BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pendidikan
sebagai sarana sosialisasi merupakan kegiatan manusia yang melekat dalam
kehidupan masyarakat. Dengan demikian usia pendidikan hampir dipastikan sama
tuanya dengan manusia itu sendiri. Perjalanan sepanjang perkembangan pendidikan
di Indonesia dapat ditelusuri sejak zaman Hindu dan Budha pada abad ke-5
masehi. Dari perkembangan sejak zaman itu telah diperoleh gambaran bahwa
pendidikan telah berlangsung sesuai dengan tuntutan zaman yang berbeda-beda
dengan penyesuaian pada ideologi, tujuan serta sistem pelaksanaannya. Pada masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan hindu dan budha, pendidikan dipengaruhi
ajaran agama tersebut. Demikian pula pada masa awal islam masuk di nusantara,
pendidikan dan pengajaran pun mengalami penyesuaian dengan kerangka penyebaran
agama islam. Ketika zaman Hindu dan Budha, perkembangan pendidikan disesuaikan
dengan pusat pertumbuhan masyarakat Hindu dan Budha yang berkembang bersama
kerajaan besar yang ada di Jawa dan Sumatera. Kemudian kedua agama yaitu
hindu-budha tersebut berkembang ke berbagai negara di Asia Timur dan Asia
Tenggara termasuk ke Indonesia yang akhirnya mempengaruhi kebudayaan Indonesia
begitu juga dengan pendidikan yang diajarkan agama Hindu-Budha.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana proses masuknya Sejarah Hindu Budha di Indonesia?
2.
Bagaimana Perkembangan Pendidikan pada Zaman Hindu dan Budha?
3.
Seperti apa Pendidikan Zaman Hindu Budha?
4.
Bagaimana Pendidikan dan Pengajaran di Kerajaan Hindu Buddha?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah masuknya Hindu Budha di Indonesia
Pembahasan
sejarah Hindu-Budha di Indonesia akrab diawali dari kemunculan beberapa
kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: Kerajaan Hindu di Kutei (Kalimantan)
dengan rajanya Mulawarman, putra Aswawarman atau cucu Kundung(ga). Di Jawa
Barat muncul Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman. Pada masa
itu, eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria
– Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian pula dalam epik
Ramayana eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa. Ptolomeus juga
sempat menyebut tentang Barousai (merujuk pada pantai barat Sumatera Utara;
Sriwijaya). Fa-Hien (pengembara asal China) dalam perjalanannya dari India
singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang menurutnya telah banyak para brahmana (Hindu)
tinggal di sana. Maka tidak berlebihan jika Lee Kam Hing kemudian menyatakan
bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia sejak periode
permulaan. Pada masa itu, pendidikan lekat terkait dengan agama.
Pada
masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan
di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi
pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra,
ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu
pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Pola
pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti
ruang diskusi dan seminar. Dalam perkembangannya, kebudayaan Hindu-Budha
membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya
yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan Hindu terakhir runtuh
pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya tetap berkembang khususnya di
bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum.
Menjelang
periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks
yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan
jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual
religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan
bahwa: (1) Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai
dengan tingkat tinggi, (2) Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah
dari satu guru ke guru yang lain, (3) Kaum bangsawan biasanya mengundang guru
untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus
anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu, (4) Pendidikan kejuruan
atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya
masing-masing.
2.2 Perkembangan Pendidikan pada Zaman Hindu dan
Budha
Menurut
teori Van Leur, yang oleh banyak ahli dapat diterima, ditegaskan bahwa pada
abad-abad permulaan terjadilah hubungan perdagangan antara orang-orang Hindu
dengan orang-orang Indonesia. Faktor-faktor yang memungkinkan berkembangnya
Peradaban Hindu Budha diantaranya sebagai berikut :
1. Faktor Politik
Terjadi
peperangan antara kerajaan India bagian Utara dengan kerajaan India bagian
Selatan. Bangsa Aria dari Utara mendesak kerajaan dan penduduk Selatan,
sehingga penduduk di Selatan lari mencari tempat-tempat baru, dan ada sampai ke
Indonesia. Oleh karena itu peradaban yang masuk ke Indonesia Nusantara
dipengaruhi oleh bangsa India dari bagian Selatan.
2. Faktor Ekonomis atau Geografis
Indonesia
terletak antara India dan dataran Tiongkok, dimana pada waktu itu telah terjadi
perdagangan antar India dan Tiongkok melalui jalur laut. Akibatnya banyak orang
India dan Tiongkok bergaul dengan bangsa Indonesia, dari mulai perdagangan atau
perniagaan sampai terjadi koloni yang berdatangan dari India dan Tiongkok.
3. Faktor Kultural
Tingkat
peradaban bangsa India lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk asli di
Nusantara. Mereka sudah mengenal sistem pemerintahan yang teratur dalam bentuk
kerajaan, mereka juga telah mengenal tulisan dan karya sastra yang tinggi.
Fakta sejarah membuktikan dengan ditemukannya prasasti batu bertulis dengan
huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta yang menjelaskan tentang adanya kerajaan
tertua. Di Kalimantan yaitu di Kutai abad ke-5 Masehi dan Kerajaan Tarumanegara
di Jawa Barat.
Perkembangan
pendidikan pada zaman ini, sudah mulai menampakkan suatu gerakan pendidikan
dengan misi penyebaran ajaran agama dan cara hidup yang lebih universal
(keseluruhan) dibandingkan dengan pendidikan sebelumnya. Pendidikan masa
Hindu-Budha di Indonesia dimulai sejak pengaruh Hindu-Budha datang ke
Indonesia. Perkembangan agama Hindu Budha di Indonesia membawa perubahan besar
bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Sebenarnya masyarakat indonesia telah memiliki
kemampuan dasar yang patut dibanggakan sebelum masuknya Hindu dan Budha.
Setelah Hindu dan Budha berkembang di Indonesia kemampuan masyarakat Indonesia
makin berkembang karena berakulturasi dan berinteraksi dengan tradisi Hindu dan
Budha.
Di
daerah Kalimantan (Kutai) dan Jawa Barat (Tarumanegara) ditemukan prasasti
adanya kebudayaan dan peradaban Hindu tertua pada abad ke-5. Para cendekiawan,
ulama-biarawan, musafir dan peziarah Budha dalam perjalanannya ke India,
singgah di Indonesia untuk mengadakan studi pendahuluan dan persiapan
lainnya. Negara India merupakan tanah
suci dan merupakan sumber inspirasi spiritual, ilmu pengetahuan dan kesenian
bagi pemeluk agama Budha. Agama Hindu di India terbagi dua golongan besar yaitu
Brahmanisme dan Syiwaisme. Hinduisme yang datang ke Indonesia adalah Syiwaisme,
yang pertama kali dibawa oleh seorang Brahmana yang bernama Agastya. Syiwaisme
berpandangan bahwa :
S Syiwa
adalah dewa yang paling berkuasa.
S Syiwa
adalah penncipta dan perusak alam, segala sesuatu bersumber pada Syiwa dan
kembali kepada Syiwa.
S Manusia
hidup dalam rangkaian reinkarnasi dan merupakan suatu samsara (penderitaan),
yang ditentukan oleh perbuatan manusia sebelumnya, jadi berlaku hukum “karma”.
S Tujuan
hidup manusia ialah mencapai “moksa”, suatu keadaan dimana manusia terlepas
dari samsara, manusia hidup dalam keabadian yang menyatu dengan Syiwa.
Agama
Budha merupakan agama yang disebarkan oleh Sidharta Gautama di India yang
kemudian terpecah menjadi dua aliran yaitu Mahayana dan Hinayana. Yang berkembang
di Indonesia ialah bangsa Hinayana. Agama ini berkembang pada masa kerajaan
Sriwijaya di Sumatera dan pada zaman Wangsa Syailendra di Pulau Jawa.
Menurut
ajaran agama Budha manusia hidup dalam penderitaan karena nafsu duniawi.
Manusia dalam hidup ini berusaha untuk mengusir penderitaan, mencari
kebahagiaan yang abadi yaitu untuk mencapai nirwana. Adapaun langkah-langkah
untuk mencapai nirwana, manusia harus berperilaku benar diantaranya sebagai
berikut :
S Berpandanagan
yang benar.
S Mengambil
keputusan yang benar.
S Berkata
yang benar.
S Berkehidupan
yang benar.
S Berdayaupaya
yang benar.
S Konsentrasi
kepada hak-hak yang benar.
Meskipun
Hinduisme dan Budhisme merupakan agama yang berbeda, namun di Indonesia tampak
terdapat kecenderungan sinkretisme yaitu keyakinan untuk mempersatukan figur
Syiwa dan Budha sebagai satu sumber dari Ynag Maha Tinggi. Seperti semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi satu jua adalah perwujudan
dari keyakinan tersebut. dalam hal ini, Budha dan Syiwa adalah dewa yang dapat
diperbedakan (bhinna) tetapi dewa itu (ika) hanya satu (tungal). Kalimat yang
tadi adalah salah satu bait dari syair Sutasoma karya Empu Tantular pada zaman
Majapahit. Sehingga kebudayaan Hindu telah membaur dengan unsur-unsur Indonesia
asli dan memberikan ciri serta coraknya yang khas, sampai jatuhnya kerajaan
Hindu terakhir di Indonesia yaitu Majapahit akan masih berkembang dalam hal pendidikan ilmu pengetahuan,
khususnya dibidang sastra, bahasa, ilmu pemerintahan, tata Negara dan hukum.
Kerajaan-kerajaan seperti Kalingga, Mataram, Kediri, Singasari, dan Majapahit
akan melahirkan para Empu, Pujangga yang menghasilkan karya-karya seni yang
bermutu tinggi. Selain karya seni pahat dan seni bangunan dalam arsitekstur yang
bernilai tinggi juga ditemukan beberapa karya ilmiah dalam bidang filsafat,
sastra dan bahasa.
2.3 Pendidikan Hindu Budha
Pada
umumnya Indonesia menerima agama, pengetahuan dan kebudayaan dari Negara
tetangga (India). Dalam hal ini Indonesia memperkaya dan memberi warna dan
corak ke-Indonesiaan pada agama, pengetahuan sehingga menjadi spesifik
Indonesia. Misalnya agama Budha yang ada di Sumatra dan Jawa pada zaman
tersebut belainan sifatnya dengan negeri asalnya India. Seperti agama Budha dan
Siwa yang ada di India selalu bermusuhan, tetapi di Indonesia dapat hidup rukun
dan damai. Boleh dikatakan sejak dahulu pendidikan di Indonesia berdasarkan
agama, tetapi di Indonesia tidak berpandangan “sempit” seperti India. Pada
umumnya agama Budha di Indonesia bersifat ariktoraksi, sebagai agama kaum
atasan dan kaum ningrat. Rakyat setia pada agama nenek moyang ialah mempunyai
berbagai kekuatan alam, yang disebut animisme.
Pada
hakikatnya pendidikan itu berarti memberi tuntutan kepada perkembangan manusia
sehingga mencapai kedewasaan jasmani dan rohani. Jadi sudah jelas bahwa pada
abad ke-5 bangsa kita telah mengenal pendidikan. Pada zaman itu bangsa kita
telah mengenal peradaban lahir dan batin.
Syiwaisme
yang berkembang di Indonesia berbeda dengan India yanga sangat bertentangan dan
hidup bermusuhan dengan Budhisme. Di Indonesia Syiwaisme dan Budhisme hidup dan
tumbuh berdampingan, walaupun terjadi penumpasan Wangsa Syailendra yang
beragama Budha oleh Wangsa Sanjaya yang beragaman Hindu, namun dimasyarakat biasa
tidak nampak pertentangan tersebut, bahkan mungkin dapat dikatakan telah
terjadi sinkretisme antara Hinduisme, Budhisme dan kepercayaan animism dan
dinamisme, suatu keyakinan untuk menyatukan Syiwa, Budha, dan arwah-arwah nenek
moyang sebagai suatu sumber dan amaha tinggi. Pendidikan formal ini
diselenggarakan oleh kerajaan-kerajaan Indonesia pada saat itu.
Pendidikan
pada zaman Hindu masih terbatas kepada golongan minoritas (kasta Brahmana,
Ksatria), belum menjangkau golongan mayoritas kasta Waisya dan Sudra apalagi
kasta Paria. Namun perlu diketahui bahwa penggolongan kata di Indonesia tidak
begitu ketat seperti halnya dengan di India yang menjadi asalnya agama Hindu.
Pendidikan zaman ini lebih tepat dikatakan sebagai “perguruan”dimana para murid
berguru kepada para cerdik cendekia. Kemudian lembaga pendidikan dikenal dengan
nama pesantren, jadi berbeda sekali dengan sekolah yang kita kenal sekarang
ini.
Sistem
perguruan yang dikenal dengan pesantren itu berkembang terus sampai pada
pengaruh Budha, zaman Islam sampai sekarang (pesantren tradisional). Pada zaman
Budha pendidikan berkembang pada kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang
sudah terdapat perguruan tinggi Budha. Dimana para murid-muridnya banyak
berasal dari Indocina, Jepang dan Tiongkok. Guru yang terkenal pada saat itu
ialah Dharmapala. Perguruan-perguruan Budha tersebut mungkin menyebar keseluruh
kekuasaan Sriwijaya. Mungkin saja candi-candi Borobudur, Menndut, dana Kalasan
merupakan pusat pendidikan agama Budha.
Kalau
kita memperjhatikan peninggalan-peninggalan sejarah seperti candi-candi,
patung-patung maka sudah pasti para santri atau murid belajar tentang ilmu
membangun dan seni pahat. Karena pembuatan candi memerlukan kemampuan teknik
dan seni yang tinggi. Dmeikian juga dengan memahat relief-relief candi
dibimbing oleh suatu alur cerita yang menceritakan kehidupan sang Budha atau
para dewa, bisa juga cerita tentang Ramayana. Karya hasil sastra yang ditulis
para pujangga banyak yang bermutu tinggi antara lain : Pararaton, Negara Kertagama,
arjuna Wiwaha, dan Brata Yudha. Para pujangga yang terkenal diantaranya sebagai
berikut : Mpu Kawa, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, Mpu Prapanca.
Dalam
perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu sperti Singasari, Majapahit dan kerajaan
Budha Sriwijaya, tidak terdapat uraian yang jelas mengenai pendidikan. Namun
sudah apsti bahwa pada zaman tersebut sudah berkembang pendidikan dengan
lembaga-lembaga yang dengan sengaja dibuat secara formal. Lembaga-lembaga
pendidikan tersebut berbentuk perguruan yang lebih dikenal dnegan sebutan
pesantren. Pada saat itu mutu pendidikan cukup memuaskan berbagai pihak yang
bersangkutan.
A. Tujuan
Pendidikan masa Hindu Budha
Tujuan
pendidikan identik dengan tujuan hidup yaitu manusia hidup untuk mencapaimoksa
bagi agama Hindu, dan manusia mencapai nirwana bagi agama Budha. Karena itu
secara umum tujuan akhir adalah mencapai moksa atau nirwana. Secara khusus
mungkin dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Bagi kaum Brahmana (kasta tertinggi), pendidikan
bertujuan untuk menguasai kitab suci ( Weda untuk Hindu dan Tripitaka untuk
Budha) sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan yang universal.
2. Bagi
golongan Ksatria sebagai raja yang berkuasa, pendidikan bertujuan untuk
memiliki pengetahuan teoritis yang berkaitan tentang pengaturan pemerintahan
(kerajaan).
3. Bagi
rakyat biasa, pendidikan bertujuan agar warga masyarakat memiliki keterampilan
yang dibutuhkan untuk hidup, sesuai dengan pekerjaan yang secara turun temurun.
Misalnya keterampilan bercocok tanam, pelayaran, perdagangan, seni pahat dan
sebagainya.
B. Sifat
Pendidikan
Beberapa
sifat dan ciri pendidikan yang menonjol pada waktu itu adalah :
1. Informal,
karena pendidikan masih bersatu dengan proses kehidupan.
2. Berpusat
pada religi, karena kehidupan atas dasar kepercayaan dan keagamaan menguasai
segala-galanya.
3. Penghormatan
yang tinggi terhadap guru, karena gurunya adalah kaum Brahmana ( kasta
tertinggi dalam masyarakat Hindu) dan tidak memperoleh imbalan gaji. Mereka
menjadi guru semata-mata karena kewajiban sebagai Pandita atau Brahmana yang
didasarkan pada perasaan tulus, mengabdi tanpa pamrih ( tanpa memikirkan
imbalan dunia ).
4. Aristokratis
artinya pendidikan hanya diikuti oleh segolongan masyarakat saja yaitu golongan
Brahmana, pendeta dan golongan Ksatria dan golongan keturunan raja-raja. Dalam
agama kita kenal penggolongan berdasarkan kasta, namun di Indonesia perbedaan
tidak begitu tajam dan menonjol. Yang menonjol adalah antara golongan raja-raja
dan rakyat jelata.
C. Jenis-Jenis
Pendidikan
Beberapa
jenis pendidikan pada zaman Hindu Budha dapat dibedakan menjadi beberapa
golongan diantaranya sebagai berikut :
1. Pendidikan Intelektual
Kegiatan
pendidikan ini dikhususkan untuk menguasai kitab-kitab suci. Veda dipelajari
oleh kaum Brahmana, dan kitab Tripitaka dipelajari oleh penganut Budha. Pada waktu
itu hanya golongan Brahmanalah yang berhak mempelajari kitab suci Veda.
Pendidikan intelektual juga berkaitan dengan penguasaan doa dan mantera, yang
berkaitan dengan penguasaan alam semesta, pengabdian kepada Syiwa dan Budha
Gautama.
2. Pendidikan Kesatriaan
Kegiatan
pendidikan ini dilakukan untuk mendidik kaum bangsawan keluarga istana
kerajaan, untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan yang berkaitan dengan
mengatur pemerintahan (kerajaan), mengatur Negara, dan belajar untuk berperang.
3. Pendidikan Keterampilan
Pendidikan
keterampilan dan pendidikan kesatriaan merupakan pendidikan kegiatan yang
deprogram secara tertib(dalam arti pendidikan bagi kaum Brahmana dan bangsawan
(keluarga raja)) sudah berjalan dengan teratur. Sedangkan pendidikan
keterampilan yang diajukan bagi masyarakat jelata berlangsung secara informal
yang berlangsung dalam keluarga sesuai dengan keterampilan yang dimiliki orang
tuanya. Seorang pemahat akan diwariskan keterampilannya kepada anak-anaknya
begitu pula dengan para petani, nelayan dan sebagainya.
D. Lembaga
Pendidikan
Pendidikan
pada waktu itu masih bersifat informal, belum ada pendidikan formal dalam
bentuk sekolah seperti yang kita kenal sekarang ini. Namun dengan demikian ada
beberapa tempat yang biasa dijadikan sebagai lembaga pendidikan.
1. Padepokan
atau Pecatrikan
Merupakan
tempat berkumpulnya para catrik, yaitu murid-murid yang belajar kepada guru
disuatu tempat, sehingga disebut pecatrikan dan dengan nama lain biasa juga
disebut padepokan. Dari kata-kata catrik dan pecatrikan itulah muncul kata
santri dan pesantren. Jadi lembaga pesantren sudah dikenal keberadaannya sejak
zaman Hindu Budha. Dipesantren dan atau padepokan itulah berkumpul para murid,
khususnya keturunan Brahmana utnuk mempelajari segala macam pengetahuan yang
bersumber dari kitab suci ( Veda dan Upanishad bagi Hindu serta Tripitaka bagi
Budha). Dicandi Borobudur terlihat suatu lukisan yang menggambarkan suatu
proses pendidikan seperti yang berlaku sekarang ini. Ditengah-tengah pendopo
besar seorang Brahmana atau pendeta duduk dilingkari oleh murid-muridnya,
semuanya membawa buku, dan mereka belajar membaca dan menulis. Guru tidak
menerima gaji namun dijamin oleh murid-muridnya untuk hidup. Yang menjadi dasar
pendidikan adalah agama Budha dan Hindu, seperti dapat kita lihat relief-relief
yang tertulis dicandi Borobudur ( Budha) dan candi Prambanan (Hindu).
2. Pura
Merupakan
tempat yang berada di istana. Tempat ini diperuntukkan bagi putra-putri raja
belajar. Mereka diberi pelajaran yang berkaitan dengan hidup sopan santun
sebagai keturunan raja yang berbeda dengan masyarakat biasa. Mereka belajar
tentang mengatur Negara, ilmu bela diri baik secara fisik maupun secara
batiniah.
3. Pertapaan
Karena
orang yang bertapa dianggap telah memiliki pengetahuan kebatinan yang sangat
tinggi. Oleh karenaitu para pertapa menjadi tempat bertanya tentang segala hal
terutama berkaitan dengan hal-hal yang gaib.
4. Keluarga
Pada
waktu itu pendidikan keluarga juga ada sampai sekarang juga tapi hanya
pendidikan sebagai informal. Dalam keluargalah akan terjadi partisipasi dalam
menyelesaikan pekerjaan orang tua yang dilakukan anak-anak dan anggota keluarga
lainnya.
E. Ilmu
Pengetahuan dan Karya Sastra
Pada
masa kejayaan kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia ini telah terjadi perkembangan
ilmu pengetahuan dan karya seni yang sangat tinggi. Seperti telah dikemukakan
pada kerajaan Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan Budha yang terbesar di
Indonesia, pada saat iru telah berdiri lembaga pendidikan setaraf “perguruan
tinggi”. Perguruan tinggi tersebut dapat menampung berates-ratus mahasiswa
biarawan Budha dan adapat belajar dengan tenang, mereka tinggal di
asrama-asrama khusus.
Sistem
dan metode sesuai yang ada di India, sehingga biarawan Cina dapat belajar di
sriwijaya sebelum melanjutkan belajar di India. Di Sriwijaya terkenal mahaguru
yang berasal dari India yaitu Dharmapala dan mengajarkan agama Budha Mahayana.
Dipulau Jawa pada waktu Mataram diperintah oleh seorang ratu terdapat sekolah
agama Budha yang dipimpin oleh orang Jawa yaitu Janadabra.
Pada
sekitar abad ke-14 sampai kira-kira abad ke-16 menjelang jatuhnya kerajaan
Hindu di Indonesia, kegiatan pendidikan tidak lagi dilakukan secara meluas
seperti sebelumnya tetapi dilakukan oleh para guru kepada siswanya yang
jumlahnya terbatas dalam suatu padepokan. Pendidikan pada zaman tersebut, mulai
dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi pada umumnya dikendalikan
oleh para pemuka agama. Namun demikian pendidikan dan pengajaran tidak
dilaksanakan secara formal, sehingga seorang siswa yang belum puas akan ilmu
yang diperolehnya dapat mencari dan pindah dari guru yang satu ke guru yang
lainnya. Kelompok bangsawan, ksatria dan kelompok elit lainnya mengirimkan
anak-anaknya kepada guru untuk dididik atau guru diundang untuk datang mengajar
anak-anak mereka.
Menjelang
periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks
yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan
jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual
religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan
bahwa:
1.
Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan
tingkat tinggi,
2.
Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang
lain,
3.
Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana
disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu,
4.
Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui
jalur kastanya masing-masing.
2.4 Pendidikan dan Pengajaran di Kerajaan Hindu
Buddha
A.
Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya menjadi kerajaan besar adalah
karena kehidupan sosial masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama dalam
bidang pendidikan dan hasilnya Sriwijaya terbukti menjadi pusat pendidikan dan
penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan berita I-Tshing
pada abad ke 8 bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta yang belajar
agama Budha di bawah bimbingan pendeta Budha terkenal yaitu Sakyakirti. Di
samping itu juga pemuda-pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Budha dan ilmu
lainnya di India, hal ini tertera dalam prasasti Nalanda. Kemajuan di bidang
pendidikan yang berhasil dikembangkan Sriwijaya bukanlah suatu hasil
perkembangan dalam waktu yang singkat tetapi sejak awal pendirian Sriwijaya,
raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung agama dan penganut agama yang
taat. Sebagai penganut agama yang taat maka raja Sriwijaya juga memperhatikan
kelestarian lingkungannya (seperti yang tertera dalam Prasasti Talang Tuo)
dengan tujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya.
Dengan demikian kehidupan
ekonomi dan sosial masyarakat Sriwijaya sangat baik dan makmur, dalam hal ini tentunya juga diikuti oleh
kemajuan dalam bidang kebudayaan. Kemajuan dalam bidang budaya sampai sekarang
dapat diketahui melalui peninggalanpeninggalan suci seperti stupa, candi atau
patung/arca Budha seperti ditemukan di Jambi, Muaratakus, dan Gunung Tua
(Padang Lawas) serta di Bukit Siguntang (Palembang)
B.
Kerajaan Holing (Chopo)
Kerajaan
ini ibukotanya bernama Chopo ( nama China ), menurut bukti- bukti China pada
abad 5 M. Mengenai letak Kerajaan Holing secara pastinya belum dapat
ditentukan. Ada beberapa argumen mengenai letak kerajaan ini, ada yang
menyebutkan bahwa negara ini terletak di Semenanjung Malay, di Jawa barat, dan
di Jawa Tengah. Tetapi letak yang paling mungkin ada di daerah antara
pekalongan dan Plawanagn di Jawa tengah. Hal ini berdasarkan catatan perjalanan
dari Cina.
Kerajaan
Holing adalah kerajaan yang terpengaruh oleh ajaran agama Budha. Sehingga
Holing menjadi pusat pendidikan agama Budha. Holing sendiri memiliki seorang
pendeta yang terkenal bernama Janabadra. Sebgai pusat pendidikan Budha,
menyebabkan seorang pendeta Budha dari Cina, menuntut ilmu di Holing. Pendeta
itu bernama Hou ei- Ning ke Holing, ia ke Holing untuk menerjemahkan kitab
Hinayana dari bahasa sansekerta ke bahasa cina pada 664-665.
Dengan
bertambahnya populasi penduduk dan peningkatan standar pendidikan yang dipegang
oleh kaum Brahmana, secara berlahan muncullah sistem birokrasi, yang tersusunn
atas: hierarki abdi kerajaan, bangsawan dan tuan tanah, di masa kerajaan
Hindu-Budha.
C.
Mataram Kuno
Baru
pada abad ke-8 terutama di Mataram Kuno didapatkan bahan-bahan yang lebih
memberi pengertian tentang pengajaran dan pendidikan. Di candi Borobudur
terlihat suatu lukisan yang menggambarkan suatu sekolah seperti yang berlaku
pada waktu sekarang. Di tengah-tengah pendapat besar seorang Brahmana duduk
dilingari oleh murud-murid, semua membawa buku. Mereka belajar membaca dan
menulis. Murid-murid tinggal bersama-bersama dengan Brahmana dalam suatu rumah.
Gurunya tidak menerima gaji, dijamin oleh siswanya untuk hidup. Para siswa di
samping belajar juga bekerja. Buku-buku para siswa terdiri daun lontar (seperti
di musium Bali). Buku-buku, inilah yang memberi bukti bahwa bangsa kita pada
waktu itu telah pandai membaca bahasa Sansekerta (Kawi). Huruf yang dipakai
adalah huruf Jawa (Jawa Kuno). Dasar pendidikan dan pengajaran adalah agama
Buddha/Brahma. Kesimpulan ini dapat diambil dari adanya agama Budha/Brahma di
Jawa Tengah (Borobudur).
Pendidikan
pada masa itu telah teratur dengan baik dan pendidikan pada waktu itu
mengutamakan budi pekerti dan kesusilaan. Di bawah pimpinan Sanjaya, Mataram
mengalami kemakmuran. Tidak ada tindak kriminal. Dalam zaman itu kepustakaan
Jawa Kuno telah berkembang. Tentang perkembangan pendidikan dan pengajaran di
zaman Kediri dan Majapahit, Hayam Wuruk memperhatikan tentang pengajaran di
asrama para Brahmana. Dikatakan pada waktu itu bahwa Majapahit memiliki sebuah
perpustakaan yang besar yang dinamakan “Sana Pustaka” yang berisi buku-buku
berharga. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa pada abad itu telah ada
pendidikan di dalam dan di luar sekolah atau di asrama-asrama.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Bahwa
pendidikan pada zaman Hindu dan Budha ini melalui penyebaran agama yang pada
waktu dulu belum ada sekolah-sekolah yang kita lihat sekarang ini. Pendidikan
dulu dengan sekarang sangatlah berbeda sekali. Dulu para biarawan maupun ulama
menjadi guru itu tanpa di kasih imbalan dunawi. Mereka juga mendapatkan
pendidikan dari keluarganya juga, kalau keluarganya ahli petani maka anaknya
akan belajar dari seorang ayahnya dan ilmu yang di perolehnya juga hanya untuk
anaknya saja. Mereka belajar keterampilan, kesatriaan dan sebagainya. Anaknya
seorang raja mempunyai tempat tersendiri untuk belajar yang disebut dengan
Pura, sejauh ini putra-putrinya belajar tentang ilmu tata kenegaraan, sopan
santun dan ilmu bela diri. Materi yang diajarkan bukan hanya bersifat umum tapi
mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat spiritual religious juga.
Murid
juga dapat berpindah dari guru yang satu ke guru yang lainnya untuk belajar.
Kini pendidikan semakin tua seperti usia manusia. Khusus untuk materi keterampilan ini biasannya diselenggarakan
secara turun temurun melalui jalur kastanya masing-masing seperti keterampilan
bermain pedang, berperang, berpanah, menunggang kuda dan seni pahat. Menjelang
jatuhnya kerajaan Hindu, pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi dipegang
oleh kaum ulama.
DAFTAR PUSTAKA
Agung,
Leo. 2012. Sejarah Pendidikan.
Yogyakarta : Penerbit Ombak
Djumhur,
dkk. (1976). Sejarah Pendidikan. Bandung
: CV Ilmu Bandung
Raisyidin,
Waini, dkk. (2007). Landasan Pendidikan.
Bandung : ----
Djojonegoro,
Wardiman. (1996). Lima Puluh Tahun
Perkembangan Pendidikan
Indonesia.Jakarta
: Departemen Pendidikan dan Kebudyaan
zaman.html.
Diakses pada tanggal 01 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar