sifat dan ciri pendidikan yang menonjol pada waktu itu adalah :
1.      Informal, karena pendidikan masih bersatu dengan proses kehidupan.
2.      Berpusat pada religi, karena kehidupan atas dasar kepercayaan dan keagamaan menguasai segala-galanya.
3.      Penghormatan yang tinggi terhadap guru, karena gurunya adalah kaum Brahmana ( kasta tertinggi dalam masyarakat Hindu) dan tidak memperoleh imbalan gaji. Mereka menjadi guru semata-mata karena kewajiban sebagai Pandita atau Brahmana yang didasarkan pada perasaan tulus, mengabdi tanpa pamrih ( tanpa memikirkan imbalan dunia ).
4.      Aristokratis artinya pendidikan hanya diikuti oleh segolongan masyarakat saja yaitu golongan Brahmana, pendeta dan golongan Ksatria dan golongan keturunan raja-raja. Dalam agama kita kenal penggolongan berdasarkan kasta, namun di Indonesia perbedaan tidak begitu tajam dan menonjol. Yang menonjol adalah antara golongan raja-raja dan rakyat jelata.




C.     Jenis-Jenis Pendidikan
Beberapa jenis pendidikan pada zaman Hindu Budha dapat dibedakan menjadi beberapa golongan diantaranya sebagai berikut :
1.      Pendidikan Intelektual
Kegiatan pendidikan ini dikhususkan untuk menguasai kitab-kitab suci. Veda dipelajari oleh kaum Brahmana, dan kitab Tripitaka dipelajari oleh penganut Budha. Pada waktu itu hanya golongan Brahmanalah yang berhak mempelajari kitab suci Veda. Pendidikan intelektual juga berkaitan dengan penguasaan doa dan mantera, yang berkaitan dengan penguasaan alam semesta, pengabdian kepada Syiwa dan Budha Gautama.
2.      Pendidikan Kesatriaan
Kegiatan pendidikan ini dilakukan untuk mendidik kaum bangsawan keluarga istana kerajaan, untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang berkaitan dengan mengatur pemerintahan (kerajaan), mengatur Negara, dan belajar untuk berperang.
3.      Pendidikan Keterampilan
Pendidikan keterampilan dan pendidikan kesatriaan merupakan pendidikan kegiatan yang deprogram secara tertib(dalam arti pendidikan bagi kaum Brahmana dan bangsawan (keluarga raja)) sudah berjalan dengan teratur. Sedangkan pendidikan keterampilan yang diajukan bagi masyarakat jelata berlangsung secara informal yang berlangsung dalam keluarga sesuai dengan keterampilan yang dimiliki orang tuanya. Seorang pemahat akan diwariskan keterampilannya kepada anak-anaknya begitu pula dengan para petani, nelayan dan sebagainya.


D.    Lembaga Pendidikan
Pendidikan pada waktu itu masih bersifat informal, belum ada pendidikan formal dalam bentuk sekolah seperti yang kita kenal sekarang ini. Namun dengan demikian ada beberapa tempat yang biasa dijadikan sebagai lembaga pendidikan.
1.      Padepokan atau Pecatrikan
Merupakan tempat berkumpulnya para catrik, yaitu murid-murid yang belajar kepada guru disuatu tempat, sehingga disebut pecatrikan dan dengan nama lain biasa juga disebut padepokan. Dari kata-kata catrik dan pecatrikan itulah muncul kata santri dan pesantren. Jadi lembaga pesantren sudah dikenal keberadaannya sejak zaman Hindu Budha. Dipesantren dan atau padepokan itulah berkumpul para murid, khususnya keturunan Brahmana utnuk mempelajari segala macam pengetahuan yang bersumber dari kitab suci ( Veda dan Upanishad bagi Hindu serta Tripitaka bagi Budha). Dicandi Borobudur terlihat suatu lukisan yang menggambarkan suatu proses pendidikan seperti yang berlaku sekarang ini. Ditengah-tengah pendopo besar seorang Brahmana atau pendeta duduk dilingkari oleh murid-muridnya, semuanya membawa buku, dan mereka belajar membaca dan menulis. Guru tidak menerima gaji namun dijamin oleh murid-muridnya untuk hidup. Yang menjadi dasar pendidikan adalah agama Budha dan Hindu, seperti dapat kita lihat relief-relief yang tertulis dicandi Borobudur ( Budha) dan candi Prambanan (Hindu).
2.      Pura
Merupakan tempat yang berada di istana. Tempat ini diperuntukkan bagi putra-putri raja belajar. Mereka diberi pelajaran yang berkaitan dengan hidup sopan santun sebagai keturunan raja yang berbeda dengan masyarakat biasa. Mereka belajar tentang mengatur Negara, ilmu bela diri baik secara fisik maupun secara batiniah.



3.      Pertapaan
Karena orang yang bertapa dianggap telah memiliki pengetahuan kebatinan yang sangat tinggi. Oleh karenaitu para pertapa menjadi tempat bertanya tentang segala hal terutama berkaitan dengan hal-hal yang gaib.
4.      Keluarga
Pada waktu itu pendidikan keluarga juga ada sampai sekarang juga tapi hanya pendidikan sebagai informal. Dalam keluargalah akan terjadi partisipasi dalam menyelesaikan pekerjaan orang tua yang dilakukan anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
E.     Ilmu Pengetahuan dan Karya Sastra
Pada masa kejayaan kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia ini telah terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan karya seni yang sangat tinggi. Seperti telah dikemukakan pada kerajaan Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan Budha yang terbesar di Indonesia, pada saat iru telah berdiri lembaga pendidikan setaraf “perguruan tinggi”. Perguruan tinggi tersebut dapat menampung berates-ratus mahasiswa biarawan Budha dan adapat belajar dengan tenang, mereka tinggal di asrama-asrama khusus.
Sistem dan metode sesuai yang ada di India, sehingga biarawan Cina dapat belajar di sriwijaya sebelum melanjutkan belajar di India. Di Sriwijaya terkenal mahaguru yang berasal dari India yaitu Dharmapala dan mengajarkan agama Budha Mahayana. Dipulau Jawa pada waktu Mataram diperintah oleh seorang ratu terdapat sekolah agama Budha yang dipimpin oleh orang Jawa yaitu Janadabra.


Pada sekitar abad ke-14 sampai kira-kira abad ke-16 menjelang jatuhnya kerajaan Hindu di Indonesia, kegiatan pendidikan tidak lagi dilakukan secara meluas seperti sebelumnya tetapi dilakukan oleh para guru kepada siswanya yang jumlahnya terbatas dalam suatu padepokan. Pendidikan pada zaman tersebut, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi pada umumnya dikendalikan oleh para pemuka agama. Namun demikian pendidikan dan pengajaran tidak dilaksanakan secara formal, sehingga seorang siswa yang belum puas akan ilmu yang diperolehnya dapat mencari dan pindah dari guru yang satu ke guru yang lainnya. Kelompok bangsawan, ksatria dan kelompok elit lainnya mengirimkan anak-anaknya kepada guru untuk dididik atau guru diundang untuk datang mengajar anak-anak mereka.
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa:
1. Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi,
2. Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain,
3. Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu,
4. Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-masing.

2.4 Pendidikan dan Pengajaran di Kerajaan Hindu Buddha
A. Kerajaan Sriwijaya
        Sriwijaya menjadi kerajaan besar adalah karena kehidupan sosial masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama dalam bidang pendidikan dan hasilnya Sriwijaya terbukti menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan berita I-Tshing pada abad ke 8 bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha di bawah bimbingan pendeta Budha terkenal yaitu Sakyakirti. Di samping itu juga pemuda-pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Budha dan ilmu lainnya di India, hal ini tertera dalam prasasti Nalanda. Kemajuan di bidang pendidikan yang berhasil dikembangkan Sriwijaya bukanlah suatu hasil perkembangan dalam waktu yang singkat tetapi sejak awal pendirian Sriwijaya, raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung agama dan penganut agama yang taat. Sebagai penganut agama yang taat maka raja Sriwijaya juga memperhatikan kelestarian lingkungannya (seperti yang tertera dalam Prasasti Talang Tuo) dengan tujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya.                                                                                  
                 Dengan demikian kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Sriwijaya sangat baik dan makmur,  dalam hal ini tentunya juga diikuti oleh kemajuan dalam bidang kebudayaan. Kemajuan dalam bidang budaya sampai sekarang dapat diketahui melalui peninggalanpeninggalan suci seperti stupa, candi atau patung/arca Budha seperti ditemukan di Jambi, Muaratakus, dan Gunung Tua (Padang Lawas) serta di Bukit Siguntang (Palembang)





B. Kerajaan Holing (Chopo)
Kerajaan ini ibukotanya bernama Chopo ( nama China ), menurut bukti- bukti China pada abad 5 M. Mengenai letak Kerajaan Holing secara pastinya belum dapat ditentukan. Ada beberapa argumen mengenai letak kerajaan ini, ada yang menyebutkan bahwa negara ini terletak di Semenanjung Malay, di Jawa barat, dan di Jawa Tengah. Tetapi letak yang paling mungkin ada di daerah antara pekalongan dan Plawanagn di Jawa tengah. Hal ini berdasarkan catatan perjalanan dari Cina.
Kerajaan Holing adalah kerajaan yang terpengaruh oleh ajaran agama Budha. Sehingga Holing menjadi pusat pendidikan agama Budha. Holing sendiri memiliki seorang pendeta yang terkenal bernama Janabadra. Sebgai pusat pendidikan Budha, menyebabkan seorang pendeta Budha dari Cina, menuntut ilmu di Holing. Pendeta itu bernama Hou ei- Ning ke Holing, ia ke Holing untuk menerjemahkan kitab Hinayana dari bahasa sansekerta ke bahasa cina pada 664-665.
Dengan bertambahnya populasi penduduk dan peningkatan standar pendidikan yang dipegang oleh kaum Brahmana, secara berlahan muncullah sistem birokrasi, yang tersusunn atas: hierarki abdi kerajaan, bangsawan dan tuan tanah, di masa kerajaan Hindu-Budha.
C. Mataram Kuno
Baru pada abad ke-8 terutama di Mataram Kuno didapatkan bahan-bahan yang lebih memberi pengertian tentang pengajaran dan pendidikan. Di candi Borobudur terlihat suatu lukisan yang menggambarkan suatu sekolah seperti yang berlaku pada waktu sekarang. Di tengah-tengah pendapat besar seorang Brahmana duduk dilingari oleh murud-murid, semua membawa buku. Mereka belajar membaca dan menulis. Murid-murid tinggal bersama-bersama dengan Brahmana dalam suatu rumah. Gurunya tidak menerima gaji, dijamin oleh siswanya untuk hidup. Para siswa di samping belajar juga bekerja. Buku-buku para siswa terdiri daun lontar (seperti di musium Bali). Buku-buku, inilah yang memberi bukti bahwa bangsa kita pada waktu itu telah pandai membaca bahasa Sansekerta (Kawi). Huruf yang dipakai adalah huruf Jawa (Jawa Kuno). Dasar pendidikan dan pengajaran adalah agama Buddha/Brahma. Kesimpulan ini dapat diambil dari adanya agama Budha/Brahma di Jawa Tengah (Borobudur).
Pendidikan pada masa itu telah teratur dengan baik dan pendidikan pada waktu itu mengutamakan budi pekerti dan kesusilaan. Di bawah pimpinan Sanjaya, Mataram mengalami kemakmuran. Tidak ada tindak kriminal. Dalam zaman itu kepustakaan Jawa Kuno telah berkembang. Tentang perkembangan pendidikan dan pengajaran di zaman Kediri dan Majapahit, Hayam Wuruk memperhatikan tentang pengajaran di asrama para Brahmana. Dikatakan pada waktu itu bahwa Majapahit memiliki sebuah perpustakaan yang besar yang dinamakan “Sana Pustaka” yang berisi buku-buku berharga. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa pada abad itu telah ada pendidikan di dalam dan di luar sekolah atau di asrama-asrama.











BAB III
PENUTUP
3.1           Kesimpulan
Bahwa pendidikan pada zaman Hindu dan Budha ini melalui penyebaran agama yang pada waktu dulu belum ada sekolah-sekolah yang kita lihat sekarang ini. Pendidikan dulu dengan sekarang sangatlah berbeda sekali. Dulu para biarawan maupun ulama menjadi guru itu tanpa di kasih imbalan dunawi. Mereka juga mendapatkan pendidikan dari keluarganya juga, kalau keluarganya ahli petani maka anaknya akan belajar dari seorang ayahnya dan ilmu yang di perolehnya juga hanya untuk anaknya saja. Mereka belajar keterampilan, kesatriaan dan sebagainya. Anaknya seorang raja mempunyai tempat tersendiri untuk belajar yang disebut dengan Pura, sejauh ini putra-putrinya belajar tentang ilmu tata kenegaraan, sopan santun dan ilmu bela diri. Materi yang diajarkan bukan hanya bersifat umum tapi mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat spiritual religious juga.
Murid juga dapat berpindah dari guru yang satu ke guru yang lainnya untuk belajar. Kini pendidikan semakin tua seperti usia manusia. Khusus untuk  materi keterampilan ini biasannya diselenggarakan secara turun temurun melalui jalur kastanya masing-masing seperti keterampilan bermain pedang, berperang, berpanah, menunggang kuda dan seni pahat. Menjelang jatuhnya kerajaan Hindu, pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi dipegang oleh kaum ulama.




DAFTAR PUSTAKA
Agung, Leo. 2012. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Djumhur, dkk. (1976). Sejarah Pendidikan. Bandung : CV Ilmu Bandung
Raisyidin, Waini, dkk. (2007). Landasan Pendidikan. Bandung : ----
Djojonegoro, Wardiman. (1996). Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan
Indonesia.Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudyaan
zaman.html. Diakses pada tanggal 01 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar